#3

1.9K 318 19
                                    

[ON]

8.00 AM

Seulgi tengah menanti kedatangan kliennya. Sudah jadi makananmya setiap hari mengurusi kredit raksasa dengan nilai pinjaman yang fantastis. Hari ini ia hanya sendirian, mengikuti keinginan dari pihak pengembang dreamland. Selama dua tahun ini, Seulgi selalu menemui klien dengan usia tua. Jarang sekali ada orang seusianya berurusan dengan bagian khusus kredit raksasa.

"Anda dari Bank Internasional?" Tanya pria dengan wajah yang rupawan itu.

"Ada dari pengembang Dreamland?" Tanya Seulgi dengan anda tidak percaya.

"Iya, perkenalkan saya Im Jaebum direktur perusahaan pengembang. Maaf sebelumnya saya sedikit terlambat." Ujar Jaebum memperkenalkan diri.

"Tidak masalah Tuan. Perkenalkan saya Kang Seulgi. Maaf juga saya agak kaget ketika melihat anda. Biasanya klien yang saya temui tidak pernah semuda anda." Ucap Seulgi jujur. Salah satu sifat Seulgi terlalu jujur.

"Hahahaha, tidak masalah santai aja. Gausah formal banget." Ujar Jaebum memulai percakapan yang lebih akrab.

"Baik kalau begitu saya bisa mulai jelaskan mengenai pinjaman dan perjanjian kerja sama yang mungkin dilakukan kedepannya." Timpal Seulgi.

Perbincangan seputar kredit dan hal mengenai pekerjaan itu berlangsung dengan suasana yang jauh dari formal.

"Nanti kalau aku mau ada proyek kerja sama bank ini lagi kamu yang dateng ya Seul." Kata Jaebum. Perbincangan mereka telah berubah dari "saya menjadi aku".

"Baru kali ini loh aku bahas beginian tapi enjoy. Faktor seumuran kali ya." Ujar Seulgi menaggapi dengan tak kalah hangat. "Eh iya buat penandatanganan resminya mau kapan? Biar bisa hubungi notaris dan pengacaranya." Tambah Seulgi.

"Oh urusan notaris dari bank aja, kalau lawyer Park Jinyoung, aku selalu sama dia kalau urusan begituan." Kata Jaebum.

"Oh oke oke. Eh Park Jinyoung, kaya familiar banget namanya." Kata Seulgi. Ia ingat, itu pengacara yang menolong Nayeon kemarin.

"Iyalah dia udah terkenal banget sekarang. Untung harga temen kalau ngga udah ga mampu bayar dia." Canda Jaebum.

"Pengusaha sekelas kamu kayanya beli pulau juga mampu." Balas Seulgi.

"Bercanda aja ini pejabat bank. Percaya ga, aku sekarang aja tinggal masih patungan sewa apartemen sama temen." Kata Jaebum.

"Iyadeh percaya. Hasil diskusi kita ini nanti aku email. Semoga sukses proyeknya. Aku harus pamit sekarang." Pamit Seulgi.

"Okay. Nice to meet you." Ujar Jaebum mengakhiri percakapan mereka pagi ini.

*

Mengahadapi permasalahan orang lain setiap hari membuat Wendy menjadi lebih bersyukur akan hidupnya. Jadwal pemeriksan rutin pasien di bangsal kejiwaan ini memiliki ketertarikan tersendiri dibandingkan mendengarkan konsultasi di ruangan praktek.

"Dokter Son." Panggil seorang Ibu.

"Iya Bu." Jawab Wendy. Bu Sumin salah satu pasien lama rumah sakit ini. Saking dekatnya Wendy menggapnya seperti Ibu sendiri.

"Untung kamu datang hari ini, anak saya mau kesini. Kalian harus ketemu ya." Ujar Bu Sumin dengan semangat. Wendy tahu bahwa kondisi kejiwaan wanita ini normal. Entah apa alasannya ia selalu berpura - pura sakit.

"Iya Bu, aku pasti nemuin dia kok. Sudah makan kan?" Tanya Wendy.

"Sudah. Ayo temani Ibu menunggu." Ajak wanita itu dengan lincah menarik tangan Wendy.

*

"Kamu dokternya?" Tanya pria bertubuh ramping ini dengan tatapan meremehkan.

"Ya. Bisa sopan sedikit kan. Saya disini mengundang anda untuk membicarakan kondisi ibu anda." Jawab Wendy tegas. Siapa pun yang berada diposisinya akan tersinggung. Ini adalah pertemuan kedua mereka setelah kejadian di lift apartemen sebelumnya.

"Oke. Lanjutkan. Waktu saya tidak banyak." Lagi lagi ketus. Sejak pertemuan pertama memang aura pria ini dingin.

"Jadi begini Mark Tuan. Catatan medis pasien selama satu tahun saya tangani baik. Kondisi fisik dan psikisnya sehat, sebagai dokter tentunya saya ingin tahu motif yang mendasari pasien selalu bertindak kejiwaannya terguncang setiap tim medis memberikan arahan untuk kembali ke lingkungan. Setiap kali pasien melakukan tindakan tersebut kami melakukan observasi dan hasilnya tetap sehat tidak ada masalah kejiwaan serius yangnmengharuskannya terkurung di tempat ini. Jadi bolehkah saya tahu apa yang terjadi pada beliau sebelum dirawat disini? " jelas Wendy panjang lebar.

"Tunggu anda bilang catatan medis ibu saya selama ini baik? Lalu selama empat tahun ia berdiam disini untuk apa?" Mark malah balik bertanya.

"Saya baru menangani pasien selama satu tahun. Catatan medis yang saya terima dari dokter yang menangani beliau sebelumnya pun baik. Maka dari itu, saya ingin tahu apa yang terjadi sebelum ibu anda berada disini." Jawab Wendy tegas.

"Disini saya adalah dokter. Setiap informasi yang anda berikan terkait pasien akan sangat membantu dalam penanganan. Karena sejujurnya hidup beliau akan lebih baik jika tidak ditempat ini." Tambahnya, melihat Mark tengah mempertimbangan sesuatu.

"Anda tidak perlu tahu. Jika informasi yang anda berikan sudah selesai, saya akan pergi." Sungguh itu bukan jawaban yang Wendy inginkan.

"Baiklah semua terserah anda, saya meminta bantuan agar dari pihak keluarga yang meminta beliau untuk kembali ke lingkungan karena jika pihak rumah sakit yang menyarankan pada beliau, diduga akan terjadi seperti sebelum - sebelumnya. Tentunya ini sebagai salah satu treatment untuk psikis pasien." Papar Wendy. Ia harus ekstra sabar menghadapi pria ini. Tabiatnya yang amat dingin benar - benar menguji kesabaran Wendy.

"Akan saya pikirkan. Saya harus pergi. Terima kasih sudah merawat ibu saya dengan baik. Hubungi saya jika terjadi sesuatu." Ujar Mark, seraya menaruh secarik kartu nama.

Wendy hanya mengangguk dan terpaksa tersenyum. Benar - benar seperti es. Ia yakin ada yang tak beres dengan pria bernama Mark Tuan ini.

*
Pertemuan Seulgi dengan kliennya pagi ini mengorek kenangan yang ingin ia buang jauh - jauh. Kini ia tengah mematung dihadapan pusara Kim Jongin, kekasihnya empat tahun lalu yang pergi karena kecelakaan.

"Jong bolehkan aku menangis lagi hari ini. Jong, mengapa aku harus dipertemukan dengan lelaki yang memiliki banyak kesamaan denganmu. Jujur jong, walaupun itu hanya pertemuan bisnis namun aku merasakan suasana yang lama tak kurasakan semenjak kamu pergi." Perlahan air mata membanjiri kedua pipi Seulgi.

"Jong, kini aku tak lagi mempertanyakan kenapa kamu pergi. Tapi, maafkanlah aku yang sangat egois menyembuhkan diri hingga lupa terhadapmu. Aku tak bisa berlama - lama. Sampai detik ini pun aku masih mencintaimu Jong." Ujar Seulgi yang kemudian beranjak pergi.

*
Mark tengah menatap foto masa kecil bersama ibu dan ayahnya. Ia sangat merindukan ibunya. Mengapa ibu harus berpura -pura gila dan meninggalkan ia bersama ayah dan wanitanya itu. Itukah arti cinta yang ibu ajarkan dulu. Perkataan Dokter Son bagai rekaman yang terus berputar diingatannya. Bingung bagaimana ia harus bersikap. Kecewa? Tentu saja, anak mana yang tak kecewa melihat pilihan ibundanya. Marah? Jika bisa ingin ia meluapkan segala emosinya. Namun, Mark tahu bahwa semua itu bukan solusi dari masalahnya. Cukup selama hampir lima tahun terbelenggu dalam permasalahan rumit keluarganya. Mungkin sudah saatnya ia membutuhkan tempat berbagi.

*

Wendy tengah berjalan di lorong lantai 17 gedung apartemennya.

"Sudah pulang?" Tanya seseorang dengan suara bariton.

"Kelihatannya." Jawab Wendy seadanya.

"Maaf kalau tadi siang sikap saya tidak baik." Ujarnya. Wendy kaget ada badai apa yang menerpa pria bernama Mark Tuan.

"...sejujurnya banyak yang ingin saya ceritakan mengenai ibu. Namun, saya bingung." Lanjutnya.

"Jika punya waktu maukah dokter Son mendengarnya." Pinta Mark kemudian.

Wendy mengerutkan keningnya dalam. Apakah ia salah dengan dengan ucapan pria dingin ini.

[OFF]

Hold Your Hand ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang