Arsensha 2 - Terima Kasih Arvin

102K 5.4K 72
                                    

Ternyata benar kata orang, kalau banyak berpikir akan membuat tenaga kita habis. Dan aku pun begitu, mana bisa aku mneyelesaikan soal-soal tes tadi, mungkin ada beberapa soal yang kukerjakan secara asal.

Ah, sudahlah, jangan memikirkannya lagi. Lebih baik aku segera ke parkiran, aku nggak mau Arvin menunggu lama. Kulihat ia masih setia menungguku di depan mobilnya, dari tadi banyak sekali wajah perempuan yang menggodanya. Sementara Arvin sama sekali tidak menggubrisnya. Noh, rasakan.

"Yang, kamu kok lama sih?" keluh Arvin.

"Ini juga udah cepat. Kamu nggak tau sih, soalnya susah banget. Aku pusing banget nih," kataku langsung menuju kursi depan.

Sementara Arvin segera membukakan pintu mobil untukku. "Makanya kamu gak usah kuliah aja, aku bisa kok biayain kamu hidup kalau kita nikah," katanya spontan. Tuh kan mulai lagi sifatnya yang penyuruh itu. Udah berapa kali aku bilang kalau aku mau kuliah, walaupun mungkin aku akan menjadi ibu rumah tangga, tapi aku ingin merasakan mengenyam pendidikan yang tinggi.

"Itu maunya kamu aja. Kalau kamu mau gitu, cari aja cewek lain. Gampang, kan?"

Aku kesal dengannya, aku sudah berapa kali menjelaskannya, tapi dia tidak mau mengerti juga. Masa iya aku harus nurutin dia? Nikah aja belum, udah nyuruh berhenti kuliah.

"Kok marah, Yang?"

"Pake nanya lagi. Aku capek, kalau kamu mau berdebat, kamu debat aja sama ban mobil kamu," kataku sambil membuang muka.

"Ban mobil mana bisa ngomong, itu mustahil, Yang. Kamu lucu, deh," katanya sambil mencubit pipiku. Itu sih udah menjadi hobinya, dia gak ngerasain kali ya sakitnya gimana, emang enak apa dicubit gitu.

"Sakit tau, Arv. Kalau kamu udah tahu itu mustahil, berarti nyuruh aku nggak kuliah juga sama aja mustahilnya," kataku memberi perumpamaan. Ia hanya dia dan mulai fokus menyetir mobil. Mungkin dia tau kalau perasaanku sudah tidak enak sama dia.

Bayangin aja, aku baru aja selesai tes, waktunya cuma dikit, dan soalnya juga susah minta digeprek. Duh. Aku curhat sama dia tujuannya biar bisa berbagi, eh malah dia bilang gitu. Pakai nyuruh nggak kuliah, malah bikin emosi lagi.

"Kita makan, ya, Yang?" ajaknya. Aku sudah tidak lapar lagi. Aku hanya diam, terserah deh dia mau ngapain. Mau jungkir balik sambil salto atau lompat tali juga aku gak peduli. Aku udahh terlalu kesal dengannya.

"Kok diam sih, Yang?" katanya, mungkin karena aku tidak menjawab ajakannya. Buat apa sih dijawab, toh juga percuma.

"Emang aku ada pilihan? Kamu kan egois," kataku. Dia tampak kesal dengan perkataanku, dia gak nyadar selama ini sifatnya seperti apa.

"Shensa," panggilnya. Nah ini gawat, kalau dia udah manggil aku pake nama aja, berarti dia lagi marah. Tapi kenapa dia yang marah, yang aku bilang tadi benar, kan? Harusnya aku yang mara sama dia. Dasar aneh.

Aku hanya diam begitu ditegur sama Arvin. Aku bisa apa? Aku gak mau nanti dia ngadu sama bunda atau tante Audy. Aku hanya mengikuti kemana dia mengajakku, paling dia membawaku ke restoran seperti biasa, mungkin aku tidur aja deh, daripada berdebat sama dia.

"Sudah sampai."

Eh? Kok cepat.

Tapi mataku masih berat, ngantuk banget, masih pengen istirahat. Kalau langsung pulang, Arvin bakalan marah gak ya?

"Arv, aku capek. Makannya dibungkus aja ya? Makan di rumah," kataku sambil mengucek mataku. Pasti tampangku sekarang kucel gak karuan. Malu banget harus makan di restoran tapi tampang kayak orang belum mandi gitu.

"Kamu mau turun sendiri atau aku gendong? Aku gak ada masalah buat ngelakuin itu," ancamnya padaku. Nah, kan. Kekanakan sekali. Emang salah ya kalau aku minta dia buat bungkus. Kan tujuannya sama? Sama-sama bikin kenyang.

🍋 ARSENSHA (END) 🍋 Where stories live. Discover now