Oktober 2015 - Happiness

70K 5.3K 60
                                    



"Orianaaa ..." panggil Mama.

"Mamaaa ..." Oriana mengerjapkan matanya, memastikan bahwa yang memanggilnya adalah memang benar mamanya. "Ini bener, Mama?"

Oriana memeluk mamanya dengan erat. "Maafin Oriana belum jadi anak yang baik buat mama... Mama jangan pergi ya,"pintanya.

Usapan jemari mama di kepala Oriana terasa lembut, hingga membuai Oriana terbuai dalam sebuah tanya yang menyesakan dada. Ini bukan mimpi, kan?

"Oriana sayang Mama..." bisik Oriana pilu.

"Mama juga..." kata mama sambil menangkup pipi Oriana dengan kedua tangannya. Dikecupnya kening Oriana, "Oriana jaga diri baik-baik yaa.."

Oriana menyesap memori yang dialaminya ini dengan sebaik mungkin. Dia tatap wajah mamanya yang cantik meski usianya tak lagi muda. Kata orang-orang, wajah cantik yang Oriana miliki, dia dapatkan dari wajah mamanya yang berdarah Manado.

Mama yang lahir dan besar di Manado rela meninggalkan keluarga juga teman-temannya demi mengikuti adat dari keluarga papa yang telah dia pilih untuk menjadi suaminya.

"Karena cinta, Na..." jawab Mama waktu itu.

Mama pernah mengatakan itu pada Oriana. 'Cinta membuat orang mau melakukan apa saja. Tapi kamu juga harus pintar ... jangan sembarangan mengatasnamakan apa-apa dengan kata cinta. Kelak, siapa pun yang menjadi suami kamu, cuma dia yang boleh memiliki hati kamu.'

Oriana ingat rangkaian seluruh kata-kata itu. Dan, karenanya Oriana rela mengorbankan seluruh hatinya demi Arga. Walaupun semuaya ternyata tidak seperti yang dia bayangkan.

"Maafin, Oriana Ma..."

Mama tersenyum ... senyum paling cantik yang pernah Oriana lihat sepanjang dia hidup selama 26 tahun.

***

"Ma ... mama, jangan pergi," rintih Oriana sedih.

"Na ..." Mea sedikit mengguncang tubuh Oriana. Dia baru sampai Jakarta sejam yang lalu dan langsung menuju rumah Oriana. Sepanjang perjalanan pun, tak henti-hentinya air mata Mea mengalir. Mamanya Oriana itu sudah dia anggap seperti mamanya sendiri.

"Oriaaana..."

Mata Oriana terbuka perlahan saat melihat Mea ada di kamarnya. "Mama mana, Me? Dia masak apa? Gue laper, kangen makan masakan dia..."

Mea menubruk tubuh Oriana dan memeluknya erat. Dia tidak ingin mengatakan sesuatu yang berisikan sabar, ini yang terbaik atau apa pun itu. Karena Mea sadar, yang Oriana butuhkan hanya tempat untuk berbagi—tempat agar Oriana bisa puas menangis semaunya.

"Gue ada di sini. Selalu ada, Na, buat lo..."

Tangis Oriana benar-benar pecah. Dari tadi pagi dia memang sengaja menyembunyikan kesedihannya. Oriana tidak ingin membuat papanya semakin sedih.

Oriana menyembunyikan wajahnya di bahu Mea. Dua perempuan itu saling berpelukan sampai air mata Oriana benar-benar kering.

"Di bawah banyak wartawan. Lo mau turun atau gue aja?"

Apa pentingnya sih berita duka? Rutuk Oriana.

"Lo aja ya, Me. Gue lagi males basa-basi..."

Mea mengangguk. "Arga khawatir banget sama lo," kata Mea sebelum pergi.

Pikiran Oriana skip beberapa saat. Hari ini Arga menjemput dan mengantarkannya ke rumah sakit. Hingga detik terakhir mama telah tiada dan dimakamkan Arga masih setia menemaninya.

Arga ... coba kamu perhatiannya beneran.

"Sekarang di mana dia?"

"Tadi dia nitipin lo sebentar ke gue. Katanya dia harus ke kantor karena ada yang urgent. Oh iya, kata dia lo belum makan! Mau makan apa?"

Oriana menggigit bibirnya sedih. Sifat bawelnya mama dan Mea itu 11-12. Sekarang tinggal Mea yang akan mengingatkan ini itu padanya.

"Mau makan Arga, boleh?" tanya Oriana frustrasi.

Mea melempar bantal berbentuk kepala sapi ke wajah Oriana. "Serius ah, Na. makan ya, gue suruh deh bi Nia anter ke sini bawain nasi ya..."

"Mau susu cokelat aja, Me—"

"Makan nasi..." potong Mea.

"Nanti, minum susu dulu deh baru makan nasi."

"Iya ... iya!"

Sepeninggal Mea, Oriana menatap wajahnya di cermin kamar mandi. Wajahnya sembab, matanya bengkak dan ditambah hidung bewarna merah. Berkali-kali Oriana mencuci wajahnya, tapi hasilnya tetap sama.

Masih di depan cermin, Oriana mengingat-ingat kalau sepertinya  tadi dia belum menganti bajunya. Tadi pagi saat meninggalkn Jogja, Oriana mengenakan jeans dan sweater rajut warna marun. Dan ... sekarang dia mengenakan baju tidur yang sudah lama sekali tidak pernah dipakainya.

Ada yang terlewat dari ingatannya. Dan, Oriana hanya bisa menduga-duga. Pasti Mea yang mengganti bajunya bersama Bi Nia.

***

Arga: Ada yang mau kamu titip? aku lagi ada di apartemen.

Lima menit yang lalu pesan dari Arga masuk ke ponsel Oriana. Tapi Oriana bingung harus membalas apa... sejujurnya dia tidak ingin merepotkan Arga.

Arga callings

"Oriana ..."

"Iya, Ar."

"Kamu nggak baca pesan saya?"

"Uhm, baca. ini baru mau bales..."

Arga tertawa. "Maaf, saya kira kamu  nggak lihat pesan dari saya, makanya saya telepon. Jadi mau dibawain apa?"

"Nggak usah dibawain apa-apa."

"Okay."

Oriana pikir pembicaraan mereka sudah berakhir, tapi sepertinya masih ada yang ingin dibicarakan Arga.

"Oriana ... kamu masih di situ?"

"Iya."

Arga ingin jujur tentang tindakannya tadi pada Oriana tapi dia mengurungkannya. Sekarang bukan saat yang tepat.

"Saya ke sana sekarang..."

Oriana mengangguk, "Hati-hati, Ar... dan terima kasih untuk hari ini."

Mereka tampak benar-benar seperti pasangan normal... Di antara kesedihannya hari ini, Oriana mensyukuri satu hal... Arga ada di sampingnya dan itu sudah cukup membuatnya bahagia.

***

Maaaf ya, aku nggak bisa nulis panjang-panjang. Bukannya gak bisa sih, bisa tapi mungkin updatenya bakalan seminggu sekali :D

Ini pengalamanku nulis cerita online, jadi tiap nemu ide, aku langsung ketik dan update. Maaf ya klo partnya pendek2.

Dan terima kasih  lagi, makasih udah baca cerita ini.

Aya.



Oriana's Wedding Diary (Akan Tersedia Di Gramedia 8 Mei 2017)Where stories live. Discover now