Bagian 11

5.1K 523 6
                                    

Tepat seperti yang Venus perkirakan, bunga mawar itu tertata rapi di dalam vas kaca. Parahnya, vas yang digunakan Miranti tidak tanggung-tanggung. Vas bermotif batik yang dibeli Hasan di Semarang saat pameran kebudayaan Indonesia. Dan kini, bunga mawar itu seolah mengejek ketidakberdayaan Venus.

Besok pagi, janji Venus, akan kubuang bunga itu. Pasti!

″Akhirnya, kamu pulang juga,″ sapa Miranti sumringah. Suasana bahagia yang Miranti rasakan terlihat jelas dari pilihan busana yang ia kenakan; baju terusan berwarna kuning cerah dengan pola batik berwarna cokelat muda.

Venus melirik ke arah Anggita yang tampak terpesona dengan kumpulan mawar. Beberapa kali Venus mendapati Anggita tengah menghidu aroma mawar tersebut.

″Ma, kan Venus dah bilang—″

″Biar bunganya dibuang,″ sambung Anggita. ″Mbak, kan, sayang.″

″Itu bunga beracun, menyentuhnya saja bisa menyebabkan gatal-gatal.″

″La terus yang kamu bawa itu juga beracun?″ tunjuk Miranti pada rangkaian iris yang ada di tangan Venus.

″Aku terpaksa,″ bela Venus.

Anggita terkekeh melihat raut jengkel kakaknya. ″Ya udah, buat aku saja.″ Dia langsung menyambar rangkaian iris dari Venus. Dipeluknya iris tersebut seolah iris tersebut penjelmaan dari seorang pangeran. ″Duh, wanginya. Ini pasti yang dinamakan aroma cinta″

″Hidungmu bermasalah,″ ejek Venus.

″Yang penting, hatiku sem-pur-na,″ eja Anggita yang semakin membuat Venus jengkel. ″Oh, di mana-mana aku bisa mencium aroma cinta.″ Anggita kembali menghidu iris sebelum kembali melanjutkan sajak cintanya, ″Dari kumpulan mawar dan iris yang kupetik dari Taman Firdaus, kusuguhkan sebentuk cinta. Padamu, wahai gadis pujaan.″

Venus tahu. Anggita senang membaca kumpulan prosa, dan akhir-akhir ini adiknya membuat sebuah blog pribadi yang berisi kumpulan puisi ciptaannya. Tidak masalah bagi Venus jika Anggita menyalurkan bakat bersajaknya di dunia maya, namun beda ceritanya jika dia bermaksud menjadikan Venus sebagai objek berpuisi. ″Ngi, apa kamu ndak ada PR?″

″Udah kukerjain, tuh.″ Lalu Anggita kembali melanjutkan sajaknya yang tertunda, ″Di bawah naungan purnama. Kan kutunjukkan sebagaian hatiku. Juga rinduku, padamu....″

Tak tahu harus berkata apa, Venus memilih meninggalkan kedua wanita itu di ruang tamu. Benaknya dipenuhi dengan bermacam pikiran; mawar, iris, dan pengakuan.

***

″Mbak Venus lucu,″ ucap Anggita. Melihat wajah jutek kakaknya itu, Anggita hanya bisa menggelengkan kepala—tidak mengerti.

″Yah, mungkin karena yang ngirim bunga.″

Anggita kembali menghidu iris yang ada di pelukannya. ″Adrian?″

Miranti mengangguk. Ditatapnya kumpulan mawar yang ada di dalam vas. ″Setahu Mama, Adrian itu mantannya mbakmu.″

″Tunggu, tunggu. Adrian ini cowoknya Mbak Venus?″

″Dulu,″ koreksi Miranti.

″Eh,″ seru Anggita, sadar akan sesuatu. ″Adrian yang ini, Adrian yang model terkenal itu, bukan? Yang baru pulang dari Inggris? Ah, masak sih? Aduh, Mbak Venus.″

″Mama ndak tahu Adrian itu model atau bukan, yang jelas—″

″Ah,″ potong Anggita, ″yang penting kan dia naksir Mbak Venus. Buktinya, dia masih menyempatkan diri untuk mengirimkan dua rangkaian bunga. Romantis banget.″

Miranti mendengus, ″Kalau Mama lebih setuju dengan Nak Romeo.″

″Itu lagi, itu lagi.″

″Dia sopan, dan sepertinya bisa ngejagain mbakmu.″

″Ah, Mama berlebihan.″

″Nduk, hati seorang ibu itu ndak bisa dibohongin. Mbakmu lebih pantas bersama seseorang yang mampu menjaga hatinya, dan Mama menemukan itu dalam seorang Romeo.″

Inilah yang membuat Anggita takjub. Miranti memiliki caranya sendiri dalam mengungkapakan suatu hal, meskipun terkadang dia keras terhadap putri-putrinya, namun jauh di dalam hati Anggita, dia tak pernah meragukan ketulusan seorang Miranti.

″Ma,″ ungkap Anggita jujur, ″Mama keren deh hari ini.″

″Kamu ini ngomong apa—″

Pembicaraan mereka terhenti oleh suara pekikan Venus. Miranti menatap curiga ke arah Anggita.

Ups,″ ucap Anggita. ″Aku lupa bilang, kalau di kamar mandi ada kecoak.″

″Bocah gembleng.″

***

Adrian tak bisa menghilangkan bayangan Venus, meski pemandangan yang dilihatnya bukanlah wajah Venus yang tersipu. Awalnya, Adrian mengira akan mendapatkan pernyataan terima kasih atas pemberiannya.

Well, tidak semua berjalan sesuai dengan keinginan.

″Senang sekali kamu hari ini,″ ungkap Hartawan. Duduk bersama Adrian di ruang kerjanya, Hartawan bisa menangkap binar-binar kebahagian yang keluar dari keponakannya.

″Apa kelihatan?″

″Sejelas lampu neon di sini.″

Adrian hanya tersenyum mendengar komentar Hartawan.

″Jadi,″ lanjut Hartawan. ″Apa kamu berencana menetap di Indonesia?″

″Mungkin,″ jawab Adrian. ″Lagi pula, Mama dan Papa lebih senang aku bekerja di dekat mereka.″

Hartawan menganguk-angguk. ″Mamamu benar. Lagi pula, sudah saatnya kamu menikah.″

″Om, aku sedang berusaha menangkap pengantinnya,″ goda Adrian.

″Hah, memangnya calonmu itu ayam apa, kok pakek acara kabur.″

″Yah, bisa dibilang seperti itu. Wanita yang kuinginkan segalak ayam jago.″

″Wah,″ Hartawan berkomentar suram, ″susah itu, wanita yang susah untuk ditaklukkan.″

″Justru itulah yang membuatnya menarik.″

Pada detik ini, Hartawan sama sekali tidak bisa memahami jalan pikiran keponakannya. ″Apa Om mengenalnya? Maksud Om, calon pengantin yang kamu maksud itu.″

Adrian hanya tersenyum simpul. ″Lebih baik, untuk urusan yang satu itu, biarlah menjadi sebuah rahasia.″

Hartawan menggelengkan kepala. Tidak mengerti. ″Harusnya kamu kuliah jurusan sastra. Bukannya dari SMP kamu suka menulis puisi?″

″Benar juga,″ ucap Adrian sembari mengangguk. ″Tapi, wajahku terlalu tampan kalau hanya digunakan sebagai penyair saja.″

″Adrian, wake up.

Venus (END)Where stories live. Discover now