Bagian III

975 58 56
                                    

Menuk Parwati mengenakan jeans warna hitam, ketat. Bokongnya penuh sesak memenuhi wadahnya. Kesan kenyal dan pejal akan memenuhi otak laki – laki yang melihatnya. Imajinasi cabul pasti akan memenuhi benak setiap lelaki yang menikmati kemontokkan Menuk Parwati. Jeans hitam itu berpadu dengan kaos oblong warna putih, sangat serasi dan membuat Menuk makin mempesona dengan tampilan kasual seperti itu. Rambut hitam lurus tergerai bebas sebahu, sungguh ia tidak menampakkan kalau hanya anak petani utun.

"Mak, kamu enggak ke sawah?" tanya Suwito dari belakang rumah, sambil bersiul – siul.

"Nunggu Menuk pergi, Pakne."

"Ya sudah aku pergi dahulu, nanti nyusul sambil bawa bontot ya.."

"Iya Pakne, sudah saya siapkan semua kok."

Terdengar langkah kaki Suwito diseret paksa menuju sawahnya. Saat ini tanaman padi baru berumur sekitar satu bulan setengah, waktunya menyiangi dari gulma penganggu tanaman. Selesai disiangi pemupukan kedua menjadi pekerjaan selanjutnya. Jika ada hama dan penyakit penganggu, tentu para petani akan mengendalikannya dengan menggunakan pestisida. Pupuk, pestisida, dan bibit banyak yang hutang kepada para tengkulak.  Jika panen nanti,  petani harus menjual gabahnya kepada tengkulak itu dengan harga murah. Penjajah petani yang nyata adalah para tengkulak dan lintah darat, selain kebijakan pemerintah yang tidak pernah memihak kepada petani.

Wangi bunga kopi menyeruak ke dalam rumah Dul Bari, Kepala Desa Talang Baru. Kabut tipis menyelimuti permukaan bumi. Hawa dingin menggigit kulit. Sekawanan burung berkicau meracau, membacakan sajak – sajak keindahan pagi, kedamaian hati, dan kesahajaan penduduk desa. Matahari masih terhalang Bukit Perahu, tapi semburat merah menghiasi langit sebelah Timur. Sudah hampir satu bulan mahasiswa Universitas Negeri itu mengadakan Kulaih Kerja Nyata (KKN) di Desa Talang Baru.

Desa Talang Baru sangat terpencil.   Akses ke kecamatan hanya ada jalan setapak di punggung bukit. Jalan berupa tanah merah yang jika hujan tidak akan bisa dilewati. Di kanan dan kiri jalan adalah perkebunan kopi robusta milik rakyat. Menurut Menuk Parwati yang calon Sarjana Pertanian, perkebunan itu masih diusahakan secara tradisional, belum berbasis good agriculture practices.

Pagi iku Samijan mahasiswa Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan, salah satu peserta KKN masih berkalung handuk di depan rumah Pak Kades. Rumah Kades selalu menjadi posko KKN karena rumahnya paling besar, dan kamarnya banyak. Samijan masih mengintimi wangi bunga kopi yang mencucuk penciumannya. Ia serasa di tepi sebuah loka yang indah. Di tepi loka itu ada lincak bambu.  Di sana Ken Dedes duduk menghadap loka. Ken Dedes mengenakan gaun putih transparan tanpa dalaman. Samijan tersengal nafasnya, dadanya dipenuhi berahi pagi yang penuh gairah. Burung empritnya bercuit – cuit membacakan syair –sayir cabulisme.

"Jan!, Mandi cepat gantian tempatnya!" pekik Suparwo

"Kamu duluan, Wo."

MARKOSET MENGEJAR KEN DEDESजहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें