Bagian XVI

823 40 52
                                    

Markoset seperti jatuh cinta lagi. Ia suka berlama – lama di depan cermin, sambil rengeng – rengeng. Ia memeriksa kerutan kulitnya di muka, lalu memcoba tersenyum di depan cermin itu.

"Dedesku sayang kau datang terlambat, aku sudah tidak perkasa lagi. Buruh empritku sudah pemalas, pagi pun tidak mau bangun" gumamnya sendiri.

"Prof, itulah takdir" kata burung empritnya.

"Menyedihkan ya?"

"Hmmm, memang kau masih butuh kenikmatan itu, Prof?"

"Kau seharusnya mengerti, Emprit?"

"Apa?"

"Kau belum pernah bermain – main dengan apem cubby-nya."

"Tapi kan aku sudah puas sama Apemnya Siti."

"Hihi..." Prof. Markoset terkikik sendiri di depan cermin.

Pagi – pagi setelah sarapan Prof. Markoset sudah menghubungi Ken Dedesnya. Layaknya anak baru gede,Prof. Markoset cas cis cus membual. Seorang pembantu menyuguhkan kopi pahit tanpa gula kesukaannya dan beberapa potong roti baker, di meja kecil di taman belakang rumah.

"Sayang, kapan kamu bisa kemari?"

"Mas, aku lagi ada proyek yang harus aku selesaikan."

"Kalau begitu aku saja yang ke Jakarta."

"Memang pekerjaanmu bisa ditinggal?"

"Bisa, kan ada asistenku, Cinta.."

"Ciehh Cinta, gombalmu terlambat, Mas"

"Tidak ada yang terlambat, sayang."

Obrolan mesra itu telus bergulir. Minggu ini Markoset sedang santai, sambil mengurus beberapa burung kesayangannya. Burung – burung itu berkicau mengejek sang kakek yang jatuh cinta lagi. Sambil rengeng – rengeng Prof. Markoset membersihkan kandang burung – burungnya. Bunga – bunga anggrek peninggalan Siti Sundari istrinya tetap berbunga dan berseri – seri. Jika ia sedang kangen istrinya, Prof. Markoset selalu menyirami bunga – bunga itu, menyianginya dari gulma yang tumbuh.

Jumat sore sepulang mengajar, Prof. Markoset berangkat ke bandara diantar oleh Pradnya Paramitha putri bungsunya. Putri bungsunya itu dokter internship di Puskesmas kotanya sendiri.

"Papa mau ketemu Tante Menuk?"

"Iya sayang Papa."

"Papa mau menikah sama Tante Menuk?"

"Kalau kalian mengijinkan."

"Memang Tante Menuk mau?"

"Haha, kau meremehkan papamu? Ken Angrok ini?"

"Papa..,Papa, masa lalu itu indah ya, Pa?"

"Kau akan merasakan kelak, Sayang."

"Pa, Papa langsung mau melamar tante?"

"Iya, kalau kalian mengizinkan."

"Demi kebahagiaan Papa, kami sepakat mengijinkan."

"Terima kasih sayang Papa." Prof. Markoset mencium kening putrinya. Dokter internship itu tersenyum – senyum sendiri membayangkan percintaan masa tua itu.

Pernikahan sederhana digelar di kediaman Prof Markoset. Tentu pernikahan Ken Angrok dungu dengan Ken Dedesnya. Pernikahan itu hanya dihadiri keluarga kedua mempelai dan kawan – kawan dekatnya. Markoset dan Menuk Parwati duduk bersimpuh menghadapi penghulu. Sekali saja akad di ucapkan dan syah....! kata para saksi pernikahan itu.

Markoset mencium kening Menuk Parwati. Ken Dedes tahun 1980-an itu menunduk melayani kecupan mesra suami barunya. Manuk mencium punggung tangan Markoset, selanjutnya mereka berangkulan eraaaaaaaat sekali. Ken Angrok gaek dan Ken Dedes menapouse itu pun resmi menjadi suami istri.

"Sayang, ini malam pertama kita."

"Iya, sayang."

"Coba tiga puluh tahun yang lalu ya..."

"Mas menyesal?"

"Oh enggak, sayang."

Prof. Markoset mestimulus emprit kisutnya, tapi dengan susah payah ia hanya menggeliat malas. Ia pun meminta tolong Ken Dedes yang melakukan. Mereka mencoba seperti bayi lagi tanpa sehelai benang pun tersangkut di badan. Tapi hampir satu malam pertempuran dua singa ompong itu tidak penah terjadi. Keduanya hanya bergumul dalam senda gurau penuh kasih sayang tanpa kehadiran berahi.
#AltEnding #JustWritelt

Oleh : S. S. Van Beuteles

Galela, 06 November 2016 

MARKOSET MENGEJAR KEN DEDESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang