Bagian V

805 50 20
                                    

Desa Umbul Bambu berjarak sekitar limabelas kilometer dari Desa Talang Baru. Akses penghubung kedua desa itu pun hanya jalan tanah setapak di punggung – punggung bukit. Umbul Bambu terletak lebih rendah dari Talang Baru. Di  desa itu masih ditemukan sawah pada daerah rendahannya. Wilayah perbukitannya didominasi tanaman keras seperti kopi, durian, cengkih, bambu, dan melinjo. Umbul Bambu lebih bersahaja warganya. Mereka masyuk mendekap kemiskinannya tanpa pernah mengumpat kepada siapapun, apalagi kepada Tuhan.

Markoset dan enam mahasiswa lain KKN di desa itu. merekapun tinggal dan menjadikan rumah kepala desa sebagai posko KKN. Pagi itu Markoset gelisah dirundung rindu. Rindu kepada pemeran Ken Dedes. Rasanya wajar jika Ken Angrok merindukan Ken Dedes, gadis berparas ayu dan bertubuh seksi itu, gumam Markoset sendiri .   Ia masih mangu di jendela depan rumah Marwoto, Kepala Desa Umbul Bambu. Pandangannya menyapu perbukitan yang berdiri angkuh di belakang perkampungan. Untuk bisa menemui Ken Dedes ia harus menyusuri jalanan di perbukitan itu, naik ke atas terus dan di balik bukit itu Ken Dedes bersemayam.

Dedes, aku kangen pipi bakpaomu, mancung hidungmu, lembut kulitmu, wangi kentutmu... Gumam Markoset sendiri sambil nyengir bandot berahi. Kentut? Wuek! Mana ada kentut wangi? Markoset melayani kecamuk pikirnya. Dan respon alaminya lagi – lagi hanya dengan nyengir sendiri. Jika ada yang mendapati wajah Markoset seperti itu, pasti menganggap anak Camat Nagdirejo itu gila!

"Hari ini minggu, aku harus main ke Talang Baru, aku kangen kamu Dedesku!"

"Heh, dia sudah disikat sama Samijan!" Gaung dalam dadanya sendiri.

"Samijan? Hah.. dia hanya calon Umar Bakri! Aku ini calon Insinyur Hutan!"

"Heh, bukan masalah gelar!"

"Lalu?"

"Yang ada dihati akan dikalahkan dengan yang ada disisinya setiap saat!"

"Benar katamu suara hati! Kalau begitu aku harus ke sana sekarang!"

"Cepat susul Dedesmu itu!"

"Hmm, Dedesku, Ken Angrok segera menyusulmu!"

"Pergilah segera bandot!"

Selesai mandi pagi, sarapan, dan berpakaian necis Markoset mengeluarkan tunggangannya, CB100. Calon insinyur kehutanan itu wangi sekali, mungkin parfum satu gayung ia siramkan ke tubuhnya. Rambutnya yang dulu gondrong kini pendek dan rapi. Ia menyisirnya klimis sekali, mungkin pomade satu wadah ia habiskan untuk melicinkan rambutnya. Seandainya ada lalat hinggap di kepalanya,  pasti ia akan terpeleset.   Sungguh licin rambutnya kali ini. sambil bersiul – siul tanpa syair itu mengelap tungangannya dengan gombal amoh. Motor pemberian bapaknya itupun tidak kalah licin.

"Hai! Mau kemana pagi – pagi sudah necis saja, Mar?" tanya Siti Sundari.

"Ke Talang Baru, Sun."

"Ikut ya?"

"Jangan, jalannya susah!"

"Enggak apa – apa, aku kan petualang, Mar!"

"Jangan! Aku takut nanti tergelincir masuk jurang, aku bakal dimarah orang tuamu!"

"Justru nanti kalau kamu tergelincir sendiri bagaimana?"

"Jangan pikirkan aku."

"Mana bisa begitu, Mar."

MARKOSET MENGEJAR KEN DEDESOnde histórias criam vida. Descubra agora