Bagian XV

607 47 20
                                    

Menuk menikah dengan Sapto Wibowo dikaruniai tiga anak yang sudah dewasa semua. Sayang Sapto Wibowo yang kala itu sudah menjadi perwira tinggi harus gugur dengan sia – sia saat ikut dalam kecelakaan helikopter militer. Menuk kini menjanda, dan tak ada niat juga untuk menikah kembali.

"Hai, ini Menuk Kan?" sapa seorang perempuan seumuran dengannya.

"Kamu! Endah..!" mereka berpelukan lama sekali.

"Lagi mengenang masa lalu ya?  Kok makan di kantin ini?"

"Hmmm, iya".

"Ada acara apa? seminar International di Auditorium itu?"

"Iya Ndah, kamu sendiri ngajar di almamater kita?"

"Iya, berapa anakmu, Ndah?

"Tiga Nuk, kamu?"

"Tiga juga."

"Masih ingat Ken Angrok dungumu?"

"Maksudmu Markoset?"

"Iya."

"Hihi, tentu masih lah"

"Dia sudah Profesor loh."

"Hebat! Dia memang cerdas kok."

"Siapa istrinya?"

"Almarhumah Siti Sundari."

"Innalillahi wa inna illahi rojiun, Siti sudah tiada?"

"Dia meninggal kecelakaan pesawat beberapa tahun yang lalu"

"Oh.."

Obrolan dua sahabat lama itu akrab sekali. Drs. Endah Ratnawati, M.Si, Ph.D mengajak Menuk mampir ke ruang kerjanya di gedung A Fakultas MIPA. Obrolan berlanjut sangat akrab.

Prof. Dr. Ir. Markoset,M.Si sedang sibuk memeriksa skripsi mahasiswanya, ketika pintunya di ketuk. Kacamata tebalnya ia buka, dan diletakkan di tumpukan skripsi.

"Masuk...!" pekiknya.

Pintu terkuak dengan perlahan, dan dua wanita seumuran tampak olehnya. Ia mengernyitkan dahi, kalau Endah tentu ia sangat kenal, karena hampir setiap hari berpapasan. Siapa yang satunya? Batinnya.

"Prof, masih ingat cewek cantik ini?"

"Hmmmm, Masya Allah! Kamu! Yah..."

"Siapa coba?" tanya Menuk Parwati.

"Kamu Ken Dedesku dulu, Menuk...!"

Prof. Markoset memeluk Menuk Parwati. Kali ini Menuk pasrah dalam dekapan kakek tua itu. Endah yang menyaksikan itu terharu, beberapa kali ia menyeka airmatanya.

"Nuk, mimpi apa aku semalam. Ada angin apa kamu bisa tertiup kemari?"

"Angin apa ya Prof.."

"Jangan panggil aku Prof, formal sekali itu."

"Lalu?"

"Panggil sayang boleh."

"Haaa, kamu sudah bisa nggombal, Mar?"

"Loh dulu juga bisa kok."

"Enggak, kamu dulu dungu. Makanya aku memilih Sapto ketimbang kamu, Mar."

"Hahaha...." ketiga sahabat lama itu tertawa terpingkal – pingkal.

Pertemuan itu mereka gunakan untuk bertukar kontak. Prof Markoset pun sumringah hari itu, apalagi ia akhirnya tahu kalau Ken Dedes itu sudah menjanda. Meski sudah kepala lima, menurut Markoset Menuk tetap mempesona. Perawatan tubuh yang dilakukan Menuk, membuat ia terlihat segar, montok, dan tetap cantik. Sayang penuaan pada bagian – bagian tertentu tidak bisa ia lawan.

MARKOSET MENGEJAR KEN DEDESDove le storie prendono vita. Scoprilo ora