Bagian VII

651 38 20
                                    

Markoset memacu CB 100 - nya dengan lumayan kencang. Debu terterbangan di buritan motor. Mesin buatan negeri yang pernah menjajah kita itu mendengus - dengus menahan letih. Jalanan menanjak dan setapak menjadi tantangan tersendiri bagi Markoset. Beberapa kali ia terlihat berdiri untuk menghindari benturan burung empritnya dengan tengki motor yang keras. Lubang di tengah jalan itu tidak mungkin dihindari, tapi harus diterjang. Dalam pelupuk matanya hanya wajah Ken Dedes yang merajai. Ia tidak sabar ingin melihat pipi bakpao, hidung mancung, rambut lurus, alis seperti sapu ijuk, dan kulit yang langsat ke merah - merahan.

"Sabar ya Dedesku." Gumamnya sendiri.

"Kau harus jadi milikku. Tungku dapurmu harus batang kayuku yang mengisi. Ah, Dedesku..." Suara sunyi hatinya.

Markoset beberapa kali tersenyum sendiri, dan lidahnya menjulur - julur menjilati bibirnya yang mengering. Ia pasti berimajinasi liar bergulat masgul dengan Ken Dedes di peraduan asmara penuh cinta. Tercurah tumpah segala sengal di dada, dalam desah dah dengus merdu. Peluh luruh membasuh raga. Butiran - butiran cinta itu mensucikan segala buncah berahi yang membabi buta. Bersih dan suci terkulai dalam lelah di asmaraloka. Hayaaaaaaah...! Batin Markoset. Jangan lari Ken Dedesku, tunggu aku di singgasana asmaramu. Gaung kalimat itu menggema dalam rongga dada Markoset.

"Diancoooook!" lengking seru suara Markoset, dan Bbbuugghh! Tubuhnya terpelanting ke tanah merah. Heggg! Untung CB 100 - nya hanya roboh ke arah dinding tanah. Ia sendiri masih terduduk pasrah di tanah jalan setapak di tengah kebun kopi. Lamunannya membutakan pandangannya. Ada sebatang kayu menghalang jalan, ia lantakkan saja motornya. Hasilnya ia mencium bumi pertiwi dengan paksa. NKRI harga mati! Pekiknya sendiri. Lalu apa hubungan jatuhnya dengan nasionalisme? Dasar Markoset, mungkin otaknya lagi konslet!

Ia berdiri sambil memegangi bokongnya. Dan mencoba menstimulus burung empritnya, masih bisa bangun atau tidak. Tentu ia takut azimat tombak asmarandananya itu tidak bisa tegak lagi. Bakal di sepak dengan tungkak oleh Ken Dedes, kalau itu terjadi.

"Syukurlah dek, kalau kamu masih mau bangun," ucapnya pada si emprit.

"Kak, hati - hati. Kau pasti tidak mau aku lemas terkulai kan?"

"Tentu adikku."

"Untung jatuhnya pelan, coba kalau kuat dan aku tertindih motor bagaimana?"

"Maafkan aku sayang."

"Aku maafkan kamu kali ini, lain kali aku ngambek!"

"Ngambek bagaimana?"

"Kalau kamu ketemu Ken Dedes, aku gak mau menggeliat"

"Ih, jangan begitulah, Dek."

"Makanya hati - hati. Cepat berdirikan CB 100 mu itu!"

"Iya emprit pekingku."

"Hmmm, nggombal! Pret, dut, crot...!"

"Hustt jangan omes!"

"Kamu itu Kak yang omes, masa titit diajak ngomong."

"Hehehe, iya ya.., maafkan aku."

MARKOSET MENGEJAR KEN DEDESDove le storie prendono vita. Scoprilo ora