Bagian XIV

601 45 6
                                    

Markoset menggeber CB 100-nya melintasi jalanan kampung. Tidak lama Ken Angrok dungu itu sudah meninggalkan jalanan desa, kini ia sudah menjelajahi jalanan setapak di punggung bukit. Bau harum bunga kopi tidak mampu membuat otaknya segar, tetap buncah ruah oleh rasa kecewanya. Ken Dedes tidak memberinya kesempatan untuk bercengkrama sekalipun, apalagi mengelus kulitnya yang lembut. Dancooooooooook! Pekik Markoset di tengah jalan setapak kebun kopi.

Satu tahun setengah dari hari yang tidak beruntung bagi Markoset itu, menjadi hari paling membahagiakan dan bersejarah dalam hidupnya. Bukan kawin dengan Ken Dedes, tapi hari itu adalah pengukuhannya sebagai Insinyur Kehutanan dengan IPK 3,98. Nyaris sempurna, dan ia langsung ditawari beasiswa ke Hokkaido University, Jepang. Sepulang dari jepang ia wajib mengajar di almamaternya. Ken Angrok dungu itu hanya bodoh dalam cinta, tapi cerdas dalam akademik.

Bagaimana dengan Menuk Parwati? Ia juga dikukuhkan sebagai Insinyur Pertanian hari itu. Markoset sempat melihat Menuk bersama kedua orang tuanya, adiknya, dan seorang laki – laki yang tegap, gagah, dan ganteng. Siapa gerangan dia? Tunggul Ametung kah? Tidaaaaaaaaaaak! Ken Dedes hanya milik Ken Angrok bukan Tunggul Ametung, jerit batin Markoset. Markoset yang tidak bisa menahan resah hati, memberanikan diri mendekati Menuk Parwati dan keluarganya.

"Selamat ya, Nuk..," ucap Markoset sambil mengulurkan tangan.

"Eh, terima kasih, Mar. Selamat juga untukmu, jadi wisudawan terbaik. Kabarnya langsung berangkat ke Hokkaido ya?"

"Iya, Nuk. Beasiswa S-2, tapi aku harus jadi dosen di almamater kita."

"Wah enak dong, pekerjaan sudah di tangan."

"Hehehe...terima kasih, Nuk."

"Oh ya, kenalkan ini Mas Sapto Wibowo. Dia perwira di Kodim, lulusan Akabri."

"Hmmm, Markoset," sapanya sambil mengulurkan tangan.

"Sapto Wibowo," balas Sapto dengan suara dalam, berat, dan menggaung dalam tenggorokan.

Markoset ciut nyali, dan langsung luruh segala hasrat asmaranya. Ia seperti digranat oleh Sapto Wibowo. Markoset minta diri sambil membawa kepingan cintanya dalam benak yang buncah. Sampai di tempat sampah, ia memuntahkan segala cinta dan sayangnya kepada Menuk Parwati, Ken Dedesnya itu. Dedes, kau boleh dimiliki tunggul Ametung, tapi itu untuk sementara. Sepulang dari Hokkaido kau harus jadi milikku, batin Markoset sambil menangis meraung – raung dalam batin saja. Tidak sampai menembus rongga mulutnya. Iluh yang  jatuh beberapa tetes, secepat kilat ia mengusapnya.

"Markoseeettt...!" pekik Siti Sundari.

"Siti..."

"Iya aku datang, selamat ya sudah resmi menjadi Insinyur Kehutanan."

"Terima kasih Siti, kau kapan wisuda?"

"Insya Allah pereode II bulan September, Mar."

Siti mengulurkan bunga pada Markoset. Markoset menerimanya dan membalas dengan senyum manis kepada Siti Sundari. Siti melingkarkan tangannya ke pinggang Markoset, Ken Angrok dungu itu pasrah. Dari kejauhan Menuk Parwati melihat adegan itu tersenyum. Bibirnya menyeringai manis sekali. Memang Siti tidak sesempurna Menuk Parwati, tetapi Siti mempunyai cinta yang bisa dipersembahkan untuk Markoset.

Itu lamunan sepenggal kenangan saat Ir. Menuk Parwati, M.Si masih menjadi mahasiswi di kampus negeri ini. Hampir duapuluh lima tahun ia tak pernah menginjakkan kakinya di kampus ini, hari ini ia bisa menginjakkan kaki di almamaternya. Seminar International Sustainable Agriculture menggiringnya pulang kandang. Menuk kini pegawai eslon II di Departemen Pertanian, Jakarta.

MARKOSET MENGEJAR KEN DEDESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang