6. Awal Sebuah Ancaman

11.6K 1.4K 166
                                    

Tiga hari setelah Fakhri menarik semua fasilitas kendaraan Iqbaal, dan selama tiga hari ini Iqbaal pergi sekolah bersama Fakhri, pulang bersama Fakhri. Meskipun, kemarin dia nekat pulang naik bus dan membuat Fakhri menunggu di depan sekolah, karna Fakhri pikir Iqbaal belum pulang.

Iqbaal membuka pintu rumah dengan wajah lelah. Senyumnya terukir tipis saat melihat Ina yang mungkin juga baru pulang, itu karna Ina masih mengenakan seragam sekolah.

"Kak Iqbaal, kakak udah tahu belum?" tanya Ina.

"Ya nggak tau, kan Ina belum ngasih tau."

Ina mengangguk dengan wajah polos dan menariknya menuju garasi. Tingkahnya itu tentu saja membuat kedua alis Iqbaal bertaut bingung. Dan asal kalian tahu, Ina suka wajah bingung kakaknya, karna menurut Ina, wajah Iqbaal akan menjadi sangat mirip dengan Almarhum Pamannya.

"Daddy beliin kakak sepeda!" Ina histeris dan bertepuk tangan kecil ketika melihat sepeda baru Iqbaal.

Iqbaal hanya memasang wajah datar dan menunjuk sepeda baru yang masih setengah berbungkus plastik bergelembung yang jika di pencet akan menimbukan bunyi 'cetik'.

"Kakak kan udah punya sepeda, ngapain Daddy beliin lagi? Terus, sepeda kakak mana?" tanya Iqbaal.

"Sepeda Kakak udah di jual di tukang loak sama Daddy. Katanya, sepeda Kakak udah butut." jawab Ina.

"BUTUT?! AnjiritusepedaudahpernahdidudukinBubiogeb!!" teriak Iqbaal tanpa spasi, koma, bahkan titik.

"Kakak ngomong kok kayak petasan tahun baru sih? Ina nggak ngerti."

Iqbaal menggeram kesal dan mengepalkan kedua tangannya dengan kuat. "Lupain aja."

***

(Namakamu) menghela napas kesal karna Daniel yang tidak berhenti mengomeli dirinya hanya karna ia menari Ballerina dan itu tanpa seizin Daniel.

"Emang kenapa sih kalo aku suka Ballerina? Ada yang salah? Itu cuma hobi aku, Daniel." tanya (namakamu).

"Hobi? Lucu banget kamu milih hobi Ballerina, hobi itu yang bagusan dikit napa, kayak nggak ada hobi lain aja." balas Daniel sinis.

"Aku nggak ngerti kenapa Papa ngejodohin aku sama kamu. Cowok kasar, selalu pengen menang sendiri-"

Kata-kata (namakamu) terhenti saat Daniel mencengkram lengan (namakamu) kuat-kuat. Daniel menatap (namakamu) tajam dan menakutkan. Tapi, sepertinya tatapan itu tidak lagi menyeramkan di mata (namakamu).

"Kamu sekarang jadi berani, ya?" Daniel melepaskan tangan (namakamu) dan menghela napas. "Sejak kamu deket sama Iqbaal, kamu banyak berubah. Jadi makin berani sama aku. Kamu harus ingat siapa aku. Aku pacar kamu."

(Namakamu) memilih diam dan menunduk. Mengenal Daniel sejak kecil menjadi sebuah penyesalan dalam hidupnya. Seandainya, dulu dia tidak memperkenalkan Daniel sebagai sahabatnya di depan Papanya. Mungkin, pikiran tentang perjodohan itu tidak akan pernah ada.

"Daniel, selama ini aku ngalah sama kamu, aku selalu nurut sama kamu. Apa semua itu kurang buat kamu? Aku nggak pernah ngelarang kamu buat ngelakuin apapun. Apa kamu nggak bisa ngertiin aku dikit aja? Susah ya buat kamu?" (namakamu) menatap Daniel dengan mata berkaca, lalu melepaskan seatbelt yang masih memeluknya sejak tadi.

(Namakamu) menghela napas berat. "Lebih baik kita putus aja, kita emang nggak cocok. Dan soal Papa, itu urusan aku."

"Kamu mutusin aku?!" tanya Daniel dengan nada meninggi.

"Aku bener-bener nggak bisa lagi sama kamu, Niel. Dan yang terbaik ya, kita putus aja. Maaf...," kata (namakamu), lalu turun dari mobil Daniel dan berlari kecil membuka pintu pagar rumahnya.

Bubi & Pluto [Completed]Where stories live. Discover now