1

5.1K 278 4
                                    

--- RAVINDRA POV. ---

--- Kupang, 11 tahun yang lalu ---

"Rav, bangun!" terdengar suara panik namun juga bersemangat Kak Deva membangunkanku sambil menggoncang tubuhku.

"Apaan sih, Kak? Masih ngantuk ni, belum telat ke sekolah kan?" aneh juga Kak Deva panik, walaupun Kak Deva sering berisik, tapi dia bukan anak yang mudah panik. Selain itu udara malam ini rasanya panas.

"Kita harus keluar sekarang, Rav. Cepat pakai celana dan bajumu. Kita gak punya banyak waktu, Rav. Buruan!" bentak Kak Deva melemparkan kaos merah dan celana seragam bola padaku.

"Kenapa sih, Kak Deva? Jangan marah-marah lah. Mau ke mana kita jam segini, Kak? Papa Mama nanti marah, Kak." ucapku sambil menahan tangan Kak Deva yang berusaha menyeretku keluar kamar.

"Denger ya, Rav. Ada kebakaran. Kamu tidur kaya orang mati aja. Itu teriakan warga kampung bawah terdengar. Kita harus keluar tolongin mereka, Rav." sontak aku langsung berlari bersama Kak Deva keluar dari rumah.

Kami berlari sekuat tenaga dan secepat mungkin dari rumah kami yang terletak cukup jauh dari kampung tempat terjadinya kebakaran. Rumah kami memang tidak berada selokasi dengan kampung pemukiman warga sekitar, itu karena rumah kami memiliki luas bangunan dan pekarangan yang lebih besar dari warga sekitar, sehingga posisi tanah rumah kami memang agak jauh. Sekitar 20 menit berjalan kaki dari rumah untuk mencapai rumah pertama di kampung bawah. Mama sering menggunakan pekarangan rumah kami untuk mengajar warga kampung sekitar yang rata-rata masih buta huruf, maka dari itu rumah kami meski jauh masih banyak dikunjungi oleh warga kampung sekitar.

Malam itu, aku dan Kak Deva mondar mandir menolong warga untuk mengamankan barang-barang mereka. Papa dan Mama pasti akan bangga bila tahu anak-anaknya menolong warga yang kesulitan. Kami akan menjadi kakak-kakak yang baik dan menjadi contoh bagi adik kami, Dira yang masih berusia 2 bulan. Aku dan Deva akan menjaga Dira adik perempuan kami dengan baik, menjadi contoh untuk Dira agar selalu berbuat baik, membantu sesama yang kesulitan. Persis seperti apa yang selalu diajarkan oleh Papa dan Mama.

Anehnya, malam itu Papa dan Mama sama sekali tidak muncul bahkan setelah beberapa jam kebakaran terjadi. Mungkin Papa dan Mama masih kelelahan karena harus mengurus Dira yang rewel sejak 3 hari yang lalu. Kami dengan giat terus membantu warga kampung untuk menyelamatkan harta benda dan menjaga anak-anak mereka yang masih terlalu kecil untuk membantu.

Esok paginya meski kebakaran belum padam betul, warga menyuruh kami untuk pulang dan berisitirahat. Mereka tahu bahwa kami harus berangkat sekolah bersama Papa yang akan ke kota. Dengan sigap aku dan Kak Deva berpamitan pada warga kampung dan beranjak pulang. Dari kejauhan aku melihat asap mirip seperti asap kebakaran di kampung tadi. Langsung kusenggol Kak Deva yang kelihatan lelah dan menunjuk pada asap yang berasal dari arah rumah kami.

"Rav, kamu cepet lihat kondisi rumah. Aku kembali ke kampung untuk minta pertolongan." perintah Kak Deva yang langsung kulakukan tanpa bantahan.

Sesampainya di pekarangan rumah, aku tidak tahu apa yang harus kuperbuat. Tidak ada lagi bangunan yang semalam kami tempati. Hanya ada api yang masih membara dan kepulan asap hitam terus melahap dinding-dinding rumah.

----------------------------------------------------- Jakarta, 2017 -------------------------------------------------------

"Dad, tidak bisakah aku pindah kampus lain saja? I'm tired too pretend that I'm okay around her." protesku pada Antonio yang memintaku untuk berkuliah di universitas yang sama dengan anak perempuan dari bajingan yang menghancurkan hidupku. Antonio hanya melihatku dengan tatapan tajam yang selalu membuat anak buahnya hormat dan musuhnya gentar, tapi tidak aku. Antonio telah menganggapku sebagai anaknya, membesarkanku dengan caranya, maka tatapannya tidak lagi menakutkan bagiku. Tatapannya kini berubah menjadi sebuah tantangan bagiku, tantangan untuk membuktikan diriku pantas untuk menyandang nama Ruby dan mampu membalaskan dendam orangtuaku.

"Kalau berada satu kampus saja kau tidak bisa, bagaimana kau bisa membalaskan dendam orangtuamu? Indra, bunuh semua perasaanmu dulu! Kau tidak bisa mencintai atau membencinya. Kau harus terlihat biasa saja. Dekati dia. Sudah berapa lama kalian bersekolah bersama, tapi kau masih belum bisa menekan perasaanmu? Be heartless, Indra. You don't need to feel anything anymore." bentak Antonio padaku.

Aku tahu aku harus menghapus semua perasaan yang kumiliki. Aku tidak boleh membenci, apalagi mencintainya. Aku cukup tidak perlu merasakan apapun. Kalau aku membencinya, aku akan mengakhiri permainan ini terlalu cepat, mengakhiri penderitaan mereka terlalu cepat, itu terlalu mudah bagi mereka. Kalau aku mencintainya, aku tidak akan pernah bisa membalaskan dendam orangtuaku. Selamanya orangtuaku tidak akan tenang.

"Kau harus mengerti, Indra. Pertama, kau harus sekolah, selesaikan pendidikanmu, nak. Sembari kau menuntut ilmu, menyiapkan diri untuk mengambil alih seluruh bisnisku dan bisnis keluarganya nanti, kau juga harus mendekatinya. Kedua, kau selesai dengan pendidikanmu, selesai juga membuatnya tergila-gila padamu. Miliki dia, Indra. Miliki dia. Ketiga, kau bisa mencampakkannya seperti sampah, buat orangtuanya menderita seperti mereka membuatmu menderita." ucap Antonio padaku dengan perlahan, menekankan kata demi kata. Dan seperti biasa, Antonio selalu benar. Ia benar, aku harus bisa bersikap biasa saja.

"You are right, Dad. Aku akan berusaha membunuh semua perasaan yang ada padaku sampai semuanya selesai. Aku tidak akan membencinya, aku tidak akan merasakan apapun padanya."

"Good boy. Now, apa kau masih ingin tinggal sendiri seperti rencanamu, Indra?" Antonio menanyakan rencanaku untuk meninggalkan mansionnya dan tinggal di sebuah apartemen. Dengan begini aku bisa lebih bebas bergerak selama berada di universitas, mahasiswa yang lain tidak perlu tahu kalau aku memiliki hubungan dengan Antonio. Polisi juga akan berhenti mencurigai dan mengikutiku kalau mereka berpikir aku memberontak dan ingin lepas dari Antonio.

"Ya, Dad. Kurasa ini yang terbaik. Kau masih bisa menyuruhku melakukan tugas seperti biasa, hanya aku tidak lagi tinggal di mansion. Akan sangat mudah bila mereka berpikir bahwa aku memutus hubungan denganmu, Dad. Uang di rekeningku juga lebih dari cukup untuk biaya kuliah dan hidup, selain itu aku juga akan mencari pekerjaan. Mereka tidak akan curiga kalau aku bekerja sembari kuliah, sehingga sangat mungkin bagiku untuk hidup mandiri."

"Hmm... Pemikiran bagus, Indra. Bawalah kendaraan juga. Apa kau sudah memutuskan di mana kau akan tinggal?" sebenarnya aku belum juga menemukan apartemen yang pas dengan kebutuhanku, terutama apartemen yang menjamin privasi. Jadi, aku hanya menggeleng untuk menjawab pertanyaan Antonio.

"Aku perlu tempat yang dapat menjamin privasiku, jadi pasti apartemen dengan penjagaan yang ketat dan ekslusif. Dengan begitu akan mudah bagiku untuk bergerak sesuai kebutuhuan, entah untuk pekerjaan yang kau berikan atau untuk mendekati perempuan itu. Ada tempat yang kau sarankan, Dad?"

Antonio membuka laci meja kerjanya dan memberikan beberapa kartu nama padaku. "Coba kau lihat-lihat saja mana yang menurutmu pas. Aku tidak perlu tahu di mana kau akan tinggal Indra, kurasa itu lebih baik. Dengan begitu bila ada sesuatu terjadi padaku, polisi tidak akan mendapat informasi di mana dirimu. Mereka akan berpikir bahwa kita benar-benar telah putus hubungan, apalagi mengingat apa yang pernah Andra lakukan." Devandra, bagaimana kabar kakakku satu itu. Dasar bocah tolol, dia meninggalkan Antonio hanya karena bisnis yang dimilikinya. Antonio sudah sangat baik pada kami, menerima dan membesarkan kami seperti anaknya sendiri, tapi Deva memutuskan pergi dengan kenaifannya. Sudah 2 tahun dia pergi meninggalkan kami, dan tak pernah aku mendengar kabar darinya. Kak Deva, di mana kamu sekarang?

Matahari - Buku 1 dari Trilogi Our Universe (COMPLETED)Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt