6

2.3K 223 2
                                    

--- SOLEIL POV. ---

Saat Ravi tiba-tiba muncul dan menanyakan kondisi mobilku, aku hanya bisa terpaku melihatnya. Dia ada di sini, menghampiriku, berbicara denganku. Apakah hari ini dia sakit? Apa hari ini dewi keberuntungan sedang sangat baik hati kepadaku? Sampai bukan hanya sekali aku diijinkan berbicara dengannya. Dia tidak hanya berbicara denganku karena tugas kuliah. Lambaian tangan Ravi menyadarkan bahwa aku melihatnya tanpa berkedip dan dia masih menunggu jawabanku.

"Ini gak tau kenapa mobilnya gak bisa nyala. Padahal tadi pagi masih oke oke aja waktu gue berangkat sama Bintang."

"Boleh gue cek?" Aku hanya mengangguk dan menyerahkan kunci mobilku padanya. Aku mengamati setiap gerakannya. Dengan cekatan dia memeriksa bagian dalam mobilku, kemudian membuka beberapa bagian pada mesin mobil. Dia bahkan tidak peduli kalau tangannya akan kotor.

Tidak lama kemudian Ravi menjelaskan kondisi mobilku. Ternyata Ravi benar-benar orang yang pintar dan dapat diandalkan. Pengetahuannya sangat luas, tidak hanya terbatas pada dunia yang digelutinya, dia juga paham tentang otomotif. Atau aku saja yang terlalu bodoh ya. Ehm... ntahlah yang penting kekagumanku padanya semakin bertambah.

Ravi bahkan berusaha memberikan solusi untukku dan menawarkan diri untuk mengantarku pulang. Jantungku langsung berdegup kencang memikirkan waktu yang akan kuhabiskan bersamanya. Apakah aku mampu menjaga tingkah lakuku agar tidak memalukan di depannya? Bagaimana kalau aku bertindak bodoh? Aku juga takut naik motor. Aku gak pernah sekali pun meletakkan pantatku di atas motor. Naik sepeda saja aku tidak pernah. Aduh... bagaimana ini? Tapi, kalau aku tolak, aku bisa telat. Selain itu, ini kesempatan untuk menghabiskan waktu lebih lama bersamanya.

Baiklah... Kutarik nafas panjang, kemudian melihatnya dan mengangguk mantap.

"Lo kosong, Rav? Gue gak mau ngrepotin lo." Ravi melihat jam tangannya sekilas kemudian mengangkat bahunya.

"Gue masih ada waktu kok. Yuk, buruan. Lo telat ntar." Ravi segera menutup kap mesin mobilku. Kuambil tisu dari dalam mobil dan memberikan pada Ravi untuk membersihkan tangannya yang kotor. Dia menatapku bingung melihatku menyodorkan tisu padanya.

"Buat apaan?" tanya Ravi sambil menggaruk sisi keningnya. Membuat sisi kanan wajahnya ikut kotor karena tangannya. Aku hanya menggelengkan kepalaku tidak percaya dia sebodoh ini.

"Diam bentar." perintahku pada Ravi. Dia mematuhi permintaanku dan diam seperti patung. Kubersihkan sisi wajahnya yang kotor, kemudian kubasahi sedikit tisu yang kuberikan pada Ravi tadi dengan air minum yang masih tersisa di botolku. Kubersihkan juga kedua telapak tangannya.

"Nah, sudah bersih. Apa lo gak sadar kalo tangan lo kotor, Rav?" kembali dia hanya mengangkat bahu merespon kata-kataku. Sadar hanya itu respon yang diberikan Ravi, aku lanjut mengambil tasku dari dalam mobil dan menguncinya. Tiba-tiba Ravi mengulurkan tangannya di depanku. Melihat sikapnya, aku menatapnya bingung.

"Sini buku lo gue bawain. Gue masukin tas gue gak apa kan?"

"Gak apa gue bisa bawa sendiri kok."

"Lo bakal susah kalo naik motor sambil bawa barang banyak. Dah sini mana bukunya." tidak mau berdebat dengannya, kuserahkan buku yang kubawa. Ravi dengan sigap memasukkan bukuku dalam ranselnya. Buku-buku itu sengaja tidak pernah kumasukkan dalam tas karena berat, tapi Ravi membawanya seperti tanpa beban yang berarti. Wow...

Segera kuikuti langkah kaki Ravi yang lebar dengan tergesa. Takut tertinggal dan kehilangan jejak Ravi. Dengan lebar langkah kaki kami yang berbeda jauh, aku harus sedikit berlari untuk mengimbangi Ravi. Cukup sulit mengimbangi kecepatan berjalan Ravi, apalagi dengan heels yang kugunakan.

"Rav, bisa jalan pelan dikit?" pintaku pada Ravi sambil menunjuk heels yang kugunakan. Dia hanya mengangguk dengan wajah kesal. Oops...

Walaupun menunjukkan wajah kesal tapi Ravi benar-benar mengurangi kecepatan jalannya. Akhirnya kami berhenti di depan sebuah motor Honda berwarna hitam dengan aksen kuning emas. Motor sebesar ini dikendarai oleh Ravi. Ya ampun memikirkan bagaimana aku harus naik di atas monster ini saja aku sudah bingung, bagaimana bisa Ravi mengendalikan benda sebesar ini. Aku melihat Ravi mencari tanda bahwa dia sedang bercanda. Ah... mana mungkin Ravi akan bercanda.

(Honda Trigger --> motor Ravindra)

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

(Honda Trigger --> motor Ravindra)

Ravi segera mengambil helm yang tergantung pada spion kanan motornya, kemudian menyerahkannya padaku. Kuterima helm yang diberikan Ravi dan kembali melihat Ravi yang juga kembali melihatku.

"Lo nunggu apaan? Buruan lo pake helmnya. Sorry kalo sedikit bau keringet."

"Kalo gue pake ini, terus lo pake apa? Lo gak bawa helm lain?" tanyaku menyelidik.

"Udah gak usah cerewet. Buruan pake helmnya." Melihatku yang hanya diam tidak melakukan perintahnya, Ravi turun dari motor dan berjalan ke arahku. Dengan wajah kesal dia merampas helm dari tanganku. Aku menutup mata takut dengan apa yang akan dia lakukan padaku. Sampai kemudian aku merasa agak sulit bernafas dan wajahku semakin hangat. Kubuka mataku dan kulihat Ravi sedang konsentrasi mengutak atik tali pengait helm yang sudah menutupi di kepalaku.

"Sorry ukurannya agak kebesaran. Tapi ini cukup buat jagain lo kalo ada apa-apa sepanjang jalan ntar." Membayangkan akan terjadi apa-apa di perjalanan nanti membuatku merinding dan tubuhku sedikit bergidik. Ravi langsung menangkap respon tubuhku dan meletakkan tangannya di bahuku.

"Lo gak perlu takut. Gue bakal hati-hati kok." Ravi kemudian menggandeng tanganku dan membimbingku mendekat ke arah motornya. Berikutnya Ravi melakukan hal yang paling tidak kusangka dan membuat hatiku rasanya hangat. Dia melepaskan jaket denimnya dan memberikan padaku.

"Pake ini biar lo gak kedinginan. Udah sore anginnya juga kencang." Segera kupakai jaket yang diberikan olehnya. Ravi kemudian membantuku untuk naik ke atas motornya, memberikan beberapa arahan untuk mempermudah mengatur dudukku senyaman mungkin. Dengan arahan Ravi, aku meletakkan tasku di atas pangkuan untuk menutupi rokku agar tidak tertiup angin.

Ravi kemudian mengenakan kacamata hitam yang sedari tadi bertengger di kaos putihnya. Matahari sore yang menyentuh wajah Ravi dan angin yang berhembus sedikit mengacak rambutnya, membuat Ravi tampak semakin keren. Gila... Ini cewek ganteng banget, tapi juga ada sisi cantik yang tampak saat diperhatikan dengan seksama.

"Siap?" tanya Ravi padaku. Aku hanya bisa mengangguk. Lalu tangan Ravi meraih tanganku dan melingkarkannya di perutnya. Bisa kurasakan otot-otot perutnya yang keras di balik kaos putih ini. Belum sempat aku menikmati hangat dan luar biasanya otot perut Ravi, dia sudah melesat memacu motornya keluar dari kampus. Tersentak dengan betapa cepat Ravi memacu motornya, aku menutup mata dan memeluknya erat. Menggantungkan hidupku hanya dengan berpegang pada Ravi.

"Relax aja. Gue gak ngebut kok. Kalo lo meluk gue kaya begini gue bisa mati setelah sampe rumah lo." ucap Ravi saat kami berhenti di traffic light.

"Maaf. Gue takut, lo jangan jalan tiba-tiba dong. Kaget gue, Rav." Dia hanya tersenyum menyeringai mendengar jawabanku dan mengintip ekspresi wajahku dari spion motornya.

Setelah itu perjalanan menuju rumahku benar-benar tenang dan menyenangkan. Ravi mengendarai motornya dengan hati-hati dan dengan kecepatan yang wajar. Perlahan aku juga dapat menikmati pengalaman pertamaku naik monster mengerikan ini. Ternyata cukup menyenangkan saat semilir udara menghempas tubuh kala motor melaju membelah jalanan. Dan hebatnya lagi, aku sampai di rumah lebih cepat dari biasanya.

Matahari - Buku 1 dari Trilogi Our Universe (COMPLETED)Where stories live. Discover now