9

1.9K 153 0
                                    

--- SOLEIL POV. ---

"Soleil berhenti mengagumi Ravindra sejak lama, ma." Kembali kutegaskan pada mama. Mama tersenyum dan hendak mengutarakan perasaan leganya. Sebelum mama membuka mulut untuk berbicara, kuangkat tangan kiriku untuk memberi tanda bahwa aku belum selesai.

"Tapi... Hati ini terus meneriakkan nama Ravindra, ma. Sikap dingin Ravindra padaku cukup untuk membuatku berhenti menyukainya, ma. Tapi... rasa sakit di hati ini, ma. Membuat Soleil sadar ada benih cinta di hati ini untuk Ravindra.

Benih cinta yang justru Soleil sadari keberadaannya setelah Soleil tahu bahwa perasaan ini bukan hanya suka atau kagum. Ini awal dari cinta, ma. Cinta yang terus menyiksa Soleil... karena orang yang Soleil cintai... begitu membenci Soleil..." Mataku berkaca-kaca saat mengatakan semua ini, dan tenggorokanku mulai tercekat. Kalimatku mulai terbata-bata. Mama meneteskan air mata di hadapanku.

"Celakanya, ma. Ada banyak... laki-laki, bahkan perempuan... yang kukencani selama ini. Dan tidak satu pun... gak satu pun... membuat hati Soleil berdetak seperti dia... membuat hati Soleil berdetak. Berdetak terlalu cepat... sampai rasanya sakit, ma. Dada Soleil nyeri..." Saat ini aku tak lagi sanggup menahan air mataku. Daddy segera berdiri menghampiri dan memeluk tubuhku yang bergoncang hebat karena menangis. Aku memegang dadaku yang terasa nyeri setiap kali aku mengingat Ravi.

Untuk pertama kalinya aku menceritakan sejatinya perasaan yang kumiliki terhadap Ravi kepada kedua orangtuaku. Untuk pertama kalinya aku mengungkapkan betapa sakit hatiku menahan segalanya. Daddy memelukku erat dan membelai lembut rambutku. Hangat dan kuatnya pelukan daddy membuatku merasa aman. Aku tahu daddy tidak akan membiarkan siapa pun menyakitiku.

Saat tangisku mulai reda, daddy melepaskan pelukannya. Saat ini aku duduk diapit oleh daddy dan mama. Mama di sebelah kananku membelai lembut kepalaku dan menghapus air mataku dengan sapu tangan daddy. Aku tertawa kecil melihat mama menghapus air mataku, padahal air matanya juga masih mengalir turun dan melunturkan make up di wajahnya.

"Soleil, kamu tahu kan mama dan daddy ada untukmu. Berapa lama kamu menyimpan perasaan ini, nak? Kamu tahu kamu seharusnya membicarakan ini dengan mama. Mama bisa membantumu, nak," mama bertanya padaku dengan penuh kasih sayang. Berusaha memahami perasaan yang kumiliki.

"Sejak lama, ma. Tapi, Soleil menyadari bahwa yang Soleil miliki ini adalah perasaan cinta justru saat ulang tahun Soleil yang ke-17. Saat itu Soleil benar-benar berharap Ravindra akan datang meski hanya semenit, bahkan hanya ucapan selamat ulang tahun dari mulut Ravindra rasanya hanya itu yang Soleil harapkan. Meski sampai hari ini harapan itu belum juga terkabul," aku tersenyum getir mengingat permohonanku yang masih hanya harapan kosong.

"Sekarang yang paling penting. Apakah dia memperlakukan anak daddy dengan baik saat ini? Atau daddy perlu meminta dosenmu agar menukar Ravindra dengan yang lain dalam kelompokmu?" tanya daddy berusaha mengakhiri pembicaraan yang semakin membuat kondisiku tertekan. Aku menggelengkan kepalaku dengan kuat dan melihat daddy.

"Jangan, dad. Aku mau terus bersama dengan Ravindra. Daddy, seperti yang Soleil tadi bilang pada mama. Ravindra berubah, dad. Hari pertama kuliah hari ini, dia tidak lagi melihatku dengan tatapan dingin seperti biasanya. Daddy tahu, Ravindra bahkan membantuku saat mobilku mogok di kampus. Ravindra yang memberitahukan kondisi mobilku, dia bahkan mengantarku pulang sampai di rumah."

"Baiklah kalau begitu. Tapi, Soleil... Beritahu daddy kalau dia berani macam-macam dengan putri daddy. Okay?" pesan dan pinta daddy padaku. Aku mengangguk setuju dengan permintaan daddy.

"Daddy tahu, kamu cinta padanya. Tapi, tolong gunakan akal sehatmu, nak. Kalau dia menyakiti kamu, kamu harus bilang pada daddy."

"Dad, daddy tahu kan Ravindra itu anak baik. Dulu dia selalu menolong Soleil, sampai entah mengapa sejak kami masuk SMA sikapnya berubah. Daddy ingat kan Ravindra satu-satunya anak yang berani dan mau membela Soleil saat Bintang, Celine, dan Ghia absen. Ravindra akan selalu menjadi ksatria buat Soleil, dad. Seburuk apa pun Ravindra, dad, dia gak pernah sekali pun benar-benar menyakiti Soleil secara fisik."

Daddy diam sejenak, berusaha mengingat-ingat apakah Ravindra pernah benar-benar melukaiku. Belum selesai usaha daddy mengingat, pelayan yang tadi mengambil pesanan kami kembali datang dengan makanan.

"Ayo, kita makan dulu. Nanti kita bicara lagi," ajak mama membuyarkan konsentrasi daddy.

Setelah makan malam berakhir dengan daddy dan mama, aku memutuskan untuk segera pulang. Mengingat besok aku harus mengikuti kuliah jam 7 pagi. Sebelum kami berpisah, mama ingin agar aku menemuinya minggu depan untuk memeriksa kondisi psikologisku. Ah.., sungguh PR harus menemui mama dan menjadi pasiennya.

"Tidak bisakah kita bicara di rumah saja, ma. Aku bisa pulang ke rumah, aku bisa cerita pada mama sebagai mama aku. Gak perlu sebagai psikiater lah, ma. Aku juga kangen masakan mama. Di rumah aja ya, ma. Please...," rajukku pada mama. Berusaha agar aku tidak perlu ke tempat praktek mama.

"Oke... Oke... Tapi, mama mau kamu benar-benar terbuka pada mama. Setuju?"

"Setuju! Love you, ma," ucapku sambil memeluk mama.

"Ya sudah, segera pulang Soleil. Besok ada kelas pagi kan?" tanya daddy padaku.

"Iya, dad. Oke aku pulang duluan. Bye, dad. Bye, ma. Goodnight, have a safe flight," aku memeluk dan mencium kedua orangtuaku.

Fiuh... Hari yang luar biasa menarik, panjang, menyenangkan, tapi juga melelahkan. Aku sudah tidak sabar menunggu hari-hari yang akan datang. Kuharap setiap hari akan semakin baik. Semoga Bintang dan Celine sudah tidur saat aku sampai di rumah. Aku benar-benar lelah dan tidak ingin diinterogasi mereka.

Sesampainya di rumah beruntung Bintang sudah tertidur pulas. Sedangkan mobil Ghia belum ada di parkiran, itu berarti Celine dan Ghia belum pulang. Aneh, padahal sudah jam 1 pagi saat ini. Mungkin Celine menunggu Ghia selesai dari observasi lapangannya di RSCM. Ah, sebaiknya segera kumulai ritual sebelum tidurku.

Kuhapus make up dari wajahku, kemudian mencuci muka, menggosok gigi, berganti pakaian, dan selesai sudah. Ah, ranjangku tercinta. I'm coming baby.

Woops... Cek handphone dulu. Ah, nothing important. Okay, waktunya tidur.

Woops... Satu hal lagi yang terlupa. Berdoa sebelum tidur. Kulipat kedua tanganku, kepejamkan kedua mataku, dan kubuat tanda salib untuk memulai doaku.

"Terima kasih Tuhan kau mengirim Ravi hari ini untuk menolongku, terlebih lagi terima kasih telah melembutkan hatinya padaku. Semoga dia mampu memaafkan apa pun salah yang pernah kuperbuat padanya, meski sampai saat ini aku tidak pernah benar-benar mengerti mengapa Ravi tiba-tiba begitu membenciku. 

Terima kasih Tuhan atas orangtua luar biasa yang Kau berikan padaku. Terima kasih juga atas sahabat-sahabat terbaik yang selalu mendukung dan bersamaku. Terutama terima kasih atas hari yang Kau beri. Jagalah aku sepanjang tidurku. Berilah aku mimpi yang indah. Selamat malam, Tuhan. Amin."

Matahari - Buku 1 dari Trilogi Our Universe (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang