15

1.9K 176 0
                                    

--- RAVINDRA POV. ---

Aku membawanya pulang ke apartemen dengan alasan bahwa tempatku jauh lebih dekat ketimbang rumahnya. Kondisinya yang basah kuyup dan kedinginan membuatnya tidak dapat menolak tawaranku. Begitu pintu kamar apartemenku tertutup langsung kutarik tubuhnya dalam pelukanku dan kucium kasar bibirnya. Soleil membalas ciumanku setelah beberapa detik terpaku. Sepertinya Ia tidak mengira aku akan menciumnya, apalagi dengan tingkah yang sangat agresif.

Setelah beberapa saat saling mencium dengan penuh hasrat, Ia sedikit mendorong wajahku, namun tetap membiarkan kening kami saling beradu. Nafasnya berat dan tidak teratur, matanya terpejam, bibirnya tersenyum, pipinya merona merah, semua yang kulihat menunjukkan betapa Ia menikmati ciuman yang kami bagi.

"Kamu bisa pakai kamar mandi di kamarku, Lei. Kamu bisa pilih sendiri baju yang mau kamu pakai. Semua pakaian yang aku punya boleh kamu pinjam." ucapku dengan suara berbisik padanya. Menunjukkan padanya aku juga sedang mengatur nafas dan mengindikasikan jarak kami yang sangat dekat.

Kugenggam tangan Soleil dan kubimbing Ia masuk kamarku. Kemudian, aku beranjak pergi meninggalkan dia dalam kamarku, memberinya privasi untuk membersihkan dirinya dan berganti pakaian.

"Kamu mau ke mana, Rav?" tanya Soleil meraih pergelangan tanganku. Mencegah diriku meninggalkan kamar.

"Mandi juga lah. Aku bisa mandi di kamar mandi luar. Dah sana buruan mandi. Itu pintu kamar mandinya, seberangnya itu ruang pakaian. Meja rias, make up, dan lain-lain ada di sana juga." jelasku pada Soleil, lalu kulanjutkan langkahku meninggalkannya.

Aku menyelesaikan mandi dengan cepat, karena perutku terasa sangat lapar. Kupikir sebaiknya membuatkan makanan untuk Soleil juga, kurasa dia juga akan lapar karena kehujanan dan kedinginan. Indomie goreng dan telur, hanya itu makanan simple dan cepat yang dapat kubuat dengan bahan seadanya saat ini. Sebaiknya aku segera belanja mengingat persediaan bahan makananku yang mulai menipis.

Lama juga perempuan ini kalau mandi. Sampai mie di piringku tandas, dia belum juga selesai. Ehm... sebaiknya kubawa saja makanan dia ke kamar, aku bisa sambil nonton tv menunggunya. Baru saja punggungku bersandar pada headboard ranjang dan menyalakan tv, suara pintu kamar mandi terbuka.

Mulutku menganga lebar melihat Soleil yang juga terperanjat kaget melihatku.

--- SOLEIL POV ---

Setelah Ravi pergi dari kamar aku tidak langsung menuju kamar mandinya. Kuamati terlebih dulu tatanan kamar Ravi. Dinding kamarnya berwarna hitam dengan beberapa ornamen garis emas, putih, dan biru langit di sudut dinding yang berbeda. Kamarnya sangat rapi, namun terasa sangat dingin. Mungkin warna dasar hitam membuat kamar Ravi terasa dingin dengan aura yang terlihat gelap, sedih. Entahlah kamar ini seolah mencerminkan Ravi dan dunianya. Sebaiknya aku memperhatikan kamar Ravi lebih detil nanti setelah mandi dan berganti pakaian. Tubuhku yang tadi sempat terasa sedikit hangat, sekarang sudah mulai menggigil kembali.

Di bawah pancuran air hangat dalam kamar mandi Ravi, aku bisa mengamati juga bagaimana Ravi ternyata orang sangat simple dan bersih. Sambil membersihkan tubuhku, kusadari bahwa kamar mandi ini terlihat putih bersih, benar-benar polos. Tidak ada ornamen apa pun, hanya label botol shampoo, sabun, dan pasta gigi yang memberi warna pada kamar mandi ini. Sisanya semua putih. Kamar mandi ini terasa seperti tempat ritual penyucian diri. Benar-benar kontras dengan kamar tidur Ravi yang terlihat begitu gelap.

Kupejamkan mataku. Menikmati air hangat yang membasahi sekujur tubuhku. Perlahan kusentuh bibirku, kembali kuingat bagaimana bibir Ravi menyentuh bibirku tadi. Bibirnya lembut, namun melumat bibirku dengan agresif. Pertama kali bibirnya melumat bibirku, aku benar-benar terkejut, perlu waktu beberapa detik bagiku untuk membalas ciumannya. Aku segera membalas ciumannya, mati-matian tak ingin dia berpikir aku tak menginginkan ciuman itu. Aku sangat ingin dia mengerti perasaanku, hatiku yang begitu mendambanya.

Bak mimpi menjadi nyata, ciumannya begitu indah. Aku benar-benar kecewa saat dia tak kembali menciumku setelah aku sedikit mendorong wajahnya menjauh. Bila aku bisa menciumnya tanpa perlu bernafas, aku tak akan melepaskan pagutan bibirnya. Perasaanku saat ini campur aduk, aku bahagia dia menciumku, tapi aku juga bingung mengapa dia melakukannya. Apakah dia juga memiliki rasa padaku? Hatiku juga kecewa karena Ravi menghindari bibirku saat aku hendak menciumnya kembali. Aku merasa dia menolakku. Apakah aku benar-benar buruk dalam urusan berciuman?

Arghhh...! Lagi-lagi dia membuatku tak karuan. Lagi-lagi dia membuatku merasa seperti orang bipolar. Kumatikan air dan keluar dari bilik shower, dan... Ah... Sial! Aku lupa meminta handuk padanya. Handuk, di mana aku bisa menemukan handuk? Mungkin di ruang pakaiannya. Ya, aku harus ke sana.

Baru saja aku melangkah keluar kamar mandi, kudengar suara tv yang seingatku berada dalam keadaan mati sebelum aku mandi. Saat aku menoleh ke arah ranjang, sesaat tubuhku terpaku. Shit! Segera aku berlari kembali masuk kamar mandi.

Shit! Shit! Shit! Ini benar-benar memalukan. Ravindra melihatku telanjang. Shit! Shit! Shit! Ya, Tuhan. Harus bagaimana aku? Mau kuletakkan di mana wajahku ini. Kutatap pantulan diriku di cermin. Wajahku merah padam. Arghh...!!! Sial! Sial! Apa yang akan Ravi pikirkan tentangku? Apa dia akan menilai kalau tubuhku jelek? Apa dia akan berpikir aku sengaja menggodanya? Apa sekarang aku perempuan murahan di matanya? Terduduk aku di toilet, kututup wajahku dan mengusapnya dengan frustasi.

Tok... tok... tok... "Lei, handuk untukmu aku taruh depan kamar mandi. Kalau sudah buruan ganti baju. Aku tunggu di meja makan." suara Ravi menyadarkanku. Setelah beberapa kali menarik nafas panjang, detak jantungku mulai kembali normal. Rasa panikku berangsur berkurang. Kulangkahkan kaki keluar kamar mandi untuk mengambil handuk yang sudah disiapkan Ravi. Segera setelah itu aku mengeringkan badan dan mengenakan pakaian Ravi. Aku memilih kaus biru muda yang kebesaran di tubuhku, karena jelas tubuh Ravi jauh lebih besar. Kemudian kupakai celana boxer biru strip putih yang kurasa cukup imut kalau digunakan oleh Ravi.

Kembali kuambil nafas panjang sebelum melangkah keluar kamar dan menuju meja makan di mana Ravi sudah menunggu. Kulihat dirinya duduk diam di meja makan dan matanya menatap kosong pada dinding. Ada sepiring mie instan dan telur mata sapi tersaji di seberang posisi duduknya, kurasa mie tersebut untukku.

"Hei, Rav." sapaku pelan sambil mengambil posisi duduk di hadapannya. Kepalaku tertunduk, aku tak sanggup bila harus menatap matanya. Aku yakin pipiku saat ini berwarna merah, karena kurasakan hangat di wajahku. Aku masih sangat malu dengan kejadian di kamarnya tadi.

"Hei. Makanlah. Cuma itu yang ada sekarang. Semoga lo suka." ucap Ravi menegaskan dugaanku tadi. Aku hanya mengangguk pelan dan perlahan meraih sendok dan garpu yang telah disiapkan di sebelah piringku. Aku mulai makan dengan perlahan. Aku tidak lagi bisa merasakan nikmatnya mie instan yang kusuka dan jarang sekali mendapat kesempatan untuk menyantapnya. Aku terlalu tegang dan masih menahan malu. Apalagi bisa kurasakan pandangan Ravi yang diarahkan padaku, mengamati setiap tingkah lakuku.

"Gak suka ya? Sorry gue lupa kalo anak kaya raya dan manja kaya lo gak bakal pernah sudi makan makanan murahan dan gak sehat begini." Ravi mengucapkan kata-kata itu dengan nada datar namun terdengar sangat tegas. Tangannya menarik piringku. Sebelum Ravi sempat membawa pergi piring itu, kutahan tangannya. Aku suka mie instan, apalagi Ravi sendiri yang membuatnya.

"Rav, please kamu jangan nilai aku sama seperti anak orang kaya lain. Kamu tau kan aku gak sama seperti mereka. Dari dulu aku gak sama dengan mereka, Rav. Please..." aku memohon agar Ravi melihatku. Saat ini aku benar-benar takut Ravi kembali memperlakukanku dengan dingin.

Matahari - Buku 1 dari Trilogi Our Universe (COMPLETED)Where stories live. Discover now