24

1.8K 159 4
                                    

--- SOLEIL POV. ---

"Kontestan berikutnya berasal dari jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, seorang gadis berusia 19 tahun. Mari kita sambut Soleil Sukma Valentine dengan permainan biolanya," ucap pembawa acara memperkenalkan diriku. Ini tanda bagiku untuk memberikan penampilan di atas panggung.

Bintang menepuk punggungku dan memberiku acungan jempol. Aku tersenyum pada Bintang yang menyemangatiku, kemudian dia pergi mempersiapkan kontestan berikutnya. Aku berjalan menaiki panggung dari belakang dengan membawa biolaku. Kali ini aku mengenakan dress hitam yang juga kukenakan saat konser beberapa minggu yang lalu.

"Selamat sore dewan juri yang terhormat dan teman-teman yang terkasih. Sore hari ini ijinkan saya memainkan sebuah melodi untuk Anda sekalian," sapaku sebelum menunjukkan bakatku. Mataku menyapu seluruh ruangan, melihat audience yang hadir. Mataku terpaku pada sosok Ravi di bangku paling atas teater ini. Meski dari jarak yang sangat jauh, dapat kupastikan itu Ravi.

Hatiku yang begitu merindu dan mencintanya memainkan melodi sebuah lagu yang dulu pernah booming. Kumainkan lagu Cinta Dalam Hati yang dipopulerkan oleh Ungu.

"Kuingin kau tahu diriku di sini menanti dirimu. Meski kutunggu hingga ujung waktuku, dan berharap rasa ini kan abadi untuk selamanya. Dan ijinkan aku memeluk dirimu kali ini saja. Tuk ucapkan selamat tinggal untuk selamanya, dan biarkan rasa ini bahagia untuk sekejap saja," kunyanyikan satu bait reffrain dengan perlahan dan lembut tanpa iringan biola.

Mataku tertutup di pertengahan reffrain yang kunyanyikan. Nyanyianku itu menutup penampilan yang kusajikan. Saat kubuka mataku, kulihat sosok Ravi sudah tak lagi ada di sana. Aku hanya tersenyum pada seluruh audience dan membungkuk mengucapkan terima kasih.

"Luar biasa sekali penampilannya. Dewan juri apakah ada komentar yang mau disampaikan untuk penampilan Soleil?" Pembawa acara kembali memasuki panggung dan menyalamiku. Mengucapkan selamat untuk penampilanku yang kurasa cukup sukses.

"Saya mewakili dewan juri, melihat bakat bermusik kamu sangat luar biasa. Bahkan kamu menjiwai lagunya dengan sangat bagus. Selain bisa memainkan alat musik, kamu juga bisa bernyanyi ternyata. Bakat yang sangat layak untuk dimiliki oleh calon duta kampus ini, mengingat sebagai duta tugas kamu adalah merepresentasikan kampus ini. Termasuk menjadi representasi kehebatan mahasiswa-mahasiswi yang ada di kampus ini. Bagus sekali, Soleil."

Aku tersenyum dan mengucapkan terima kasih pada dewan juri yang menilai tinggi penampilanku. Setidaknya aku bisa menghibur orang lain dengan apa yang kutampilkan. Memang benar aku berhasil menjiwai musik dan lagu ini, karena memang itu lah yang kurasakan saat ini dibalik senyumku.

Aku turun dari panggung dan kontestan lain segera mengambil alih. Pengumuman hasil seleksi tahap dua ini akan keluar besok lusa, kemudian akan disampaikan bagaimana babak final akan berlangsung. Aku kembali bertemu Bintang di belakang panggung.

"Selamat ya, Sol. Penampilan kamu keren banget kaya biasanya. Hahaha..." Bintang memelukku dan mengucapkan selamat seperti yang selalu dilakukannya sejak dulu setiap kali aku selesai memberikan penampilan di hadapan publik. Aku mengangguk dan tersenyum.

"Ngomong-ngomong, Tang. Itu lagu juga buat kamu. Hahaha..." Aku tertawa melihat ekspresi bingung di wajah Bintang.

"Aku tadi bertemu dengan Devandra. Katanya dia juga sudah ketemu kamu, bahkan Ravi saja belum dia temui. Pasti seneng ya bisa ketemu sama Deva?" godaku pada Bintang. Anehnya wajah Bintang bukannya ceria, tapi malah menjadi murung. Bintang memberikan senyum sedih padaku dan menggelengkan kepalanya.

"Dia berubah, Sol. Dia bukan Deva yang selama ini aku tau."

"Lhoo... Kenapa, Tang? Dia berubah bagaimana maksud kamu?"

"Panjang, Sol. Intinya beberapa waktu yang lalu saat kami bertemu, Deva banyak menanyakan dirimu. Dan sepertinya dia menaruh hati padamu. Padahal dulu dia sangat gak suka sama kamu."

Mendengar penjelasan Bintang kepalaku tertunduk, berusaha menghindar bertatapan dengan Bintang.

"Kamu pasti sudah tau ya, Sol. Dia bilang sama kamu ya?" saat aku tidak menjawab pertanyaan Bintang, kurasakan tangan Bintang di bahuku.

"Sol, itu perasaan dia. Aku gak bisa maksa dia untuk membalas perasaanku. Its okay kalau pada akhirnya kamu akan dengan Deva. Karena toh kurasa Deva lebih baik dari Ravi. Kamu sahabat aku, Sol. Walaupun sakit, aku pasti akan bisa menerimanya."

"Tang, aku gak akan bisa sama Deva. Hatiku milik Ravi, Tang. Gak peduli apakah Deva memang lebih baik dari Ravi dalam hal apa pun. Hatiku tetap memilih Ravi. Bagiku hanya Ravi yang aku butuh dan itu cukup. Aku gak mencari yang lebih atau yang kurang dari Ravi. Ravi saja, itu cukup."

Bintang hanya tersenyum padaku. Aku membalas senyum Bintang dan kami tahu bahwa persahabatan kami jauh lebih kuat dari masalah Deva dan Ravi akan berakhir dengan siapa. Kami saling berpelukan, saling menguatkan.

"Its suck, Sol. Hahaha..."

"Yup... Aku juga berpikir hal yang sama tadi saat Deva berbicara denganku. Dunia ini aneh. Memberikan cinta pada orang yang gak kita harapkan, sementara yang kita harapkan gak juga melihat kita."

Bintang terkekeh mendengar kalimatku. Dia mengangguk setuju dan tetap memelukku dari samping.

"Ayolah setidaknya ada yang mencintaimu. Aku?"

"Tang, ada banyak cowok ngantri buat dapetin kamu. Kamu aja yang gak pernah mau melihat mereka. Mata dan hati kamu sepertinya hanya untuk Deva."

"Hahaha... Ya, ya, ya... Sama sepertimu kan? Ah, kita ini dua orang sahabat yang jatuh cinta pada dua orang saudara. Dan keduanya adalah pahlawan dan ksatria dalam hidup kita masing-masing."

Aku tidak bisa membantah kata-kata Bintang. Semua itu benar. Bintang dan aku yang sudah seperti saudara sama-sama jatuh hati pada dua orang bersaudara yang sama-sama pemberani dan baik. Dalam dongeng mereka adalah pahlawan dengan baju zirah mengkilat yang datang menyelamatkan tuan putrinya.

Seperti Ravi yang dulu selalu baik padaku, Deva juga selalu lembut pada Bintang. Bedanya Bintang dan Deva tidak perlu bertemu sembunyi-sembunyi seperti aku dan Ravi. Deva dan Bintang juga sangat dekat, sampai kami sering menggoda Bintang. Kami berasumsi bahwa dia sudah berpacaran dengan Deva. Cinta anak SMP, jaman kami masih sangat sering menggoda tentang kedekatan salah satu dari kami dengan seseorang, melihat cinta hanya sebuah permainan. Cinta monyet dalam bahasa yang lebih beken.

"Bintang, bisa lo bantu handle make up kontestan cowok gak?" terdengar suara Victor, rekan Bintang dalam BEM yang sama-sama menangani acara ini.

"Aku tinggal dulu ya, Sol. Nanti kita bicara lagi di rumah. Oke?" aku mengangguk mengiyakan. Sebelum kami berpisah aku memeluk dan mencium pipi Bintang. Rindu pada sahabatku satu ini.

Aku melangkahkan kaki meninggalkan ruang teater kampus kami. Berjalan dalam diam dan menenteng tas biola di tangan kanan, aku berpikir mengenai sosok Ravi yang kulihat tadi di teater. Apa mungkin aku benar-benar melihat Ravi, atau itu hanya halusinasiku saja? Seharusnya Ravi masih berlatih futsal saat aku tampil tadi.

Ah, mungkin hanya halusinasiku. Ravi juga tidak mungkin datang melihatku. Siapa aku ini sampai begitu penting mendapatkan sedikit saja waktunya. Stop! Stop! Aku harus menepis pikiran yang merendahkan diriku sendiri. Pikiran seperti ini buruk bagi mental dan kepercayaan diriku. No, no,...

Siapa lagi orang yang membekap dan menahan tubuhku? Apa tidak cukup hanya Deva yang melakukan ini padaku? Ada apa hari ini? Tiba-tiba aku menjadi korban semi penculikan. Tubuhku di dorong masuk dalam sebuah ruang kelas yang gelap. Sepertinya kelas ini sudah tidak digunakan lagi hari ini.

"Kenapa kamu mau terus menungguku, Lei?" rasa tegang dan was-was yang kurasakan langsung sirna mendengar suaranya. Makhluk yang kucintai.

Matahari - Buku 1 dari Trilogi Our Universe (COMPLETED)Où les histoires vivent. Découvrez maintenant