| 1 | GADIS DI REUNI

38.3K 2.6K 142
                                    


'Dari mata kau buatku jatuh. Jatuh terus, jatuh ke hati.' – Jaz, Dari Mata



***


Ian

LANGIT mendung menggantung. Gue kembali bimbang. Apa sebaiknya gue nggak pergi?

Terjebak hujan di malam hari jauh lebih nyaman dilalui di dalam kamar, di balik selimut, dengan penerangan terbatas; mungkin datang dari televisi yang menyala tanpa suara. Itu jelas terdengar lebih menggiurkan dibanding duduk di kedai kopi sembari memandangi tetes-tetes hujan dari balik jendela tanpa tahu kapan bisa mengakhiri percakapan membosankan. Yah, senggaknya pilihan pertama membuat gue bisa mengistirahatkan tubuh, dan esoknya bangun dalam keadaan fit.

Terlebih, gue masih belum bisa memastikan apa malam ini dia akan datang atau nggak. Walaupun kalau diminta menebak, gue lebih pada yang kedua. Cewek sibuk seperti dia pasti punya segudang jadwal penting daripada harus menghadiri acara rutin yang diagendakan XII IPA 1 Labsky ini. Jangan lupakan kealpaannya pada penghujung tahun lalu. Ya, gue tahu dia mungkin saja nggak bisa datang sebab agendanya mendadak, tapi gimana dengan reuni beberapa bulan sebelumnya? Batang hidungnya juga nggak terlihat hari itu.

Tapi..., tunggu! Gimana kalau malam ini dia datang? Bisa saja dia merasa nggak enak dua kali absen. Nggak, gue nggak akan menyia-nyiakan kesempatan. Gue bisa mendapatkan istirahat tenang di malam-malam berikutnya, gue yakin. Tapi, berada di satu ruangan dengannya—dua sampai tiga jam, itu kesempatan.... Apa yang lebih tepat selain 'langka'?


***


"JADI pergi?"

Gue mengangguk. Masih dengan sayup-sayup suara radio, gue mengendarai Jeep Wrangler pemberian Ayah menuju sebuah kedai kopi di daerah Kemang. Butuh sekitar 30 menit lagi untuk tiba di sana. Andai aja gue bergabung di kepanitiaan, gue pasti akan mengusulkan tempat reuni yang nggak jauh dari rumah. Belum apa-apa, gue sudah pegal sendiri.

"Abang?"

Suara berasal dari wireless earphone di telinga kiri menyadarkan gue bahwa si penelepon nggak akan melihat gerakan kepala gue sebagai jawaban dari pertanyaannya. Berdeham, "Maaf, Ma. Kenapa tadi?"

Bukannya langsung menjawab, wanita di seberang sana—yang nggak lain adalah ibu gue, tertawa kecil. "Kenapa jadi berubah pikiran?"

Apa boleh gue jawab karena masih ada setitik harap di tengah kebimbangan? Bahwa sekalipun gue belum tahu apa kami akan bertemu atau nggak, gue masih membayang-bayangkan wajahnya, duduk nggak jauh darinya, mendengar suaranya; tawanya, memuaskan rasa rindu gue?

Namun, alih-alih menyuarakan isi hati, gue malah menjawab diplomatis, "Di rumah nggak ada kerjaan juga, Ma. Jadi Abang pikir lebih baik ikut reuni aja sama anak-anak."

Mama lagi-lagi tertawa. Gue tahu, sepintar apa pun gue bersilat lidah, gue nggak akan bisa mengelabui wanita satu itu. Mama dan radarnya yang kencang. Apa semua ibu di muka bumi seperti Mama? Tahu kapan anaknya berkata jujur atau sebaliknya.

"Kamu dicari adik-adik, Bang."

Nah, kan! Kalau sudah pengalihan pembicaraan seperti ini, biasanya karena Mama tahu gue kurang nyaman membicarakan sesuatu yang sebelumnya jadi topik utama. Iya, Mama memang seperti itu. Bukannya memaksa untuk berkata jujur, Mama lebih memilih membuat gue kembali nyaman. Nanti kalau waktunya sudah tiba, gue sendiri yang akan memaparkan kebenaran yang gue tutupi.

BREADCRUMBTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang