| 2 | SEKOTAK KEJUTAN

23.4K 1.9K 156
                                    


'And all the love I have is especially for you.' – MYMP, Especially For You



***


Avissa

SEBERAPA penting sebuah kejutan?

Aku tidak tahu persis jawabannya. Ketika ritme hidupku berjalan sesuai keinginan, tepat pada porsi bahagia menurutku, kejutan tidak kuletakkan di peringkat pertama. Aku tidak masalah tidak mendapat kejutan, tidak masalah dengan hari-hari bergerak statis, pun dengan keadaan membosankan. Tetapi, pada kasus berbeda, kadang-kadang aku membutuhkan kejutan. Sederhana saja, semisal dia berdiri di depan pintu ruang kerjaku, mengetuk, kemudian mengajak makan siang bersama.

Ya, aku tahu tak akan terwujud. Itu tak lebih dari menggapai harap pada langit-langit kosong. Tidak ada yang kudapat selain genggaman hampa. Aku tidak berarti apa-apa baginya.

Bicara tentang kehidupan statis, Senin pagiku kali ini dimulai dengan matahari bersembunyi malu di balik awan. Aku bangkit, bergegas menuju kamar mandi ketika menyadari waktuku terlewat lima menit dari jadwal biasanya.

Bisakah kusalahkan aroma terapi berbahan chamomile flower yang semalam kubiarkan mengisi atmosfer kamar? Oh, atau mungkin sepasang mataku yang tak bisa diajak bekerja sama? Atau, lebih tepatnya lagi, kehadirannya.

Mas Alpha kembali mengganggu. Dia memang kerap datang di malam hari; saat-saat di mana aku merasa sepi. Mengendap di dinding kamar, di langit-langit. Ke mana pun aku memandang, aku akan menemukannya. Wajah beserta luka yang dia torehkan. Kemudian, nyeri itu kembali datang. Membuat mataku nyalang, tak peduli purnama beranjak semakin tinggi.

Sebab itu kuputuskan menyalakan aroma terapi, hingga akhirnya jatuh terlelap.


***


WAJAHNYA kembali kulihat Juli lima tahun lalu di sebuah acara penyambutan yang diadakan keluarga besar Soedirja. Alpha Audric Ledwin akhirnya pulang ke Indonesia setelah berhasil menyelesaikan Master of Business Administration di University of Michigan.

Di mataku, seorang mahasiswi semester lima Department of Hotel Management, dia terlihat begitu luar biasa. Saking terpukaunya, aku hanya berdiri tanpa sedikit pun bisa melangkahkan kaki untuk mendekat. Sampai akhirnya, Aura—adiknya, yang juga merupakan sahabatku sejak SMA, menggeret laki-laki berambut gondrong itu menghampiriku. Kami berjabat tangan dan saling bertukar apa kabar.

Aku masih ingat betul, ketika kujawab aku anak sulung Diaz Sofjan, dia tertawa kecil. Aku tumbuh begitu cepat, katanya. Seolah melupakan fakta bahwa adiknya seusia denganku. Oh, bisa jadi juga karena kami sudah cukup lama tidak bertemu. Mas Alpha memang langsung terbang ke Michigan pascakelulusan SMA, dan tak pernah pulang sekalipun libur panjang. Kudengar, kalau rindu, Om Attar dan Tante Liv yang mengalah untuk mengunjungi laki-laki itu.

Setelah berbasa-basi ini dan itu, Mas Alpha menjauh sebab salah seorang anggota keluarga Soedirja memanggilnya. Aura tetap di sampingku, menggoda sepanjang malam. Mengatakan besar kemungkinan abangnya tertarik padaku. Saat itu aku hanya memutar bola mata, malas menanggapi. Padahal di dalam hatiku ada sesuatu yang tengah meledak-ledak tidak terkendali.

Berselang sebulan kemudian, Mas Alpha memintaku menjadi kekasihnya. Straight to the point, tanpa kalimat-kalimat tak penting. Aku mengangguk penuh minat; menyetujui permintaannya. Tidak peduli perbedaan usia di antara kami—empat tahun empat bulan. Usianya nyaris mendekati 24 tahun, sementara aku beberapa bulan lalu menginjak 19 tahun.

BREADCRUMBWhere stories live. Discover now