| 3 | SANG MELANKOLIS

16.1K 1.6K 87
                                    


'Kupatah hati kepadamu, saat kau tinggalkan diriku. Kupatah hati dengan kamu, saat ini tanpa dirimu bersamaku.' – Citra Scholastika, Patah Hati



***


Avissa

TEPAT dua detik pintu ruangan tertutup, denyut di kepalaku semakin menjadi. Sontak saja kuhempaskan tubuh ke punggung kursi sembari memijit pelipis kanan dan kiri dengan ibu jari dan telunjuk tangan kiri. Seharusnya tidak begini. Rapat akhir bulan kali ini berlangsung lancar, tidak ada masalah berarti yang dialami Sofjan Hotel. Bahkan sepanjang mendengarkan laporan Residence Manager, aku tak bisa menahan diri untuk tersenyum bangga. Penjualan kamar bulan ini naik beberapa persen dari target.

Setelah nyaris tiga jam berlangsung, rapat internal tersebut kuakhiri. Tak lupa meminta Assistant Executive dan Residence Manager mempertahankan prestasi bulan ini di bulan-bulan berikutnya, juga mengingatkan pada Marketing Director untuk segera menyerahkan konsep strategi pemasaran yang kuminta selambat-lambatnya Selasa pertama Mei—yang artinya tiga hari dari hari ini.

"Kamu kayaknya nggak oke." Mbak Linka kembali ke panggilan nonformalnya, melepaskan sapaan 'Ibu' yang melekat sebelum namaku selama beberapa jam terakhir. Kami memang sepakat untuk yang satu itu. Menggunakan sapaan formal saat bersama karyawan lain.

"Hm."

Derap sepatu berhak tinggi mendekat, namun aku memilih bertahan mengatup pelupuk mata. "Sa?" panggilnya, disusul sentuhan lembut dari telapak tangan menangkup dahiku. "Hangat."

"Pusing sedikit, Mbak."

"Mbak buatin teh, mau?"

"Hm."

"Avissa...."

Aku terkekeh pelan. Selama setahun perempuan itu menjadi sekretarisku, aku hafal sikapnya. Mbak Linka tipikal yang menyukai kontak mata selama melangsungkan pembicaraan. Tak peduli semarah apa pun, dia lebih senang ditatap. Jujur saja, aku menyukainya; perhatian Mbak Linka. Kami tidak berjarak sekalipun aku atasannya. Perempuan itu tetap memperlakukanku tak ada bedanya dengan Raeza—adiknya. Mungkin karena kami sudah dekat jauh sebelum dia bergabung di Sofjan Hotel.

Malah, di awal-awal aku yang merasa canggung menjadikannya bawahanku. Segan meminta ini dan itu sebab rasa hormatku padanya. Tetapi, kami akhirnya memutuskan beberapa kesepakatan yang berlangsung hingga hari ini. Bagaimanapun kami tetap harus profesional, kan?

"Susu hangat aja, Mbak," pintaku, sembari membuka mata. Saat itulah kutemukan seraut wajah khawatir di hadapanku. "Mbak kenapa?"

"Pagi tadi nggak minum susu?"

Aku terdiam. Mencoba mengingat. "Nggak," jawabku sembari memberi gerakan ringan di pelipis, disusul ringisan singkat. "Buru-buru banget, Mbak. Nggak sempat minum susu."

"Nggak takut, nih, program stay slim kamu gagal?"

Programku gagal hanya karena sehari saja lupa meminum WRP Everyday—susu lebih rendah lemak pengganti sarapan untuk mempertahankan berat tubuh ideal? Ck, yang benar saja. Lagian, aku masih mengonsumsi WRP jelly drink dan WRP cookies saat jam makan siang tadi.

"Jangan paksakan diri, Sa. Kamu boleh program, tapi nggak berarti melewatkan nasi dan lauk di jam makan siang. Belum lagi beberapa hari ini Mbak perhatikan kamu over banget sama kerjaan."

BREADCRUMBWhere stories live. Discover now