32. Antara Budi dan Dendam

1.7K 38 1
                                    

ENTAH sudah lewat beberapa lama, Lie It perlahan-lahan tersadar.

Ia seperti baru tersadar dari impian yang menakutkan. Sebelum membuka mata, hidungnya mengendus bebauan yang sangat harum dan kupingnya mendengar suara "tek-tek-tek......", seperti sedang berada di dalam sebuah kereta kuda.

Di lain saat, ia tahu bahwa ia sedang rebah di atas kasur yang empuk. Bukan main rasa herannya dan dengan sekuat tenaga, ia membuka kedua matanya.

Apa yang dilihatnya yalah satu muka yang cantik ayu dan sepasang mata yang tengah mengawasinya.

Sejenak kemudian, sesudah mengumpulkan semangat tiba-tiba ia berseru dengan suara perlahan: "Kau.........!! K...k...kau..........."

Wanita itu tertawa seraya berkata: "Jangan takut jiwamu sudah tertolong!"

Ia coba bangun, tapi sekujur badannya sakit semua, kaki-tangannya kaku dan sedikitpun ia tak dapat bergerak.

"Apa kau masih belum mengenali aku?" tanya si-nona. "Orang kata, tidak berkelahi, tidak kenal. Aku bernama Bu Hian Song!"

Sekarang Lie It ingat segala pengalamannya ia ingat kejadian di puncak Kim-teng dan ia ingat pertempurannya melawan Ok-heng-cia dan Tok-sian-lie.

"Kalau begitu, kaulah yang sudah menolong jiwaku," katanya dengan suara hampir tidak kedengaran.

Sebelum Hian Song keburu menjawab, seorang gadis

cilik yang duduk disebelah depan kereta menengok dan berkata sambil tertawa: "Jika tidak ditolong Siocia, kau tentu sudah tidak bernyawa. Hm.......... kau sungguh menakut-nakuti kami. Kau sudah pingsan tiga hari dua malam lamanya!"

"Kau..........mengapa kau ................. kau menolong aku?" tanya Lie It dcngan suara terputus-putus.

"Kau sungguh luar biasa!" mendului si-cilik. "Tanpa sebab, mengapa kau memandang kami sebagai musuh besar? Kau sama-sekali tak punya rasa berterima kasih. Ketahuilah, untuk menolong jiwamu Siocia telah mengeluarkan bukan sedikit tenaga. Siocia bahkan tak segan mengisap keluar darah beracun yang mengeram dalam tubuhmu!"

"Beng Cu, jangan rewel........!" bentak Hian Song.

Saat itu, rupa-rupa perasan malu, berterima kasih, jengah mengamuk di dalam pikiran Lie It.

Ia mengheIa napas seraya bertanya: "Sekarang......., sesudah aku jatuh ke dalam tanganmu, hukuman apa yang kau hendak berikan kepadaku?"

"Aku ingin bawa kau ke Tiang-an untuk melihat-lihat kebun jagung dan sawah-sawah," jawab si-nona sambil tertawa.

Lie It membuka kedua matanya lebar-lebar, tapi sejenak kemudian ia kembali menghela napas dan parasnya berubah tenang.

"Baiklah........," katanya dengan suara tawar. "Aku sebenarnya sudah sepantasnya mati dan aku tidak takut mati untuk kedua kalinya. Mati dalam tangan Bu Cek Thian lebih berharga daripada mampus dalam tangan Ok-hengcia dan Tok-sian-lie."

Ia berkata begitu, karena menganggap bahwa nona itu mau menyerahkannya kepada Bu Cek Thian.

Dengan adanya anggapan itu, ia jadi terlebih tenang. Tiba-tiba, karena banyak bicara dan perasaannya bergoncang keras, ia merasa dadanya sakit bukan main sehingga ia merintih dengan perlahan.

Sambil tersenyum Hian Song mengangsurkan tangannya dan lalu mengurut dada pemuda itu.

Sesaat kemudian, Lie It merasakan naiknya semacam hawa panas dari bagian pusar ke atas dan rasa sakitnya lantas saja berkurang banyak.

Pendekar Aneh (Lie Tee Kie Eng) ~ Liang Ie ShenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang