35. Berharap Petunjuk

1.7K 27 0
                                    

WAKTU itu kereta sudah mulai masuk ke dalam sebuah jalan kecil yang diapit oleh dua puncak gunung.

Wanginya bunga-bunga hutan dan nyanyian burung-burung yang seolah-olah menyambut mereka, menghibur hati Lie It yang sedang berduka.

"Ma Toasiok, ada orang mendahului kita," tiba-tiba terdengar suara Beng Cu.

"Coba lihat tapak-tapak kaki kuda. Apakah mereka kedua saudara Tiangsun?"

Benar, memang benar Tiangsun Thay dan adiknya sudah berada di gunung Khong-lay-san karena secara tidak diduga-duga, mereka bertemu dengan seorang yang berkepandaian tinggi.

Sebagaimana diketahui, setelah pedangnya dipapas putus oleh Bu Hian Song, dengan gusar dan malu Tiangsun Thay melarikan tunggangannya untuk menyusul sang adik yang sudah lari lebih dulu.

Sesudah membedal kuda beberapa lama, barulah ia dapat menyusulnya.

Begitu bertemu Tiangsun Pek yang merasa sangat penasaran karena kekalahan itu, lantas saja menyesalkan kakaknya yang dikatakan kurang cermat dalam pertarungan tadi.

"Ya.....! Akupun merasa sangat tidak mengerti dan mungkin sekali perempuan itu memiliki ilmu siluman," kata Tiangsun Thay sambil menggaruk-garuk kepala. "Serangan-serangan kita yang paling hebat selalu dapat dipunahkan dengan mudah saja."

"Ilmu siluman apa?" bentak si-adik sambil menambahi setengah kurang setuju. "Sebab-musabab kekalahan kita adalah karena kau tidak bisa bekerja sama denganku." 

"Ya! Bisa jadi karena kita kurang pengalaman," kata sang kakak yang tidak berani membantah pendapat adiknya.

Tiangsun Pek tidak mengomel lagi, tapi ia menjalankan kudanya sambil menunduk, seperti orang yang sedang mengasah otak. 

Sesudah beberapa jauh, ia menengok kepada kakaknya seraya berkata: "Aku sudah menimbang-nimbang kiamhoat perempuan siluman itu dan menurut pendapatku, jika kita bisa bekerja sama dengan se-erat2-nya, kita masih dapat merubuhkannya. Mari kita berlatih dan besok kita coba menjajal lagi kepandainnya."

Tiangsun Thay sebenarnya tidak begitu setuju, tapi ia sungkan bertengkar dan kedua saudara itu lantas saja mulai serang-menyerang.

Dalam pertandingan itu, sang kakak lebih kuat dalam hal tenaga, sedang si-adik lebih unggul dalam kiamhoat dan lebih gesit gerakan2nya, sehingga pertempuran itu berlangsung seru sekali.

Sesudah lewat belasan jurus, tiba-tiba Tiangsun Thay membungkuk dan sesudah menotol tanah dengan ujung pedang, ia berbalik dan menyabet ke belakang. 

Sambil menangkis, si-adik berkata: "In-kie-Bu-san (Awan-naik-di gunung-Bu-san) tidak begitu tepat. Lihat pukulanku."

Ia menikam dan menyontek seraya membentak: "Lepaskan pedangmu!"

"Trang...!'' Tiangsun Thay terhuyung ke belakang beberapa tindak, telapak tangannya sakit bukan main tapi ia masih dapat mencekel pedangnya. Melihat kegagalannya dalam usaha melepaskan senjata kakaknya, si-adik jadi malu dan paras mukanya berubah merah.

"Pedangku tidak terlepas karena tenagaku lebih besar dari pada tenagamu," kata Tiangsun Thay dengan suara membujuk. "Bahwa dengan meminjam tenaga, kau sudah membuat aku sempoyongan merupakan bukti, bahwa ilmu pedangmu banyak lebih unggul dari pada aku. Jika tadi kita menyerang dengan menggunakan pukulan itu, mungkin sekali si-memedi perempuan sudah dapat dirubuhkan."

Mendadak, mendadak saja terdengar suaranya seorang tua: "Hm.......! Enak saja orang muda bicara.........! Kekurangan Go-bie Kiamhoat ternyata sampai sekarang masih belum diperbaiki."

Pendekar Aneh (Lie Tee Kie Eng) ~ Liang Ie ShenWhere stories live. Discover now