Chapter 1

75 4 0
                                    

Incheon airport, merupakan bandar udara terbesar di Korea Selatan dan merupakan salah satu yang terbesar di Asia. Bandara ini menggantikan Bandar Udara Internasional Gimpo yang sekarang distatuskan sebagai bandara domestik kecuali penerbangan international ke Bandar Udara Internasional Haneda di Tokyo, Jepang dan Bandar Udara Internasional Hongqiao di Shanghai, RRC. Berdasarkan survei dari Global Traveller bandara ini merupakan yang terbaik di dunia selama 3 tahun berturut-turut dari tahun 2006, 2007 dan 2008. Berperan sebagai bandara penghubung untuk kawasan Asia Timur, terdapat 63 maskapai penerbangan yang melayani penerbangan ke bandara ini.

Sekitar tiga puluh tujuh menit yang lalu tiga orang gadis asal Indonesia tiba di sana. Di bandara internasional Incheon. Viola, Irene dan Felie. Mereka tiba di negara yang sudah cukup lama masuk kedalam daftar destinasi wisata impian mereka yang tidak boleh terlewatkan. Destinasi utama dinegara yang terkenal dengan julukannya sebagai 'Negeri Ginseng' Korea Selatan.

Ketiganya masih betah duduk berlama-lama di ruang tunggu bandara, setelah sebelumnya sempat mampir ke toilet sebentar untuk mengurus beberapa kebutuhan alam mereka. Jetlag yang mereka alami memang tak lantas hilang dalam hitungan detik. Setelah selama kurang lebih tujuh jam perjalanan udara yang mereka tempuh. Perjalanan ini merupakan perjalanan dengan durasi penerbangan terlama yang pernah mereka tempuh sebelumnya. Beberapa negara Asia terdekat dari negara asal mereka, jadi wajar saja jika mereka butuh waktu lebih lama untuk beristirahat guna mengurasi pusing dikepala mereka akibat jetlag.

Irene dan Felie bahkan sudah mulai merebahkan tubuh mereka di kursi panjang ruang tunggu bandara yang kebetulan sedang tak berpenghuni. Keduanya tampak tak begitu memperdulikan tatapan beberapa orang calon penumpang maupun mereka yang baru saja tiba yang ditujukan pada keduanya.

"Cih, kebiasaan di negara sendiri masih sempet ya di bawa ke negara orang" cibir Vio yang mulai bergeser agak sedikit menjauh dari mereka yang bahkan mungkin tak berniat untuk bangkit dari posisi nyamannya.

"Sebentar lagi deh Vi, sepuluh menit lagi ya" pinta Felie padanya dengan sedikit aegyo padahal usianya sudah memasuki 27 tahun.

Memang sih, hanya dengan melihat tampangnya saja orang tidak akan berkeberatan mengira bahwa ia masih berusia belasan tahun layaknya bocah ABG. Terlebih dengan postur tubuhnya yang lebih mungil jika dibandingkan dengan Vio dan Irene.

"Tiga menit" desis Vio yang sudah mulai bersedekap dengan suara sepelan mungkin tanpa menoleh kearah mereka.

"Tujuh" tawar Irene dengan nada cueknya sambil tetap menutup mata tak acuh.

"Tiga"

"Tujuh deh tujuh"

"Tiga"

"Tujuh"

"Lima. Itu tawaran terakhir, kalau kalian masih mau lebih lama disini buat jadi tontonan orang-orang sih, gue bakalan dengan senang hati jalan duluan" ancam Vio sebelum akhirnya berbalik badan dengan duduk menyamping. Memunggungi keduanya.

Berpura-pura tidak saling kenal dengan mereka kini menjadi pilihan utamanya agar tidak ikut-ikutan menjadi pusat perhatian orang-orang berkulit putih yang sedari tadi berlalu lalang dihadapan mereka. "Dosa apa sih sebenernya gue ini sampai punya temen macem mereka" gerutu gadis bernama Vio itu.

Lima menit yang begitu berarti dalam hidup Vio setelah akhirnya mereka mau beranjak dari posisi nyamannya. Bagaimana tidak jika keduanya langsung berhambur menghampirinya dan menggandeng tangannya dari kedua sisi. Membuat semua orang yang mulanya hanya memperhatikan mereka mulai beralih memperhatikan Vio juga.

Vio jadi sedikit menyesal mengapa tadi ia tidak cepat-cepat merogoh topi dan masker yang ada di dalam ranselnya. Setidaknya kedua benda itu bisa sedikit meredam guratan malu yang tergambar jelas diwajahnya karena memiliki dua orang noona yang penuh dengan keistimewaan ini.

Two the WorldWhere stories live. Discover now