I: "Invitation"

10.2K 693 13
                                    

Book of Hope. Entah mengapa kalimat itu masih terus mengusik pikiranku walau tidak benar-benar mengganggu. Untuk ukuran seorang gadis yang malas berpikir tidak seharusnya sebuah buku mengusik rasa penasaranku. Bahkan Lacey tidak mengacuhkan tema undangan reuni yang terbilang aneh itu.

Bahkan kalimat itu membuat malamku bersama Thunder tidak berlangsung luar biasa. Hanya satu kali bercinta dan aku memilih untuk tidur.

"Shift pagi?" Tanyaku sambil menuang kopi pada sebuah cangkir. Aku baru bangun ketika Lacey telah bersiap-siap dengan seragam kerja yang ia modifikasi menjadi super seksi. Menonjolkan setiap bagian dari tubuhnya yang sukses menjadi daya tarik. "Bukankah itu seragam shift malam?" Sindirku lagi sebelum menyeruput kopi di tanganku. Belum sampai di tenggorokan aku langsung memuntahkan kembali kopi brengsek itu. Aku mengerang sebal dan meletakan cangkir itu dengan kasar di atas meja. "Kau menambahkan bubuk cabai?" Aku mengernyit pada Lacey dan gadis itu hanya tersenyum jahil.

Ia sedang mengenakan sepatu hak tingginya. "Aku sangat mengantuk pagi ini, kukira dengan sedikit kejutan pada sarapan pagi bisa membuat kantukku hilang." Ia berdiri dengan tegak. "Lihat! I'm on fire."
"Dan lidahku terbakar." Aku menuang seluruh isi teko ke tempat pencucian piring dan membuat kopi yang baru.

"Kau terlihat tidak sehat. Apa ini karena undangan itu?" Lacey menebak dan tepat sasaran. Lacey, aku tahu bahwa kau sebenarnya gadis yang cerdas.
"Sebenarnya apa yang ingin ditunjukan Roxanne pada kita semua?" Aku bersandar pada tepian meja sambil menunggu coffe maker-ku bekerja.
"Jangan terlalu dipikirkan, Alex. Kau hanya tidak perlu hadir saja jika kau merasa teganggu dengan undangan itu. Beres." Sekali lagi, Lacey menunjukan kecerdasannya, aku berpikir untuk menambahkan bubuk cabai pada kopi buatanku hanya demi mendapatkan separuh kecerdasan Lacey. "Aku berangkat!" Ia menghampiriku dan mengecup singkat pipiku.

Hari ini aku mengambil shift malam, artinya aku akan bekerja di Maurice's Bar. Karena Thunder sibuk pada jam normal jadi kuputuskan untuk berjalan-jalan di Street Festival, sendirian.

Mengenakan kaos polos berwarna putih dengan jins pendek tentu bukan dandanan yang berlebihan untuk berjalan seorang diri di pasar itu. Jadi kuputuskan untuk menggunakan flat shoes dan kacamata hitam sebagai benteng pertahanan diri. Dari apa? Dari lirikan siapa saja.

Sebuah kedai burger di pinggir jalan menarik perhatianku. Jumlah pengunjungnya lumayan banyak namun mereka dapat melayaninya dengan sangat cepat. Hanya tiga menit sejak pesanan disebutkan. Karena aku belum makan dan tidak jadi menambahkan bubuk cabai dalam kopiku pagi ini, mungkin seporsi burger bukan masalah untuk cemilan pagi. Burger sebagai cemilan?

Satu orang terakhir selesai sebelum aku dan sekarang giliranku.
"Alexandra Hewitt!" Sebuah suara menggelegar mengagetkanku juga pengunjung lain di belakangku. Aku melompat kecil ke belakang dengan buku menu masih dalam genggaman. Aku mendongak mengamati pria bertubuh tambun dengan janggut berantakan. Ia menggunakan celemek bergambar kedai tersebut dan topinya miring.

Kini pria itu menyeringai padaku menampilkan giginya yang tidak rata. Siapa dia? Batinku yang payah berusaha menyalahkan memoriku yang lebih payah lagi.
"Tidak ingat padaku?" Pria itu tampak senang melihat raut wajahku yang tersiksa karena bingung. "Mungkinkah kau ingat dengan sandwich-ayam-kemarin, atau mungkin dengan lomba makan sambil berlari?" Ia bergoyang senang tidak peduli kaosnya terangkat memperlihatkan perut tambunnya, "akulah pemenangnya!"

Lomba makan sambil berlari. Aku ingat betul lomba yang hanya terjadi sekali dalam hidupku. Lomba yang dicetuskan oleh...
"Helbert Brian!" Aku memekik begitu mengingat namanya. Hanya saja aku tidak percaya dia bisa berubah sepenuhnya. Kuakui Helbert kecil memang sangat menyukai makanan bahkan roti basi yang kubawa sebagai bekal karena Mom lupa mengganti bekalku pada hari berikutnya, ia menganggap rotiku mengalami fermentasi kimiawi dan justru membuat rasanya semakin enak. Dan yang terhebat dari peristiwa itu adalah Helbert tidak mengalami serangan penyakit apapun. Rupanya tingkat imunitas Helbert melebihi ambang batas wajar.

Walau penggila makanan Helbert kecil tetap memiliki tubuh yang kecil, bahkan tidak gendut. Kami semua sempat bertanya-tanya kemana larinya semua makanan yang ia habiskan. Tapi sekarang... Helbert tak ubahnya karung gandum.

Ia terkekeh sambil menjabat tanganku. "Akhirnya kau mengingatku, hah?" Ia melepaskan celemek dan topinya kemudian meminta seseorang untuk menggantikan bagiannya. "Kau harus memesan yang paling istimewa." Ia menggiringku ke tempat duduk padahal awalnya aku hanya ingin makan sambil berjalan-jalan. Namun tidak ada salahnya, toh tidak ada yang benar-benar ingin kutuju.

"Tapi Helbert, yang paling istimewa terlalu berlebihan buatku." Aku berusaha menolak.
"Gratis!" Cetusnya tiba-tiba. "Aku tahu kau dulu cukup miskin, apakah sampai sekarang?" Selorohnya, aku tahu Helbert sedang bercanda namun sepertinya ia tepat sasaran.
"Ya, seperti yang kau lihat." Jawabku lirih.

Wajah Helbert semerah babi, aku tahu ia merasa malu dan tidak enak hati karena telak menuduh kemiskinanku. "Aku hanya bercanda, Alex." Ia mencoba menjelaskan sementara aku menahan tawa dalam mulutku.
"Hei, kau pikir aku akan bersedih karena itu?" Aku menggertak Helbert dengan gurauanku dan berhasil membuatnya mengehela nafas lega. "Tentu saja aku tersinggung!" Aku menambahkan dan Helbert malang kembali salah tingkah.

Setelah burger istimewaku datang, mataku benar-benar membeliak. Ini adalah burger terbesar yang pernah kulihat dan ia memberiku dua buah. Well, aku memang kurus. Tapi itu karena aku menjaga pola makanku, bukan berarti aku kelaparan.

"Helbert kurasa ini terlalu berlebihan."
"Simpan saja untukmu, Alex."
"Helbert, bukan itu maksudku-" aku mencoba menjelaskan ketika Helbert menangkup tanganku dan mengangguk penuh arti. Damn, dia benar-benar percaya bahwa aku kelaparan. Sudahlah, akan kuberikan pada anak jalanan saja.

Setelah satu gigitan ia bertanya padaku mengenai cita rasa burger itu.
"Bagaimana Hewitt?" Ia menyeringai sambil bertolak pinggang.
"Hm, yah, luar biasa." Aku menjawab sambil mengunyah dan itu tidak sulit. Bagiku.
"Kupastikan rotinya belum mengalami fermentasi kimiawi." Ia tertawa keras ketika menyindirku. Hal itu sukses membuatku tersedak, bagaimana pun itulah kenangan khusus kami berdua, selebihnya kami tidak begitu saling mengenal dekat. Mengabaikan bahwa Helbert pernah menyatakan cintanya padaku dengan roti kismis. Itu adalah kenangan yang enggan untuk kuingat.

"Bagaimana bisa kau menjadi begitu sukses?" Tanyaku basa-basi.
"Baru dua bulan belakangan ini. Setelah seorang teman mengubah formula resepku dengan resep baru dan menawarkan lokasi yang bagus, aku mengalami kemajuan pesat. Aku langsung membuka dua cabang dalam dua bulan terakhir dan yang terpenting aku bisa memakan burger setiap hari."
"Apakah itu mimpimu? Makan burger setiap hari?" Aku menekankan pertanyaanku.
"Ya!" Gelegar tawanya kembali terdengar, "sempat tercetus seperti itu walau tidak serius. Saat Roxanne bertanya di acara kelulusan."
Roxanne. "Ah, Helbert, apakah kau menerima undangan reuni dari Roxanne?" Aku memelankan suaraku, entah mengapa aku melakukan itu hanya saja aku merasa undangan ini begitu misterius.

Melihat gelagat dan air muka Helbert yang berubah tegang aku sudah bisa menebak jawabannya.
"Ya, aku mendapatkan undangan itu sekitar seminggu yang lalu."
"Mengapa kau gugup?" Aku bertanya.
"Aku tidak gugup, hanya saja jangan sampai Martini mendengarnya, karena dia tidak diundang." Helbert berbisik di telingaku.

Martini? Siapa Martini? Aku menatap Helbert antara pura-pura mengerti namun masih ada tanda tanya di wajahku.
Helbert memutar bola matanya. "Martini adalah istriku."
"Ya...lalu?"
"Dia teman sekelas kita. Demi Tuhan, Alexandra. Kau tidak mengingat siapapun."
"Aku ingat! Hanya perlu sedikit pancingan." Aku berdusta. "Undangannya masih delapan bulan lagi, bukan?"
"Ya, temanya 'Book of Hope' aku tidak mengerti apa maksudnya." Jawabnya sambil lalu.
"Apa kau datang?" aku memastikan.
"Sepertinya begitu."

Nah, aku mulai mempekerjakan otak lemahku dengan lebih keras. Ada keanehan disini. Mengapa Roxanne mengundang Helbert namun tidak mengundang Martini? Padahal kami semua adalah teman satu kelas.

Jadi teman macam apa yang diundang oleh Roxanne untuk reuni Book of Hope delapan bulan lagi?

Naughty Dirty HopeWhere stories live. Discover now