III: "Martini"

6.2K 554 7
                                    

"Oh, yeah! Dorong dirimu lebih dalam. Kau hampir menyentuhku."
"Seperti ini?" Ia mendesakan pinggulnya dengan satu sentakan ke depan hingga menggoyang seluruh ranjang.
"Oh, ya! Lakukan lagi seperti itu."
"Kau membuatku hampir sampai!" Geramnya.
"Tidak! Tidak! Jangan sampai kau keluar lebih dulu atau aku akan marah."
"Aku tidak bisa terus di posisi ini."
"Biarkan aku di atasmu."
"Nah, menunggangiku itu lebih baik. Lakukan yang terbaik."

Brak! Brak! Brak!
Suara ranjang beradu dengan tembok.

"Oh, bagus! Rasanya lebih baik. Oh, ya seperti itu. Ah! Ah! Ah!"

Jeblak! Pintu kamar terbuka lebar.

"Oh, shit!" Aku memekik nyaring. Aku segera menutup mataku dan membalik tubuhku ke arah lain.
"Ah, hai Alex!" Lacey menyapaku dengan nafasnya yang terengah-engah.
"Halo, Alex!" Pria di bawah Lacey ikut menyapaku walau suaranya seperti terserang asma.

"Ada hal penting yang ingin kubicarakan padamu. Apakah kau masih lama?" Tanyaku sambil bertolak pinggang menghadap tembok.
"Katakan saja sekarang." Lacey menjawab. "Oh, yah...!"
"Yah?" Aku mengulang dengan nada tanya.
"Em! Em! Em! Tidak!"
"Tidak?" Sekarang aku mengernyit pada tembok seolah aku dapat berbicara dengannya.
"Hal penting apa, Alex? Mulailah bicara!" Tutur Lacey.

"Baiklah. Menurutku kita harus menemui Martini untuk mencari tahu tentang Roxanne dan undangannya."
"Oh, luar biasa!"
"Menurutmu begitu?" Aku masih berbicara dengan tembok. "Ya, dengan begitu kita bisa tahu apakah Martini juga mengatakan harapannya pada Roxanne."
"Ya! Ya! Ya!" Ujar Lacey yang kudengar terlalu bersemangat. Sedikit aneh mengingat Lacey tidak tertarik dengan kasus ini.
"Ya, sebab seingatku aku tidak mengatakan apapun pada Roxanne, aku tidak begitu dekat dengannya."
"Terus!" Kata Lacey. Dan yang kudengar adalah, "Terus?"
"Terus aku hanya ingin tahu alasan Roxanne mengundangku tetapi tidak mengundang Martini."
"Oh! Oh! Oh, ya, sempurna...!!!" Lenguhnya panjang disusul oleh geraman panjang suara seorang pria.
"Sempur-, apa?"

Saat itu juga aku sadar bahwa aku telah melakukan hal yang sia-sia. Aku membalik tubuhku pada mereka dengan mulut menganga dan mata membelalak. Sekarang aku mendapati dua tubuh saling bertaut di bawah selimut. Lacey berada dalam pelukan seorang pria dan mereka tampak begitu puas. Lacey tersenyum jahil padaku.

"Kau baru saja menyaksikan adegan sex secara live." Lacey mulai menggodaku.
"Aku tidak melihat kalian!" aku menegaskan kata-kataku sambil mengacungkan telunjuk ke arah mereka.

"Lace, putuskan sekarang. Kau ikut atau tidak?" aku melipat tanganku di depan dada sambil menumpukan berat badanku pada satu kaki. Aku berusaha terlihat meyakinkan bahwa aku sanggup mengintimidasi.

"Marc, sepertinya kau harus pulang sekarang. Aku akan menghubungimu lagi nanti." Lacey bangkit mengambil jubahnya.
Marc mendengus sinis. "Itu yang mereka katakan." ia juga mulai mengambil celana boxernya.

"Mereka siapa?" aku tidak tahan untuk tidak bertanya apa maksud perkataan Marc.
"Jika Lacey mengucapkan, 'aku akan menghubungimu lagi nanti' itu artinya hubungan kami selesai. Karena Lacey tidak akan pernah menghubungi kami." Marc menjelaskan sambil mengenakan celana jins, kemudian kaos putih, dan sekarang dalam proses mengenakan sepatu.

"Apa pekerjaanmu, Marc?" aku bersandar pada kusen pintu sambil menyipitkan mataku pada pria itu.
"Guru musik." jawab Marc singkat tanpa repot-repot menatapku.
"Kau masih ada kesempatan, asalkan kau bukan dokter, arsitek, aktor, dosen, mungkin juga akuntan-"
"Aku ingat betul tidak menyebutkan akuntan pada Roxanne karena saat itu aku tidak tahu apa itu akuntan." sahut Lacey datar berbanding terbalik dengan sorot matanya yang tajam. Ia sedang bersandar pada tepian meja rias sambil melipat tangannya.

Marc menatap kami bergantian dengan kerutan bingung di dahinya.
"Intinya, Marc. Kau masih berkesempatan untuk berkencan kembali dengan Lacey."

Marc sudah meninggalkan apartemen kami. Aku sudah berganti baju dengan gaun feminin kesukaanku. Dan Lacey sudah mengenakan pakaian yang pantas.

Kami berada di dalam taksi perjalanan menuju rumah Helbert. Sudah lima belas menit kami duduk bersisian namun tidak satu kata pun terucap. Rupanya Lacey tidak setuju aku memeriksa kasus ini namun demi persahabatan kami ia setuju menemaniku.

Kami tiba di sebuah rumah yang sedang direnovasi. Bukan rumah yang besar dan mewah. Hanya rumah ukuran standar namun terlihat nyaman.

Aku menekan bel pintu rumah itu dan menunggu sementara Lacey hanya menunduk lesu sambil memasukan tangannya ke dalam saku jaket.

Beberapa detik kemudian aku menekan bel lagi. Dan pintu terbuka.

"Maaf?" seorang wanita yang terbilang manis dengan rambut pendek mengikal di tengkuknya menyambut kami. Seorang bayi mungil berusia kurang lebih satu tahun berada dalam gendongannya.

"Martini James?" seru Lacey dari sebelahku ketika aku baru saja hendak memastikan bahwa wanita itu adalah Martini kami yang jujur saja aku tidak ingat bagaimana wajahnya.

Martini masih berkerut bingung pada Lacey. Ia tidak mengenal Lacey.
"Kau Alexandra Hewitt, kan?" kemudian ia menoleh pada Lacey. "Kau siapa?"
"Ok-" Lacey membenahi gayanya dengan angkuh. Ia mengangkat satu tangan dan menyodorkannya pada Martini. "Perkenalkan, Lacey Sanders."

Mendengar nama itu, wanita satu anak di hadapan kami langsung membeliak. Mungkin dalam benaknya ia sedang berpikir bahwa mukjizat itu memang ada.

Ia memandang Lacey dari wajah hingga ujung kaki kemudian kembali lagi ke wajah Lacey.
"Tidak mungkin! Bagaimana bisa?" ia menyentuhkan ujung jemarinya di pipi Lacey. "Katakan kemana perginya bintik itu, Lacey?"

Lacey menangkap tangan Martini dan menggenggamnya di bawah agar tidak mengacak wajahnya lebih jauh lagi. "Perawatan dengan masker khusus, Marty."

Setelah dipersilahkan masuk lalu diberi soda dan cemilan. Akhirnya Martini membaringkan putrinya di kamar bayi kemudian turun menemani kami berdua.

"Jadi, apa yang membawa kalian kemari?" Martini bertanya dengan tulus membuat kami sempat ragu.

"Ini mengenai Roxanne-" aku berusaha memulai dari hal yang paling mudah.
"Roxanne Violatrish?" Martini mencoba memastikan 'Roxanne' yang kami maksud.
"Ya, teman sekelas kita waktu sekolah dasar." aku menjawab.
"Bukankah kau sekolah menengah pertama dengan Roxanne?" Lacey menyela perbincangan kami.
"Ya, sebelum ia pindah ke Manhattan." jawab Martini.

Bagus! Aku mencoba memikirkan hal paling ringan untuk dijawab Martini.
"Bagaimana Roxanne selama kau mengenal dia?"

Martini menyipit padaku dan Lacey hanya menampilkan wajah tanpa ekspresi.
"Sebenarnya apa yang ingin kalian tanyakan?" jika aku tidak salah dengar, Martini berdesis ketika bertanya.

"Helbert mendapatkan undangan reuni kelas dari Roxanne, begitu pula dengan kami. Apa benar kau tidak diundang?" Selesai sudah. Lacey menjawab dengan lantang tanpa kesulitan. Ia mengabaikan kerlingan mataku.

Kelopak mata Martini melebar dan ia tergelak.
"Oh, kenapa kalian berputar-putar? Tentu saja aku tahu tentang reuni itu."
Lacey menegadahkan telapak tangannya dan menatapku dengan mimik wajah, apa kubilang!
"Tapi kata Helbert kau tidak boleh tahu tentang hal ini, bagaimana kau bisa tahu?" Aku mengernyit heran pada Martini yang terlihat begitu santai.
"Apa kalian lupa jika Helbert tidak pernah bisa menyimpan rahasia?" Martini mengangkat kedua alis lengkungnya sambil menyesap sodanya sendiri.

Helbert! Kurasa aku harus membuat perhitungan denganmu.

"Apa kau tahu sesuatu tentang maksud tema reuni itu? Book of Hope?" aku bertanya dan Martini tersenyum lemah.

"Roxanne sangat menyukai bukunya, kalian ingat?" Dan kami mengangguk bersama. "Kurasa ini mengenai tulisan yang ia buat saat kelulusan."

"Tulisan apa?" aku mengerutkan dahiku padanya.
"Impian dan harapannya jika telah dewasa." Martini menjawab acuh tak acuh. Tidak menyadari betapa pentingnya informasi itu bagiku dan Lacey.

"Apa yang ditulis oleh Roxanne?" Aku tak dapat menahan penasaranku lebih lama lagi. Aku ingin tahu kutukan apa saja yang tertulis di dalamnya.
"Mana kutahu. Tidak seorang pun berhasil merenggut buku itu dari pelukannya."
"Lalu bagaimana kau tahu jika ia menulis impiannya di sana?"
"Waktu itu ia bertanya pada Beverly..."

Naughty Dirty HopeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang