POSITIF DALAM NEGATIF

226 17 9
                                    

Akhir Oktober, 2010

Sebuah peristiwa besar terjadi di Yogyakarta. Merapi, gunung api yang konon paling aktif sedunia itu mengalami erupsi dahsyat, menyemburkan gumpalan abu vulkanik ke udara beserta material vulkanis lainnya. Menghancurkan beberapa desa, kebun, hewan ternak juga menelan korban jiwa manusia, termasuk Mbah Maridjan sang kuncen Merapi.

Ceritaku kali ini bukanlah tentang Mbah Maridjan, namun sebuah kisah unik yang sedikit menggelitik. Pengalaman pribadi diriku dan beberapa teman satu kontrakan.

......

Truk pengangkut bahan makanan dan juga berbagai sumbangan dari masyarakat tampak berderet mengantri. Menurunkan muatannya di depan sebuah GOR Universitas swasta yang memang menjadi posko pengungsian. Adzan Isya sudah lama berkumandang lewat pengeras suara, memanggil para hamba untuk segera menunaikan kewajibannya. Sementara aku, masih menyibukkan diri dengan lembaran kertas berisi manifest serah terima barang sumbangan.

Mataku terasa pedih saat abu vulkanik kembali datang terbawa angin dan menghujani GOR , radius aman telah ditarik mundur hingga 15 Km dari gunung Merapi, menjadikan posko ini adalah posko terakhir di bagian utara Yogyakarta. Masker berlapis yang ku kenakan pun tak mampu menghalau abu yang terasa semakin deras turun, namun pekerjaan belumlah tuntas masih ada 2 truk yang perlu aku data.

....

Nada dering khas ponsel bertajuk "connecting people" itu terdengar nyaring dari saku depan celana jeans yang sudah 1 minggu tak tersentuh air sabun, membuat konsentrasiku terganggu. Bergegas aku menekan tombol terima pada 7610 milikku.

"Gue sibuk nih, Yam!!"

"Ada apaan?"

Ketus ucapanku terdengar oleh orang di seberang telpon, William atau lebih sering kupanggil dia Ayam, teman satu kontrakan.

"Lo dimana ?"

"Buruan balik, bawa anak-anak semua!"

Dahiku mengernyit tak mengerti maksud ucapannya, sudah jelas dia tahu kalau aku dan lima teman satu kontrakan lainnya menjadi relawan di tempat yang sama. Mataku celingukan menyebar pandangan mencari keberadaan teman-temanku yang lain, namun tak satu pun batang hidungnya terlihat.

"Masih pada sibuk nih! bantuan datang sekaligus." Jawabku menjelaskan keadaan kepada William yang entah kenapa suaranya terdengar memburu dan panik.

"BAWA SEMUA ANAK-ANAK PULANG, JAMBLANG!!!!"

"MERAPI MELETUS!!!!"

Kalimatnya terdengar jelas dan membuatku refleks berlari menuju sisi lain GOR, sebuah tempat terbuka yang dapat dengan bebas memandang jauh ke utara, dimana terlihat pijaran merah mulai membasahi bibir kawah. Telpon segera ku tutup saat kudengar kegaduhan dari dalam GOR setelah sirine peringatan berbunyi. Para relawan membantu anggota TNI untuk mengevakuasi ratusan pengungsi, menaiki sejumlah truk angkut TNI yang sudah bersiaga.

Batas aman telah ditarik lebih dalam ke arah kota Yogyakarta menjadi 30 Km. Hal itu menandakan kami sudah di dalam wilayah terdampak erupsi.

......

Jam 21 lebih. Waktu yang ditunjukkan oleh jam dinding yang ada di kamar saat aku mulai memasukkan laptop dan Ijasah pendidikanku kedalam tas ransel besar. Kami memutuskan untuk meninggalkan rumah kontrakan, ikut mengungsi ke tempat yang lebih aman. Sebuah keputusan dadakan yang kami ambil saat akhirnya aku dapat menemukan ke lima teman kontrakanku di tengah hiruk pikuk proses evakuasi beberapa saat sebelumnya.

"KAMI DULUAN WOOOOYY!!!!" Terdengar suara keras dari halaman depan, 3 orang teman kontrakanku telah lebih dulu meninggalkan rumah bersama pacar masing-masing, menyisakan Aku, William, Ardi dan Rizal yang masih sibuk berkemas.

"Gue duluan ye!, kalian nyusul cepetan! jangan ngeyel deh." Sesaat kemudian William pamit, suaranya dari arah garasi sebelum hilang ditelan cempreng kenalpot King tunggangannya.

"Sialan!!!! dia duluan, gimana nih nasib kita?" Ardi yang tak kusadari keberadaannya telah berdiri dengan tubuh gemetaran bersandar pada daun pintu kamarku.

"Udah deh tenang dulu." Aku berusaha sebisanya menyembunyikan gemeretak gigi yang tak seijinku saling beradu, menahan takut. Mengingat kejadian setengah jam yang lalu saat William duduk bersila di tengah ruangan, ditemani ke tujuh keris pusaka miliknya. Keris yang pernah dia tanam sebagai pagar gaib dari rumah kontrakan berkamar delapan yang kami sewa secara patungan. Lelaki Blitar berdarah Belanda itu memang memiliki silsilah keluarga yang cukup rumit untuk dinalar oleh kami yang apatis tentang urusan klenik dan semacamnya.

"BURUAAANNNNN!!!!!

Rengekan Ardi semakin membuatku panik, tapi aku tetap bungkam tak memberi tanggapan selain menyibukkan tanganku mengemas keperluan.

"NAAAAH KAAAAN!!!!! ada lagi !!!!"

Ardi mulai sesegukan menahan tangis, aku tentu juga akan bersikap sepertinya jika melihat langsung, hanya mendengar suaranya saja tubuhku serasa lunglai tak bertenaga.

Suara itu, kikihan melengking dari tengah ruangan, bercampur cakaran di jendela dan sesekali suara gesekan permukaan lantai dengan ijuk sapu, yang tentunya aku tahu Rizal tak akan sudi menyapu lantai ruangan sedang kamarnya pun enggan ia bersihkan.

"ASTAGHFIRULLAH!!!!" pekik ku.

Aku bersegera memalingkan pandangan dari cermin yang menggantung pada sebuah paku di dinding kamar, yang mana pantulannya dapat memperlihatkan keadaan ruangan tengah.



.......

(BERSAMBUNG)

Wah tiba-tiba saya teringat kejadian ini, ternyata kalau ditulis bisa jadi panjang, jadi maafkan saya ya teman-teman pembaca. Hehehe, sepertinya tidak bisa diselesaikan hari ini, apalagi ini mau persiapan menyambut Ramadhan.

Selamat menunaikan ibadah puasa. semoga kita semua bisa memanfaatkan berkah bulan suci ini sebaik baiknya. dan semoga juga teman-teman tidak bosan menunggu saya yang sering angin-anginan menulis di sini. (Sekali lagi mohon maaf).

DERO!?







KAMISTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang