Jago Wireng (End)

33 3 0
                                    

Cahaya jingga memantul dari sisa genangan air pada lantai dekat bibir sumur, suara teriakan ibu-ibu riuh bergantian memanggi nama tertentu ke arahl segerombolan anak kecil yang sedang bermain bentengan pada tanah pekarangan rumah tetangga. Suasana berisik juga terdengar dari sisi kanan di mana terdapat sebuah lahan berpagar anyaman bambu yang tingginya lebih dari dua kali tinggi orang dewasa. Didalam nya sekawanan menthok dan bebek seakan sedang berunding membagii wilayah untuk makan dan beristirahat, di sisi luar pagar bambu itu tengah kulihat seorang pria tua tanpa baju yang tengah mengaitkan beberapa utas kawat pada bagian pintu pagar.

"Haaaaaaaaaaaaah..."

Aku menghela napas panjang dengan perlahan untuk menenangkan pikiran yang sempat berkecamuk akan hal-hal di luar nalar dan tak kusangka benar adanya. Derit dinding anyaman bambu selalu terdengar setiap aku menggerakkan kepala yang belum menemukan posisi nyaman dalam bersandar, akhirnya kuputuskan untuk berdiri dan berjalan saja menuju kerumunan anak kecil yang belum juga mau membubarkan diri dari permainan mereka karena toh ibu-ibu yang tadinya rewel menyuruh mereka pulang tengah asyik saling bergunjing dalam suara tawa yang lepas, seakan itulah cara mereka menghibur diri dari tekanan hidup yang makin lama semakin keras.

Sandang, pangan dan papan tiga kebutuhan utama manusia yang sejak dari tingkat sekolah dasar telah diajarkan oleh para guru adalah merupakan hal yang selalu berusaha gapai dan penuhi, apalagi ketika usia telah beranjak semakin dewasa ketiga kebutuhan primer itu menjelma menjadi beraneka ragam rupa dan wujud dimana masing-masing bentuknya saling berkaitan satu sama lain. Ketika kita tak mampu memenuhi satu hal, bisa jadi itu adalah awal mula kita tidak bisa memenuhi hal-hal lainnya lalu membuat kita terpuruk dalam sebuah keputusasaan. Ada juga ketika sebenarnya bisa memenuhi semuanya tapi dalam kadar yang pas-pasan, sehingga terkadang kita menjadi bingung dan merasa terhambat. Namun, tidak juga jarang kita menemukan keadaan yang ideal dan tercukupi segala sesuatunya, hanya saja kita tak merasa cukup dan puas dengan keadaan lalu menginginkan hal-hal yang lebih dan lebih banyak lagi, bagaimanapun caranya. Itulah keadaan terburuk kita yang sebenarnya, jauh lebih nista daripada hidup dalam kepapaan yang sejati. Adalah kondisi ketika hati ini lupa untuk merasa dan mengucapkan syukur.

...

"Bisa saja, kamu tidak akan pernah lagi bertemu Widodo, Iyan juga Faisal."

Ucapan Pakdhe Gimin itu mungkin dan sangat mungkin terjadi jika ketika malam itu, saat mereka bertemu anak kecil di pinggir sungai dalam sebuah gubuk yang masih basah terguyur hujan Ia mau untuk mengangkat bocah kurus berkulit hitam yang bertelanjang dada itu sebagai anak dengan imbalan makan Jago Wireng,

Jika Pakdhe memang berniat untuk itu, tentulah dia akan pergi ke sana lagi di waktu yang telah dijanjikan dengan membawa persembahan awal berupa daging ikan mentah pada sebuah alas daun tertentu agar diletakkan persis di tengah aliran sungai di bawah jembatan dekat dengan tempat ia biasa memancing. Hanya dengan membawa itu dan memanggil-manggil nama si bocah hingga ia mewujud dengan rupa aslinya maka perjanjian pun akan tercetak dalam kehidupan Pakdhe Gimin, yang kemudian akan bergelimang harta dan bend. Walau sebenarnya itu hanya sementara karena akan segera berganti dengan kenestapaan yang panjang hingga tak mampu meratapi tiga darah dagingnya ketika satu persatu dari mereka meregang nyawa jadi santapan, tumbal pesugihan.

Aku meremang dalam hawa dingin semilir angin di penghujung sore, satu persatu bocah kecil yang bermain di hadapanku pulang ke rumahnya masing-masing, menyisakan sepasang sendal jepit dan sehasta ranting pohon kersen. Ku ambil ranting itu untuk menggambar ulang deretan garis melintang dan membujur yang mulai samar tertutup debu dan jejak telapak kaki. Tak ada alasan bagiku melakukan itu selain nostalgia, menikmati kenangan masa kecil menyeruak lepas sambil memandang pola garis pada tanah pekarangan berpasir itu. Entah kapan aku terakhir memainkan permainan bentengan ini, atau biasa di sebut dengan permainan gobak sodor di tanah kelahiran ku.

...

"Weladalah, ini om-om masih aja mau main permainan bocah!"

Sipemilik suara tiba-tiba sudah ikut berjongkok di sisi kanan, membuatku tersipu malu dan segera melepas ranting pohon kersen dari genggaman. Aku tak menyadari kehadiran remaja tanggung anak bungsu Pakdhe Gimin itu hingga beberapa saat lalu. Setelah membalas kelakar bernada sindirannya dengan sebuah toyoran tepat di tengah jidat aku pun berdiri dan balik arah menuju teras rumah yang pada bagian atasnya menggantung sebuah bohlam memijarkan warna kuning dan tak cukup terang.

"Nginep di sini toh?"

 Lanjut si Faisal sesaat setelah ia menjinjing masuk sepeda yang tadi  ku sandarkan pada pohon kersen dekat sumur. Lama aku menjawab karena ragu hingga si bungsu yang tahun depan akan naik ke kelas 3 Sekolah Menengah Atas itu melanjutkan kalimatnya dengan tawaran untuk tidur di kamar Iyan yang sedang kosong tak berpenghuni.

"Lhaa..! Jelas dia menginap, mana berani dia menyia-nyiakan pengorbanan bebek peliharaanku yang sedang meringkuk menikmati spa dalam kuali!?" 

Pakdhe Gimin yang kini telah berkaos partai menimpali sambil menunjuk ke arah tungku di dapur. Kepulan asap terbawa aliran udara hingga mampu kuhirup dalam-dalam, menerka aroma lengkuas, jahe, kunyit, bawang, dan bumbu lain yang samar antara kemiri juga tambahan ketumbar. Aku yakin dia terlebih dahulu membuat bebek ungkep  sebelum digoreng dan lalu disajikan bersama Nasi panas lengkap dengan sambal bawang ekstra pedas.

"Telpon Ibumu! Bilang kamu menginap malam ini" Lanjutnya lagi sebelum berbalik arah meninggalkan Aku dan Faisal di teras rumah.

Awalnya aku menolak untuk menginap, walau sebenarnya aroma bebek ungkep itu sudah seperti belenggu yang memaksa diriku untuk tinggal. Tapi suara Pakdhe yang setengah berteriak dari arah dapur membuatku yakin untuk menelpon ibu dan mengabarkan jika akan menginap saja.

...

"Memangnya kamu berani lewat jembatan itu malam-malam begini!?"

...

Tentu saja! Tidak!

KAMISTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang