Simfoni Gerimis

121 15 28
                                    


Ini sudah memasuki bulan ke- lima aku menempati kamar baru, tidak terasa waktu berlari begitu cepatnya. Apa yang dapat kuceritakan di tempat baru ini? tentunya bukan tentang kemesraan tiap pasangan yang keluar masuk dalam ruang berukuran 3 x 4 sewaan per-tiga bulan itu ya, toh jelas itu privacy dan juga saya tidak punya hak apapun selain cemburu (yang terkadang muncul begitu saja, haha). Namun ada satu dua hal yang menarik, tentunya masih selaras dengan tema yang ada pada antologi KAMIS dan pada kesempatan berbahagia ini,  seiring keringat yang terus menetes akibat panas luar biasa di Jogja, aku akan menceritakannya padamu.

...

Sinar kemerahan sudah sangat tipis ketika Venus mulai terlihat, kali itu tubuhku sudah kelelahan akibat aktivitas seharian mengurus paket kiriman dari salah satu langganan kesayanganku. Penat dan berat memang, tapi itu sepadan dengan hasilnya. Hittokiri Battousai adalah yang pertama menyambut ketika pintu kamar ku terbuka, ia tersenyum  dengan menunjukkan kilau tajam sorot matanya di kegelapan. Memberi isyarat seakan aku harus terus berhati-hati menjaga punggung jika tidak ingin menjadi korban jurus Hiten Mitsurugi Ryu andalannya.

Pintu kamar tertutup dan kunci motor pun terbang sembarang, menyusul kemudian tas dan kemeja yang tergantung tidak pada tempatnya, punggung ku telah menjerit minta disandarkan pada kasur empuk di sudut kamar, berhadapan dengan rak buku penuh majalah di samping meja kecil tempat Dell, si laptop kesayanganku tidur nyenyak. 

Keringat tak lagi mengalir dari pelipis dan pori-pori rambut, untung saja sensasi gerah masih kalah besar dibanding dengan rasa malas dan letih hingga akhirnya aku terdiam berbaring dengan punggung tangan kanan berada di dahi. Membiarkan tubuhku beristirahat sembari aku menatap langit-langit kamar, menikmati nuansa remang dan sunyi kala itu. Sebelum mataku tak kuat lagi terjaga, aku sempat mengingat kewajiban untuk menjemput kakak-ku di sebuah travel jurusan Jogja-Semarang yang berlokasi di jalan Magelang, menjelang tengah malam.

"Siapapun, tolong bangunkan aku jam 11!!!"

Aku mengucap kalimat itu sambil menepuk lantai sebanyak tiga kali sebelum akhirnya terlelap. Tidur yang serasa sekejap saja, karena aku kemudian merasakan ada seseorang yang berdiri di sebelah kanan, menatapku lalu kemudian ia berjalan mondar-mandir. Sungguh sangat menyebalkan karena toh aku tak dapat mendengarkan langkah kakinya sedikitpun. 

Kesadaranku belumlah penuh dengan mata yang masih menyipit menahan kantuk saat aku beringsut dari posisi tidur dan kemudian bersila menghadap dia yang masih setia menunjukkan eksistensinya di hadapku.

"Iya-iya, terimakasih."Ucapku ketika itu. Kalimat yang membuatnya berhenti mendadak, lalu raib setelah menerobos langit-langit kamar. Aku tak tahu dia siapa, hanya hatiku merasa jenisnya adalah wanita. Mataku baru benar-benar terbuka ketika terpaksa meraba-raba kasur untuk mencari ponsel yang sudah penuh dengan kiriman pesan Kakak

 "JEMPUT! SUDAH SAMPE!" kata-nya.

Sepuluh menit kemudian aku pun menuruni jalan Kaliurang yang masih cukup ramai, berbelok pada pertigaan jalan Damai menuju Palagan, terus ke selatan hingga tiba di Ringroad Utara sebelum mengarah ke barat dan berbelok kiri ketika tiba di perempatan Jombor lalu tiba di jalan Magelang, tujuanku.

Suasana di jalan Magelang sungguh berbeda, mulai ramai dipenuhi  kelelawar pencari kesenangan dunia malam yang hingar-bingar. Motor terus ku gas dengan kecepatan konstan di bawah angka 40 km/jam. Sengaja kulakukan agar Kakak semakin berang.  Salah sendiri kenapa menyuruhku menjemputnya tengah malam begini, lagipula ojek online masih cukup terjangkau.

...

"Gak usah cerewet, naek buru!" Sergahku sebelum ia mulai mengomel, memaksanya untuk melompat dan duduk di jok.

"Makan dulu ya, mampir di depan!" Katanya sambil menepuk pundakku, sepeda motor pun melaju dengan kecepatan yang serupa dengan tadi, aku masih mengantuk dan tidak sedang ingin mengebut. Tujuan kami berikutnya adalah sebuah restoran fast food yang berlokasi tepat di bawah jembatan Jombor.

....

Lengkap sudah kebahagiaanku ketika hujan mulai turun lepas tengah malam itu. Bagaimana tidak, setelah harus menahan kantuk aku juga harus menahan dingin air hujan. Walau tidak deras, tapi juga tidak dapat dikatagorikan sebagai gerimis dan sudah pasti cukup untuk membuat kami basah kuyup karena aku tak membawa jas hujan sedang kakak memaksa untuk terus menarik tuas gas agar kami cepat sampai di kos.

...

"Jadi ini, kamar baru mu?" Ucapnya setelah masuk ke dalam kamar tanpa mau repot untuk melepas sepatu basahnya yang kotor.

"Iya, kamar mandi di sana" Aku berkata padanya sambil menunjuk ke arah ujung lorong, dua kamar jauhnya. Setelah itu akupun mengambil kunci kamar cadangan sebelum kemudian meninggalkan kos dengan payung.

..

'Titip Es Teh' Adalah bunyi pesan yang ia kirimkan padaku. Tapi, Peduli setan! mana mungkin dia mau menunggu aku menonton siaran langsung Champions League di burjo tak jauh dari rumah indekos. 

"Lagipula pertandingannya usai menjelang subuh" . Aku menertawakannya dalam pikiranku sambil terus berjalan di bawah payung yang menahan tetesan hujan.

...

Hujan masih terus turun, walau levelnya sudah menjadi gerimis. Seakan langit pun bersedih melihat Buffon yang harus berjibaku lalu bertekuk lutut atas kedigdayaan Ronaldo dini hari itu. Pria Portugal bernomor punggung 7 masih terlalu superior untuk ia jadikan lawan, walaupun di rumahnya sendiri Juventus Stadion. 

Kakak sudah nyenyak mendengkur, tidur pada kasurku yang hangat. Memaksaku mengalah untuk tidur di lantai beralaskan karpet, tanpa bantal juga guling. Entah sudah berapa lama aku berbaring, namun mata enggan terpejam. Mungkin karena tubuhku telah merasa cukup beristirahat, hingga akhirnya aku kembali duduk bersila, menghadap Dell yang kali itu terpaksa membuka matanya dan bangun untuk mengizinkanku mengobok-obok folder dalam drive nya.

This Bitter Pill adalah lagu pertama yang mengalun pelan, memperdengarkan suara khas yang emosional dari Chris Carabba sang vokalis Dashboard Confessional. Aku duduk di depan pintu kamar yang terbuka setelah selesai men-set playlist dengan volume yang cukup. Simfoni gerimis pagi itu selaras dengan lantunan melodi yang setia Dell perdengarkan pada setiap track yang silih berganti. Cukup lama, hingga akhirnya keseimbangan harmoni itu pun terusik oleh suara samar rintihan sesorang.

Aku menahan tawa kala itu, memikirkan sedang ada sepasang manusia yang bergumul hebat menikmati dingin malam demi memuaskan hasrat mereka. Senyumku tak luntur sepanjang waktu karena lamat-lamat rintihan syahdu itu terus kudengar. Entah dari kamar mana, aku pun tak ingin usil mencari kesana kemari. Takut jika nanti aku tak mampu menahan kenyataan jika kisah cinta ku tak sebahagia mereka. Maka dari itu aku tetap duduk menikmati alunan musik dari playlist yang kini memutar lagu berjudul Melankolia dari Efek Rumah Kaca.

Tersungkur di sisa malam
Kosong dan rendah gairah
Puisi yang romantis
Menetes dari bibir


Murung itu sungguh indah
Melambatkan butir darah


Nikmatilah saja kegundahan ini
Segala denyutnya yang merobek sepi
Kelesuan ini jangan lekas pergi
Aku menyelami sampai lelah hati


Puisi yang romantis
Menetes dari bibir


Murung itu sungguh indah
Melambatkan butir darah  

...

Ya, ketika tiba di bait itu, aku merasakan darahku yang melambat, seirama dengan jantung yang mendadak berhenti. Tak bisa lagi menikmati segala kegundahan dalam denyut yang merobek sepi. Kelesuan yang aku inginkan pergi secepat-cepatnya agar aku bisa segera berlari.

Di atas genteng,  Duduk pada sebuah parabola saluran televisi berbayar langganan milik tetangga kamar yang berhadapan dengan ku. Dengan gaun putihnya yang menjuntai, basah juga transparan. Aku melihatnya tanpa sanggup berkedip dan ketika itu aku menyadari pergumulan syahdu yang rintih suaranya meremang, hanya ada dalam pikiranku.


KAMISTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang