POSITIF DALAM NEGATIF (II)

184 19 13
                                    

Kami mengontrak hampir satu tahun lamanya di rumah itu. Rumah besar berkamar 8 dengan 2 kamar mandi, dapur, pekarangan lebar, garasi dan sebuah ruang tengah luas dilengkapi pendopo berukuran 2x2 meter, kolam ikan dan jejeran tanaman dalam pot kecil tertata rapi mengelilingi pendopo.

Entah apa maksud dan tujuan pemilik dengan tata ruang seperti ini, sempat kami berpikir jika sebenarnya dulu bangunan rumah ini memiliki area terbuka di tengah bangunan, terlihat dari susunan kamar yang mengelilingi layaknya sebuah penginapan. Posisi kamarku persis di sebelah pendopo yang pintu masuknya berada berdampingan dengan kolam ikan.

"Ya ampun... "
"Apa itu tadi...?"
Kelopak mataku terbuka perlahan, ketika keberanianku yang sempat tercerai berai kembali berkumpul. Aku mengintip sedikit dari ekor mataku, mengamati keadaan di ruangan tengah, tepatnya pendopo. Ingin meyakinkan diri apa yang kulihat sebelumnya, sesosok wanita tinggi dan kurus, bergaun putih hingga menutup kaki dengan rambut kaku yang tampak sedikit botak. Makhluk itu lah yang terlihat dari pantulan cermin, melayang perlahan berputar-putar di tengah ruangan.

"Zaaallll...!!"
"Rizaaaaal!"
Aku berteriak memanggil Rizal yang tak ada beritanya, kamarnya ada di seberang kamarku, bersebelahan dengan kamar William dan kamar mandi.

Degub jantung terasa memburu, pikiran semakin kalut, lupakan tentang apa yang mataku sempat lihat, fokusku lebih kepada suara gemuruh yang semakin keras datangnya dari arah utara. Merapi kemungkinan sudah bersiap memuntahkan apa yang mengganjal di tenggorokannya.

Ardi pun demikian, ia tak lagi memikirkan masalah setan,hantu dan segala tetek bengek supranatural lainnya. Keinginan kami sama, harus segera pergi dari rumah ini.

Dalam langkah cepat kami berdua lari menuju kamar Rizal yang pintunya tertutup. Ardi yang pertama membuka pintu diam terpana menatap Rizal sedang duduk santai di kursi malasnya, mengenakan boxer merah dengan singlet berwarna kuning.

Rizal menatap heran ke arahku dengan headset yang masih menempel menutupi kedua telinganya. Sesaat kemudian dia berpaling dan kembali memfokuskan pandangannya ke layar LCD 24 inch dengan tangan kanan asyik mengklik mouse.

"Udah, kalian berdua buruan susulin itu anak-anak. Gue mau di sini aja"
Kalimat Rizal membuatku heran bercampur emosi, bagaimana mungkin dia bisa berkata seperti itu. Keadaan sedang genting tapi dia malah meneruskan game RF online.

"Apa-apaan..?"
"Gue ga ngerti maksud lo zal."
Aku berdiri di sampingnya, namun ia tetap tak peduli,  tangannya menghardik upayaku yang bersiap memaksanya beranjak dari kursi.

"Kan gue udah bilang, lo berdua pergi aja."
"Gue udah mutusin bakalan tetap di sini, kalaupun gue bakal mati karena itu...."
Perkataannya terhenti, aku masih ingat matanya yang menyiratkan rasa pasrah menatapku dalam diam.
"Gue udah cukup senang mati di kamar sendiri."

Ingin sekali ku hujamkan kedua tinjuku ke mukanya, tapi Ardi sudah sigap menahanku melakukan itu semua.

Kami bertiga terdiam gamang dengan latar belakang suara gemuruh merapi dan teriakan perang karakter accretia milik Rizal yang tengah bertempur.

"Rizal.... Maafin gue ya kalau selama ini gue ada salah sama lo."
"Gue... Aku.... " Ardi tak melanjutkan uluran tangannya ke arah Rizal.
"Bangsat...!" ia memaki "Ayo pergi Zal!!" urat lehernya mencuat senada dengan tangan yang mengepal.
Rizal bungkam dan tetap menggelengkan kepalanya. Ia enggan pergi.

Sebuah keputusan yang hingga kini kusesalkan adalah aku yang tak mau berusaha lebih untuk memaksa Rizal. Aku membiarkannya, meninggalkannya, bergegas menyelamatkan diri sendiri.

Bersama Ardi, aku berboncengan mengendarai motor di tengah hujan abu yang semakin pekat, suasana gelap lingkungan perumahan terasa mencekam dan menakutkan. Mungkin para penghuni terburu-buru meninggalkan rumah saat perintah evakuasi tersebar, hingga tak ada satupun cahaya penerangan kecuali yang berasal dari lampu utama sepeda motorku.

Sirene kembali terdengar dari kejauhan saat kami mencapai jalan utama menuju kota Yogyakarta. Kurasakan tangan Ardi meremas kuat pundakku. Ia meratapi kesalahan serupa, kami yang egois, meninggalkan teman kami seorang diri tanpa sanggup memaksa. Kami yang dikalahkan rasa takut kami sendiri, aku dan Ardi adalah teman yang buruk... Maafkan kami, Rizal.

Jalan kaliurang kilometer 17. Kerumunan orang tampak memenuhi badan jalan, berbaris rapi walau tak ada koordinasi, setiap orang punya wajah yang sama. Guratan cemas penuh rasa khawatir yang diriasi kasar abu vulkanik berwarna putih. Abu yang dapat dengan mudah mengiritasi kornea mata, bahkan yang terparah bisa membuatmu buta.

Kepanikan mulai terjadi saat kami mencapai kilometer 10 dimana sebagian orang berteriak mengaduh mendapati kepala dan beberapa anggota tubuhnya memar dihujam batu kerikil yang jatuh dari langit. Kerikil panas itu adalah sedikit dari sekian juta volumetrik material yang Merapi muntahkan. Barisan tak lagi teratur, setiap orang mulai memekik memanggil Tuhan. Kepanikan menghadirkan kekacauan, tak ada lagi rasa sabar, semua ingin berada di depan, meringsek maju mencari tempat yang dirasa lebih aman.

Tengah malam, aku tak ingat persis tepatnya. Suara gemuruh disertai petir tampak menggelegar di langit utara jogja. Merapi berada pada puncak fase erupsinya.

KAMISTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang