U.S.O

174 13 14
                                    

Cuaca ekstrim di jogja akhir-akhir ini sungguh menyiksa, efek fenomena Equinox yang memang rutin 2 kali terjadi dalam setahun.

Lampu lalu lintas belumlah hijau namun antrian kendaraan sudah tak sabar untuk segera terlepas dari jerat lalu lintas akhir minggu yang melelahkan.

"Sabar kenapa sih?"

Aku menoleh dengan tatapan layu ke arah kiri, dimana seorang wanita tak lebih tua dariku rajin memukul-mukul bagian tengah lingkaran setir kendaraan roda 4 dari kursi pengemudi, menghasilkan nada peringatan yang tak nyaman di telinga, memperparah moodku.

....

Perlahan namun pasti, aku akhirnya lolos dari kerumunan arus lalulintas yang tak pernah sepi di perempatan Kentungan, menuju terus ke utara menyisir jalan kaliurang, hingga akhirnya tiba di salah satu perkampungan.

Sebelum memasuki rumah berpagar hijau dengan areal parkir seukuran lapangan futsal itu, aku berhenti di depan warung burjo langgananku. Meneriakkan pesanan minuman dingin rasa jeruk yang diiklankan Joshua tanpa turun dari sepeda motor.

"Dianterin apa diambil ?" Teriak A' Suep dengan tangan sudah siap meracik pesananku.

"ANTERIN AAAAAK!" aku menjawab pertanyaannya juga dengan teriakan sambil meng-gas kembali sepeda motor yang kukendarai.

......

Kamarku jauh dari kata nyaman bagi siapapun yang masuk kedalamnya, terkecuali aku. Sedikit lembab karena berada di pojok bangunan kos milik kakek salah seorang teman dari kakak ku. Rumah kos tua yang butuh peremajaan di berbagai sudut itu sudah 3 tahun aku tempati, menyewa sebuah kamar bernomer 18 pada blok C.

Suara A' Suep menyenandungkan sebuah lagu berbahasa sunda terdengar dari arah gerbang, lelaki tambun berambut ikal dengan kumis tebal itu sudah terbiasa lalu lalang masuk di area rumah kos. Karena tak jarang Mbah Sardi sang pemilik, memintanya untuk membersihkan rumput di pekarangan atau membantu pekerjaan perawatan rumah.

"Sepi amat, Wi"

"Pada kemana?"

Aku tak memberi jawaban selain mengangkat kedua bahuku saat menerima sodoran minuman dingin dalam gelas dari A' Suep. Matanya kulihat menjelajahi deretan pintu kamar yang tertutup rapat pada blok ku.

"Biasa... malem minggu A'"

Aku membantunya mengingat kebiasaan setiap akhir pekan para penghuni kost yang kebanyakan pulang kampung ataupun kencan bersama pasangannya.

"Ups...sorry lho Wi"

"Ga bermaksud nyinggung...."

"Cuma ngingetin aja, kalau kamu tuh jomblo udah kelamaan!"

Ia tertawa sambil menghindari sedotan plastik yang kulempar ke arahnya.

"Utang dulu yak, nanti atau besok pagi aku bayar. Ga punya duit receh nih" Kataku berlagak sombong dengan menunjukkan selembaran duit berwajah Presiden pertama RI dari dompetku.

"Eleh segitu doang? Nih kembaliannya...." A' Suep mengeluarkan dompet dari saku belakang celananya, menghitung lembaran uang lalu menyerahkannya kepadaku setelah menyambar lembar terakhir di dompet milikku.

"97 Ribu! Hitung dulu... jangan lebih!" katanya, masih dengan nada mengejek kepadaku.

....

"Sialan nih juragan burjo, udah evolusi trik dagang dia" kataku dalam hati.

.......

.........

Petang telah datang, suasana gelap di luar pintu karena matahari terbenam makin membuatku malas untuk bergerak dari posisi tidurku, menatap langit-langit kamar yang mulai dihiasi rajutan jaring laba-laba dengan remang lampu tidur 5 watt yang nyala di sudut rak buku.

KAMISTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang