Selamat jalan, Shilla.

7.2K 449 145
                                    

Play music video🎵

Aku membuka gagang pintu bertuliskan ruang jenazah. Kulihat ada beberapa orang disana, mereka semua menangis. Wanita paruh baya yang kukenal adalah mama Shilla sedang berteriak memanggil nama anaknya. Hatiku terisak melihat wajah yang selama ini memarahi dan selalu menasehatiku terkujur kaku. Wajah nya pucat dan dadanya tidak bergerak. Iqbaal merangkul pundakku, berharap aku baik-baik saja.

Setelah keadaan sepi, aku baru mendekat ke Shilla. Dia sungguh cantik, senyumnya tidak pudar. Aku seperti melihat putri tidur. Kuggenggam tangannya yang dingin sambil menggigit bibir agar tidak menangis dihadapannya. Karena kata orang; kalau air mata kita jatuh ke jenazah, akan membuatnya kesakitan. Dan aku tidak akan melakukan itu ke sahabat yang sudah aku anggap saudara.

"Shil..." aku bergetar hebat. Tidak menyangka pertemuan tiga tahun lalu akan berakhir secepat ini. Iqbaal kembali menepuk pundakku.

"Kenapa lo pergi?" ternyata menahan air mata itu menyakitkan. Aku mengelus wajahnya, kuhapus sedikit air mata di pipi. Lalu aku mencium kening Shilla. Untuk terakhir kalinya.

"Lo udah gak sayang sama gue lagi ya? atau gue nakal?" aku meracau seakan Shilla tidak meninggal. "Gue janji akan berubah, gue akan nurutin omongan lo. Gue gak akan jadi cewek egois lagi..."

Iqbaal menarikku ke pelukannya. Aku sudah tidak kuat menahan butiran di pelupuk mata. Kutumpahkan semuanya ke Iqbaal. Hati ini hancur, aku tidak akan melihat Shilla lagi di kemudian hari. Dia benar-benar pergi. Kenangan demi kenangan tiba-tiba muncul di otakku. Tawa dan senyumnya begitu jelas dibayanganku saat ini.

"Kita keluar" ucap Iqbaal pelan. Aku tahu maksudnya apa, dia tidak mau aku lebih sakit lagi.

Semakin malam, keluarga Shilla semakin banyak yang datang. Tadi, aku sudah bertemu dengan mama dan papa Shilla mengucapkan bela sungkawa. Aku mencoba menenangkan mereka walau sebenarnya aku juga kehilangan. Sedari tadi disini, sosok yang beberapa bulan ini menjadi pacar Shilla tidak ada. Aku belum melihat Bayu. Edo juga tidak ada, padahal aku mengetahui kejadian ini dari Edo. Sesaat telefon dari Edo tadi, Aku langsung menelfon Iqbaal dan menyuruhnya menjemputku dan mengantarku kerumah sakit. Sekarang sudah jam satu malam. Kita semua menunggu diluar sampai besok pagi. Karena pihak rumah sakit baru akan mengeluarkan Shilla jika semua surat-menyurat dan administrasi selesai.

Kulihat Iqbaal mengantuk. Dari wajahnya juga terlihat kalau dia lelah, aku tahu dia kecapekan karena acara yasinan dirumahnya tadi. Dan belum sampai rumah setelah mengantarku. Dia kembali menjemputku.

"Kalau kamu ngantuk, tidur aja dulu di mobil" ucapku mendekat ke Iqbaal.

Dia menggeleng.

"Aku belum ngantuk" dia berbohong. Aku tahu betul, dari tadi Iqbaal terus menguap. Namun jika aku memandangnya, dia pura-pura tersenyum.

"Kamu perlu istirahat"

"Yang harusnya istirahat itu kamu. Besok masih banyak kegiatan yang akan kamu jalani" aku benar-benar beruntung mendapatkannya kembali. Dia sungguh perhatian dan selalu mengutamakan diriku. Tangannya yang sejak tadi menenangkanku mengelus rambutku yang sudah tidak beraturan. "Jangan khawatirin aku, aku gak apa-apa"

Kurasa aku tidak bisa berkata lagi. Dia tidak akan mau mendengarkan pilihanku, yang sebenarnya baik untuk dirinya. Mataku terpejam di pundak Iqbaal. Sepertinya benar ucapan Iqbaal, akulah yang butuh istirahat. Sejak tadi mataku belum istirahat setelah mengeluarkan air mata terus-menerus.

Aku terbangun ketika jam alarm berbunyi tanda sholat subuh. Kepalaku terasa sakit akibat tidur miring, namun pikiranku menjadi tenang. Disebelahku, ada Iqbaal yang masih terpejam. Alarm nya segera kumatikan supaya tidak menganggu Iqbaal. Namun gerakan tubuhku membuat Iqbaal tersadar. Dia mengucek matanya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 19, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Times (Pending)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang