Dua Puluh Lima

2.7K 288 5
                                    

Kegiatan camping sudah selesai sejak tiga hari yang lalu. Dan bagi Raja, momen-momen di camping itu merupakan momen berharga sekaligus menegangkan. Pertama, serpihan memori yang rusak perlahan menyatu. Kedua, karena ia harus menyatakan apa yang ia rasakan kepada Sarah, musuh bebuyutannya.

"Lo udah makan, Sar?" tanya Raja menatap Sarah lekat.

Gadis itu mengangkat kepalanya, menatap Raja yang menjulang tinggi di hadapannya.

"Udah kok," jawab Sarah tersenyum lebar.

"Kapan?" Raja memutar bola matanya mengetahui Sarah berbohong hanya untuk melihatnya bermain basket.

"Tadi pagi," jawab Sarah mengeluarkan cengirannya.

Raja mendengus, "Itu namanya belum makan, Sarah Sayang."

"Tapi gue masih kenyang kok, Ja. Sum--"

"Ayo makan," Raja menarik tangan Sarah.

"Ja, gue masih keny--"

"Kalo lo sakit gimana?" tanya Raja tegas.

Tiba-tiba Sarah menyamakan langkahnya dengan Raja. Gadis itu tersenyum lebar dan manis, di mata Raja.

"Lo udah balik, Ja," ujar Sarah, matanya menatap lekat Raja.

"Maksudnya?" tanya Raja bingung.

Sarah menghela napas lega lalu berkata, "Beberapa tahun tanpa lo, buat gue sadar, ada cinta yang mempunyai otaknya sendiri. Ada cinta yang bisa mengambil keputusan sendiri. Dan ada cinta yang nggak bisa kita atur. Gue udah sering bilang ke diri gue kalo gue udah nggak cinta sama lo. Tapi sesuatu dalam diri gue berteriak, dia bilang kalo gue masih cinta sama lo. Dan seiring waktu berjalan, cinta gue nggak pernah pudar karena nyatanya hati ini masih merindukan rumah dan kehangatannya," jelas Sarah tersenyum kecil.

Raja tak tau harus berkata apa. Ia tak pernah tau, bahwa selama ini, ada seorang gadis yang menunggu kepulangannya. Ada seorang gadis yang menunggu agar ia kembali dan mengingat semuanya. Dan ada seorang gadis yang tersakiti namun masih memilih mencintai.

"Makasih, Sar," ujar Raja mengenggam tangan Sarah --berhasil membuat seluruh siswa siswi menatap mereka.

"Gue yang makasih," Sarah tersenyum manis.

***

"Jadi, lo udah balikkan sama Sarah?" Rico tersenyum jahil.

"Katanya it won't change anything?" timpal Rico sembari memainkan ponselnya.

Raja menoleh dan menatap Rico lekat. Dan hal itu tentu membuat Rico menoleh, menaikkan satu alisnya.

"Lo ngapain ngeliatin gue?" Rico menatap Raja horror.

Tak lama, Raja menghela napas berat dan memejamkan mata.

"Lo yakin gue pernah amnesia?" cicit Raja namun dapat Rico dengar.

Nyatanya, Raja masih ragu akan hal itu. Raja memang merasa mengenal Sarah dekat. Tapi, masalah mengenal Sarah sebagai pacar, sebagai orang yang pernah lelaki itu cintai; Raja tak pernah mengingat itu.

"Jangan bilang lo bohongin Sarah dengan bilang lo udah inget tentang dia?" tanya Rico.

"Gue inget Sarah. Gue inget pernah kenal deket sama Sarah. Tapi gue nggak pernah inget Sarah sebagai orang yang pernah gue cintai," jawab Raja frustasi.

Lengang sejenak hingga Raja kembali membuka suara.

"Gue kira gue bisa kembali mengingat tentang Sarah kalo gue berada di dekat dia," lanjut Raja, "ternyata engga," lirihnya.

"Ja, lo nggak harus mengingat dia sebagai seorang yang pernah lo cintai. Lo juga nggak harus mencintai dia kalo emang hati lo nggak mau. Lo hanya perlu berada di dekatnya dan nanti biar hati lo yang menentukan tujuannya. Mau kembali ke rumahnya atau coba singgah di rumah lain. Nyatanya, hati nggak pernah buta, Ja. Hati nggak pernah amnesia. Yang terjadi adalah pikiran lo yang menutupi kerja hati itu. Menutupi apa kata hati. Dalam cinta, lo nggak perlu pendapat dari pikiran lo. Lo hanya perlu mendengarkan hati lo. Dia tau yang terbaik untuk lo," jelas Rico bak orang tua yang sudah mempunyai banyak pengalaman.

"Lo," Raja menatap Rico tak percaya. Kalimat itu bukan mencerminkan seorang lelaki yang nakal yang keterlaluan.

"Anu, um," Rico menggaruk tengkuknya yang tak gatal, "gue baca dari buku harian adik gue waktu dia patah hati."

Dan tak lama, tawa menghiasi ruang kelas itu.

[a/n]
Lupa update gais kemarin WKWKWK.

Jangan lupa vote dan commentsss!

Regards,
Dera

CahayaDonde viven las historias. Descúbrelo ahora