Epilog

3.9K 333 7
                                    

"Yang kita butuhkan adalah cahaya, cahaya yang mampu mendekatkan kita pada bahagia."

***

"Kalo Bapak berinvestasi di--"

Perkataan Raja terpotong saat Fefe masuk secara mendadak ke ruang rapat. Wajahnya panik.

"Misi, Pak, istri Bapak melahirkan."

Dan tidak ada hal yang mampu membuat jantung Raja hampir copot selain mendengar kabar bahwa istrinya akan nelahirkan. Rasanya Raja ingin pingsan mendengar istrinya hendak melahirkan.

"Pak, selanjutnya akan dijelaskan oleh anak buah saya ya," ujar Raja panik. Pria itu langsung berlari keluar.

Sudah gila-gilaan menyetir di jalanan hingga diklakson oleh banyak pengemudi, ternyata istrinya malah asik bermain game di ponselnya. Dia memang terbaring di kasur rumah sakit, tapi dia tidak melahirkan dan dia juga tidak meringis kesakitan seperti biasanya.

Raja bisa menghela napas lega saat melihat istrinya ternyata belum melahirkan. Padahal jantungnya hampir copot tadi!

"Kok kamu belom ngelahirin, Sar?" Raja bertanya kepada istrinya, Sarah, yang sedang asik bermain ponsel.

"Lo mau gue cepet-cepet ngelahirin?" tanya Sarah jutek. Pandangannya masih fokus menatap layar ponsel.

"Terserah lo sih, 'kan lo yang ngelahirin, bukan gue," jawab Raja mendekati Sarah.

"Tadi gue kontraksi," ujar Sarah akhirnya. Wanita itu berusaha turun dari kasurnya.

"Mau ngapain?" tanya Raja. Pria itu langsung memegang perut istrinya, takut tiba-tiba melahirkan.

"Mau peluk," jawab Sarah manja.

Dan Raja tahu, jika Sarah sudah manja, ia sedang ngidam. Hanya hitungan waktu saja Sarah akan meminta dibelikan hal-hal yang susah dicari.

"Aku aja yang naik ke kasur," ujar Raja membantu Sarah untuk kembali ke kasur. Kemudian pria itu ikut merebahkan tubuhnya di kasur, merengkuh tubuh Sarah.

Sarah langsung memeluk Raja, mendekatkan wajahnya ke dada suaminya.

"Nanti kalo aku meninggal pas melahirkan, bilangin ke anak kita ya kalo dia punya mama yang pinter banget dan dia juga harus pinter sekolah. Jangan ngecewain ayahnya dan keluarga," ujar Sarah tiba-tiba.

Hal tersebut membuat Raja mengerutkan dahinya, "Udah bikin anak cape-cape, udah ngandung 9 bulan, eh malah mikir meninggal. Lo mau jadi ibu yang baik nggak sih, Sar?"

"Kalo nanti disuruh pilih, mau nyelamatin nyawa ibu atau anaknya, pilih anak kita ya, Ja. Kalo kamu milih aku, itu sama aja kamu nyiksa aku," lanjut Sarah, "nanti kalo aku meninggal, kamu jangan galauin aku ya, Ja. Cari pengganti aku, aku ikhlas kok."

"Gue jadi nyesel ngelamar lo, Sar," ujar Raja.

"Takut aja, Ja," cicit Sarah. Wanita itu mengangkat kepalanya, menatap Raja.

Dan Raja tak lagi melihat binar bahagia dari mata itu. Pria itu tak melihat mata cemerlang yang selalu membuatnya jatuh cinta berkali-kali. Raja tak lagi melihat mata indah itu lagi. Yang ia lihat hanyalah mata yang pancaran kebahagiaannya sudah redup. Mata yang menyiratkan ketakutan.

Raja merengkuh Sarah lebih erat. Sesekali ia mengecup puncak kepala istrinya, "Sejak kapan lo jadi penakut begini, Sar?"

"Sejak gue sadar, kalo hidup itu berharga," jawab Sarah melankonis.

"'Jadi selama ini lo nggak pernah menghargai hidup lo?" tanya Raja.

"Pernah sih...."

Tiba-tiba Sarah menjerit sakit. Sepertinya ia hendak melahirkan.... dan selanjutnya yang terjadi adalah penderitaan bagi Raja, juga tubuhnya...

***

"Lo masih mau meninggal, Sar?" Raja bertanya sembari memperhatikan Sarah yang sedang dimake-up.

Sudah dua bulan sejak Sarah melahirkan, kini mereka akan melakukan foto keluarga di rumahnya. Sarah yang sedang dipoles pun menjawab, "Gue 'kan takut."

"Lebay," balas Raja sembari menggendong anaknya, Raden.

"Lain kali lo aja yang hamil," ceplos Sarah membuat perias wajahnya tertawa.

"Iya 'kan, Ta? Dia nggak ngerasain jadi cewe sih. Kita mah cewe takut mati pas ngelahirin. Dia mah enak tinggal buat doang," Sarah meminta persetujuan Dicta, periasnya.

"Suami gue juga gitu, Sar," balas Dicta.

"Menderita jadi cowo. Kalo istrinya melahirkan, pulang-pulang badannya luka semua," ujar Raja tak mau kalah berdebat.

"Udah deh," Dicta menengahi, "udah punya anak masih kayak anak kecil aja."

"Mending kayak anak kecil, daripada kayak orang tua," ujar Raja.

"Lo udah tua, plis, Ja." Sarah melirik Raja.

"Lo juga udah tua, Sar."

"Ya 'kan kita seumuran tong," ujar Sarah kesal.

"Udah nih," ujar Dicta.

"Ayo ayo," Henry, photographer, mereka berbicara.

Akhirnya Sarah beralih menggendong Raden. Mereka berjalan menuju sofa yang telah disediakan untuk foto.

"Kamu bahagia sama aku 'kan, Sar?" tanya Raja pelan. Matanya menatap Sarah lekat.

"Semua sama kamu bahagia, Ja," jawab Sarah tersenyum.

Dan saat mata mereka bertemu... Raja maupun Sarah mengerti apa arti bahagia yang sesungguhnya.

Bagi Raja, Sarah adalah cahayanya, cahaya yang mampu menuntunnya keluar dari kegelapan.
Bagi Sarah, Raja adalah cahayanya, cahaya yang mampu meneranginya dalam mengarungi hidup.

Cekrek.

TAMAT

[a/n]
Terima kasih buat para pembaca setia! Terima kasih buat mereka yang selalu vote dan comments dan juga support!! Makasihhh gaiss<3 Cerita Raja dan Sarah nggak akan berakhir tanpa support kalian WKWKWKWK.

Cerita Raja dan Sarah juga sampe sini dulu yaaa! Terimakasih buat semuanyaaaa! Maaf juga cerita ini sempat tertunda sangaatt lama, tapi akhirnya selesai kaaannn! HEHEHE.

Ohya kalo ini udah publish berarti kalian bisa cek bab 28 lagi karena aku ada edit bab itu!

Jangan lupa vote dan comments!

Regards,
Dera

CahayaWhere stories live. Discover now