Delapan

10.7K 1.2K 79
                                    

TERIMAKASIH KARENA MASIH SETIA MEMBACA

Penulis sangat meng-apresiasi para pembaca yang sudah singgah, memberi vote, ataupun memberi komentar berharga, yang tentunya tidak bisa penulis sebutkan satu persatu. Sekali lagi terimakasih :)

Mulai dari sini agak lebih banyak cerita dibawakan dari segi pandang Sasuke, yang sebenarnya sudah pernah saya lakukan pada chapter 3 sebelumnya. Semoga kalian menyukainya :)

.

.

Meng-imaji sesuatu, Sasuke menyadari, ternyata lebih mudah ketimbang mengiplementasikannya menjadi suatu aksi. Sasuke selalu dikenal sebagai orang yang ulet, kritis dan penuh pertimbangan. Sasuke jarang membuka mulut untuk terlibat dalam suatu perdebatan panjang tak berujung, tetapi selalu mendapati satu kalimat darinya akan langsung disetujui dalam kurun waktu kurang dari setengah detik. Seharusnya Sasuke menganggap dirinya superior—yang kenyataannya dia memang beranggapan demikian—sebelum dia mulai mengambil keputusan-keputusan paling tak masuk akal tentang hidupnya.

Dalam momen-momen paling langka dalam hidupnya Sasuke mendapati dirinya mulai sukar mengambil beberapa keputusan. Bukan perkara besar yang biasanya sukar untuk dia bedah dan putuskan. Malahan seringkali perkara tersebut hanya berupa sebuah hal kecil yang sedikit tidak sepele. Hanya sedikit...yah... rumit. Dan seringkali harus berakhir dengan penyesalan.

Sebenarnya Sasuke cukup terkejut bagaimana dia bisa mengambil keputusan itu dengan punggung tegak sementara menyesalinya dikemudian hari. Mungkin penyebabnya adalah karena seluruh keputusan itu bukan diambilnya semata-semata atas kepentingan dirinya sendiri. Sejarah pasti akan mencatat saat dimana Sasuke mulai mengambil keputusan berisiko yang tidak menguntungkan—dan menyenangkan—bagi dirinya sendiri. Dan semua keputusan itu berlandaskan nama orang lain.

Dia, sebagai contoh, Naruto.

Saat pertama kali mengambil keputusan untuk dirinya sendiri adalah saat dia berusia 7 tahun. Lingkungan keluarga dan tidak bisa disebut menyenangkan dan pendidikan ayahnya yang keras membuat Sasuke menyadari dengan sendirinya bahwa keputusan yang diambilnya harus tepat. Satu keputusan yang salah, dan sebuah batang rotan akan melayang dari tangan ayahnya. Saat itu Sasuke tidak membenci ayahnya—belum.

Hingga pada saat bencana terbesar yang tidak pernah dibayangkannya menerpa kehidupan keluarganya yang tidak begitu bahagia, dia menyadari bahwa dirinya lahir memang hanya untuk membenci pria itu. Atau mungkin juga abangnya, atau begitupula ibunya. Sasuke mendapati hal ini lucu. Bagaimana bisa dia membenci hampir seluruh manusia yang bisa disebutnya keluarga? Bagaimanapun semuanya berjejer terstruktur. Dan dia menyadari, seluruh rasa benci itu akan ditujukannya pada satu-satunya orang tersebut diatas yang masih bernafas. Yaitu ayahnya.

Dia masih berusia 12 tahun, bagaimanapun usia itu terlalu muda untuk seorang bocah berdiri tegak dengan dagu terangkat saat menantang ayahnya yang seorang pria dewasa untuk berduel. Kalangan elite derajat atas mengajarkan bahwa lelaki harus menyelesaikan masalah mereka dengan dua cara—duduk didepan hakim dalam sidang atau berdiri mengitari lapangan rumput dengan pistol ditangan.

Dan ironisnya Sasuke mendapati dirinya lari. Akal sehatnya berasumsi bahwa melakukan dua tindakan diatas tidak akan membawa kesejahterahan apapun, dan yang terpenting mungkin saja menyakiti seseorang. Dia tidak akan peduli jika yang disakiti adalah ayahnya yang brengsek—Sasuke sadar ini kurang sopan. Tapi percayalah bahwa dia senang menyebutnya begitu—tetapi bagaimana jika yang tersakiti adalah orang yang dia cintai?

Dalam benak Sasuke wajah Naruto muncul seperti perputaran film. Sasuke mendapati nafasnya seperti memadat dan tersangkut di tenggorokan. Tubuh kurus kering atau pipi gembul dengan dua bola mata bulat itu. Dia tak akan bisa menanggungnya.

ALPHA MARKWo Geschichten leben. Entdecke jetzt