“Mengapa Ayah dan Bunda belum pulang sampai sekarang? Ini sudah pukul Sepuluh malam.” Gumam Nadia seraya mendaratkan bokongnya di sofa. Dia menatap keluar jendela, berharap Bunda dan Ayahnya segera datang, tapi, setelah beberapa lama mereka tidak kunjung datang bahkan mengabari Nadia saja tidak.
Lagi-lagi, Nadia ditinggal sendirian untuk yang kesekian kalinya. Ia tidak pernah takut, namun kali ini berbeda. Ia merasa sedikit ketakutan mengingat diluar sedang badai salju. Mengkhawatirkan keadaan Ayah dan Bunda-nya mana lagi jalanan pasti sangat gelap tertutup badai salju. Ya tuhan, lindungi ayah dan bunda untukku. Batinnya menjerit.
Nadia mengeluarkan ponselnya dari saku. Ia mengutak-atik ponselnya dan memutar melodi-melodi indah alunan piano yang langsung terdengar di seantareo rumahnya itu. Terkadang ia selalu merasa tenang saat melodi-melodi indah itu mengalun dengan tenang, rasanya semua bebannya terangkat.
Gadis yang memiliki mata hijau yang damai itu beranjak berdiri, ia menuju dapurnya. Kemudian membuat satu cangkir coklat panas, setelah itu ia membawa coklat panas yang sudah siap diminum sekarang juga. Sebelum kembali ke ruang tamu, Nadia terlebih dulu mengambil novel yang baru ia beli pekan ini di toko buku pusat kota. Segera ia kembali mendaratkan tubuhnya di sofa, meletakkan cangkir yang berisi coklat panas diatas meja, kemudian melanjutkan aktifitas membaca novel yang belum terselesaikan.
Melodi yang mengalun masih terdengar sampai kini. Ditambah lagi udara semakin dingin padahal perapian dirumah Nadia selalu menyala. Resikonya jika ia tinggal di negera yang paling dingin dengan badai saljunya. Ia mendongakkan kepalanya, melihat kearah jarum jam yang sudah menunjukkan pukul setengah Sebelas. Ia memang sengaja tidak tidur, senantiasa untuk menunggu Ayah dan Bunda-nya hingga pulang.
“Hoam. Ya tuhan, aku sudah mengantuk. Tidur atau tidak? Ah, Nadia kau cukup kuat untuk bergadang jadi, bergadang saja lagipula besok hari Minggu.” Gumam Nadia. Kembali ia mengucek matanya dan membaca novelnya, lagi.
Suara kenop pintu terbuka membuat Nadia sedikit kaget. Padahal, ia sudah mengunci semua pintu dan jendelanya. Mana lagi, gadis itu sedang sendirian sekarang. Pikiran negatif berkecamuk dikepala Nadia. Membuat Nadia cepat-cepat berangsur menuju ke pintu depan. “Bunda, Ayah, kalian baik-baik saja?” Tanya Nadia seraya membantu Bunda masuk kedalam rumah. Ternyata hanyalah Bunda dan Ayahnya, tadinya ia kira maling. Tetapi, mengapa Bunda dan Ayah membawa seorang pengemis bersama mereka ditambah lagi gitar usang yang ada digenggaman lelaki itu.
Tanpa ambil pusing, Nadia mengabaikan lelaki itu. Nadia menuntun kedua orang tuanya menuju sofa. Kemudian, membantu melepas blazer yang Bunda-nya gunakan. “Nadia, kau belum tidur?” Tanya Bunda-nya, cemas.
Nadia mengulas senyum saat menyadari ada kecemasan dalam perkataan Bunda. “Belum Bun, menunggu Bunda dan Ayah.” Jawabnya, tanpa kebohongan sedikitpun. Ia tidak pernah berbohong pada kedua orang tuanya, Nadia adalah anak yang baik dan penurut. Waktunya terkadang ia habiskan dengan teman-temannya, namun ia bukan anak gadis yang selalu keluyuran dan pulang malam. Ia selalu mensyukuri atas apa yang ia punya sekarang, termasuk Bunda dan Ayahnya. Nadia tidak ingin kehilangan orang yang ia kasihi untuk yang kedua kalinya. Sudah cukup banyak luka yang ada, dan Nadia tahu semua luka itu belum mengering sepenuhnya.
“Yasudah, Nadia. Ayah dan Bunda-mu tidur duluan, ya. Kau juga harus tidur, dan oh tolong beritahu kamar kosong yang disamping kamarmu kepada Niall.” Titah Ayah Nadia. Nadia menangguk cepat tanpa membantah, sudah kubilang sebelumnya Nadia adalah gadis baik, polos, dan bahkan penurut. Ia rela melakukan apapun untuk orang terdekatnya.
Setelah kedua orang tuanya pergi meninggalkan Nadia dan satu lelaki asing yang memegang gitar. “Maaf, tuan. Aku melamun, mari aku antarkan ke kamarmu.” Nadia berdiri dari duduknya, diikuti oleh lelaki yang bernama Niall. Nadia tahu Niall adalah tamu, dan tamu harus diperlakukan dengan baik. Begitulah yang diajarkan Ayah dan Bunda-nya.
Saat mereka berdua menelusuri lorong kecil di rumah Nadia. Niall batuk untuk yang kesekian kalinya, membuat Nadia memberhentikan langkahnya kemudian mengalihkan perhatiaan pada tamunya. “Maaf, tuan. Kau baik-baik saja? Apa yang bisa aku bantu?” Tanya Nadia, menunjukan kekhawatiran.
“Cukup panggil Niall saja, namaku Niall Horan. Dan oh, suhu tubuhku memang berubah naik disaat yang seperti ini. Disaat badai salju datang, seharusnya aku berdiam dirumah tadi. Tapi ya, aku memang harus menemukan Ayah dan Bunda-mu terlebih dahulu.” Jawab Niall, yakin.
Pun Nadia menyentuh kening Niall, sangat panas. “Apa yang kau rasakan sekarang?”
Niall mengernyitkan dahi, “Aku kedinginan, Nadia. Jangan bertanya lagi, aku mohon. Aku perlu istirahat.” Pinta lelaki itu dengan baik. Nadia mengerti, Nadiapun mengaitkan tangannya pada tangan Niall kemudian membawa lelaki itu ke dalam kamar. Bukannya ia tidak sopan, tapi, ia tidak mau Niall jatuh pingsan.
“Pantas saja, Bunda menyuruhku untuk membersihkan kamar lama kakakku. Ternyata, kau adalah tamunya.”
Dalam keheningan, Nadia merasakan bahwa suhu tubuh Niall semakin panas tapi, Niall sendiri mengigil. Ia sendiri yang tidak cukup tahu-menahu tentang kesehatan, akhirnya Nadia membantu Niall untuk tidur setelah mengompres Niall.
“Ini kamar kakakmu? Lalu dimana dia?”
Raut wajah Nadia berubah sendu, “Dia meninggal karena kecelakaan setahun yang lalu. Jadi, kamar ini milikmu sekarang.” Jawab Nadia, fikirannya melayang pada kakaknya yang sangat ia cintai itu. Kakaknya yang selalu setia menemaninya, namun sekarang Nadia tahu bahwa kakaknya yang bernama Zayn Malik itu tengah bahagia diatas sana.
“Maaf.”
“Tidak apa, aku bahkan tidak sedih lagi. Aku tahu kakakku itu bahagia disana, kau tenang saja Niall. Dan oh, apa kau sudah agak baikan?”
“Aku kedinginan, Nadia.” Ucapnya sambil menarik selimutnya sampai dada, aku yang duduk ditepi ranjang hanya bingung harus melakukan apa untuk lelaki yang baru dikenalnya beberapa menit yang lalu. “Nadia, bisa kau peluk aku? Hanya sampai suhu tubuhku menurun dan aku tidak kedinginan.” Pinta lelaki itu.
Nadia mengalingkan pandangan kearah lain. Gitar usang milik Niall bersandar rapih didekat lemari. Ya tuhan, barusan Niall meminta untuk dipeluk? Nadia semakin bingung. Harus kah?
Nadiapun memutari sisi tempat tidur, ia naik keatas ranjang. Niallpun mendudukan dirinya, bersandar di puncak tempat tidur, kedua tangannya ia buka untuk menyambut Nadia. Nadia diam sejenak, selama sepersekian detik ia mengangguk dan langsung memeluk Niall Horan. “Apa kau merasakan kedinginan?” Tanya Nadia, ragu-ragu.
Niall tidak menjawab malah lelaki itu semakin mengeratkan pelukannya. Entah kenapa, Nadia merasa ingin untuk menghangatkan tubuh lelaki itu meskipun ia baru bertemu namun, Nadia sudah sangat nyaman berada dipelukan Niall. Rasanya seperti sudah mengenal Niall selama berabad-abad.
“Tidak lagi. Aku hangat, terima kasih telah menghangatkanku. Badai salju memang selalu merusak hariku. And, I’m so happy when we’re cuddling in the storm night like this, it's beautiful.”
Dan saat itu juga, keduanya merasakan jantung mereka memompa dua kali lebih cepat dari sebelumnya. Apa artinya semua ini?
* * * *
Halo Nadia. aku baru bikinin kamu nih, maaf nunggu lama. dan semoga kamu suka ya(:
vomment (7+ ill update the next chap) yall x
YOU ARE READING
Daydreamer ⇨ Random One Shot{s}
Fanfiction{Request closed for a while. One condition: Follow me:)} ❝Daydreaming is okay, even better if you can make some lasting memory out of it.❞ [©hemmingsstagram]
