Bully [Horror] // Niall Horan

417 26 23
                                        

Aku mendatangi tempat yang benar-benar membuatku muak. Bau obat-obatan selalu menusuk rongga hidungku, dan aku benci itu. Andai saja aku bisa merengek pada ibuku untuk cepat-cepat pergi dari sini. Namun, itu tidak mungkin sebab ibuku yang memintaku kesini untuk menjenguk salah satu temanku yang masuk rumah sakit beberapa hari yang lalu.

Dikarenakan aku tidak ikut bergabung menjenguk Elisha dengan teman-teman sekelas, jadi ibu membawaku secara paksa kesini. Keluarga kami memang selalu membuat peraturan seperti; mengunjungi kerabat yang sedang sakit atau bahkan, makan siang tanpa bersuara sedikitpun. Ya, keluarga Horan memang memiliki perbedaan tersendiri. 

Aku menelusuri lorong-lorong rumah sakit, celingak-celinguk mencari nomor kamar yang dituliskan diatas selembar kertas yang sedang ku genggam. Ibuku mungkin sudah terlebih dahulu sampai di kamar rawat Elisha, sebab aku harus membeli parsel terlebih dahulu dan menyuruh ibuku untuk mendahuluiku.

Traumaku akan rumah sakit masih melekat pada diriku. Aku bergidik dikarenakan suhu-suhu dirumah sakit berubah menjadi sangat dingin, tidak seperti sebelumnya. Akupun kian mempercepat langkahku, katakan aku pengecut, tapi aku tidak ingin lagi untuk mengalami hal-hal yang diluar kendaliku saat aku berumur tujuh belas tahun. 

"Horan."

Suara serak nan dalam itu menyebut namaku. Tidak, itu bukan ibuku atau Elisha. Itu orang lain, selain kedua orang itu siapa lagi yang tahu namaku? Astaga, bahkan sekarang aku tidak bisa meneruskan langkahku. Terpaut dari kamar yang Elisha, yang masih jauh dari sana. Tuhan atau siapapun tolong aku! Bantu aku agar kakiku bisa berjalan seperti sedia kala.

"Horan."

Lagi-lagi suara serak itu memanggilku. Sebenarnya aku ingin sekali memutar badan dan melihat siapa yang memanggilku, namun rasanya tidak mungkin atau aku yang akan mati. Nafasku tercekat, aku tidak tahu bagaimana caranya bernafas untuk kali ini. Bahkan, tidak ada debaran jantung yang biasanya selalu kudengar disaat-saat aku sedang gugup. Bukan, ini bukan gugup. Aku ketakutan! Aku merasa mati rasa. Ya tuhan, aku ingin berlari sekarang juga. 

"Horan." 

Untuk yang ketiga kalinya lagi, akupun memberanikan diri untuk memutar badan. Ya tuhan...

Aku membelalak ketika melihat Elisha berjalan-jalan sendiri di lorong, mana lagi penampilannya yang kacau balau. Darah di sekitar pergelangan tangannya serta luka bekas cutting yang belum kering sepenuhnya. Aku bergerak maju mendekatinya, “Are you okay, Elisha? Mengapa kau tidak berada dikamarmu?” Tanyaku, hati-hati. Aku cukup tahu bagaimana Elisha, ia suka di bully oleh teman-temanku. Meskipun, mereka menjenguk Elisha hanya semata-mata untuk mengikuti perintah wali kelasku.

“Horan, aku lupa dengan kamarku. Sewaktu aku berjalan-jalan tadi, aku tersesat.” Jawabnya.

Aku mengernyitkan dahi, sejenak aku melihat kearah luka dipergelangan tangannya tapi, begitu Elisha menyadari kalau aku memperhatikan luka itu segera aku memalingkan pandangan kearah wajah Elisha yang pucat pasi. “Mari aku antarkan kekamarku. Aku dapat nomor kamarku dari ibuku tadi.”

Elisha tidak menjawab. Akupun bergerak maju dan mensejajarkan langkahku dengan langkah Elisha. Tidak lupa aku merangkul tubuh gadis itu agar tidak jatuh sebab ia masih sakit. Aku tidak tahu pasti apa penyakit yang diderita Elisha sekarang, aku juga tidak tahu apa nama rumah sakit menyeramkan ini. Aku tidak begitu perduli tentang itu semua, yang terpenting sikapku pada Elisha semata-mata karena pertemanan kami.

Sesampainya di kamar Elisha. Semuanya sama buruknya dengan gadis itu, kamar yang berantakan. Bantalnya ada dibawah tempat tidur, televisi yang menyala namun tidak menampilkan gambar apapun, darah yang bercucuran akibat cutting juga meninggalkan jejak di atas tempat tidur Elisha.

Daydreamer ⇨ Random One Shot{s}Where stories live. Discover now