Freiheit

2.7K 171 0
                                    

"Miriam, Tunggu!" jerit Erik yang berlari mengejarku. "MIRIAM!" jeritnya lagi dengan suara yang jauh lebih keras.

Aku berbalik dan mendesis galak kepadanya. Suaranya bisa membangunkan seisi kota. Kalau sampai itu terjadi, semua yang kulakukan hari ini akan sia-sia.

"Diam, Erik!" desisku sambil mengayunkan tangan untuk menyuruhnya pergi. "Jangan ikuti aku!" 

Aku tidak bisa berharap Erik akan melakukan apa yang kuperintahkan. Seperti yang kuduga, Erik tetap berjalan mendekat, kemudian berlari kecil. Apa yang harus kulakukan? Berdebat dengan Erik bukan saat yang tepat saat ini. Waktuku sangat sedikit.

"Aku tidak mengikutimu. Aku melarangmu pergi."

"Kau tidak punya hak untuk melarangku." Aku menatapnya penuh kekesalan. Seluruh tubuhku bergetar sekarang. "Aku akan menemui Mike," tegasku dengan kesungguhan.

"Menyebrangi Antifascistischer Schutzwall? Du Dummkopf!" Erik membelalak. Wajahnya berubah menjadi merah keunguan. "Demi Amerika itu?" Erik meludah ke tanah. Padahal, tadinya kupikir dia akan meludahi wajahku seperti yang biasa dilakukannya.

"Aku akan meninggalkan neraka ini dengan atau tanpa Mike."

"Kaupikir mereka mempercayaimu? Kaupikir Amerika itu peduli padamu? Dia hanya ingin informasi, Miriam. Mereka akan menendangmu ke penjara begitu keluar dari sini."

"Penjara pasti lebih baik dari tempat kejam ini," ucapku ketus. Kuharap Erik melihat bagaimana aku membenci setiap senti di kota ini. Kuharap dia sadar kalau aku sudah muak dengan berbagai macam alasan untuk membunuh di dalam kota ini.

Erik menjambak rambutku. Kueratkan geligi agar tidak menjerit. Tapi, Erik menyentak dan menyeretku ke jalan pulang. Dia sama sekali tidak peduli tubuhku tergores tanah berbatu. Aku menahan jeritan sekuat tenaga.

Tekad itu sudah bulat. Aku akan tetap menyeberangi Antifascistischer Schutzwall dengan cara apapun.

Diam-diam, kukeluarkan pisau lipat dari balik jaket. "Entschuldigung, Erik," ucapku sambil menyayatkan pisau ke pergelangan tangan Erik. Dia menjerit dan berbalik. Dengan sebuah gerakan cepat, kusayatkan lagi pisau itu ke lehernya. Darah menyusup keluar dari bekas luka yang ditutupinya dengan telapak tangan. Darah itu keluar juga dari mulutnya, membanjir seperti muntahan yang sangat hitam.

Aku berbalik. Tidak ada waktu untuk menonton Erik yang sekarat. Sudah kubilang padanya untuk pergi. Tidak ada yang bisa menghalangiku, tidak juga kakakku.

Setelah melihat ke sekitar, aku kembali berlari menuju tembok sialan itu.

Mike tidak bohong. Lubang yang dibuatnya untukku tertutup dedaunan kering. Kususupkan tubuh melewati lubang sempit itu. Berhasil! Aku bisa mencium aroma segar kemerdekaan di luar tembok ini.

Aku berlari secepat mungkin. Nyala api rokok sudah terlihat jelas, tanda dari Mike. Dia benar-benar menungguku. Dia membawakan kebebasanku.

"Fraulene!" jerit seseorang di belakangku. Aku berpaling. Seorang laki-laki berdiri dengan senapan di tangannya, membidikku. Simbol merah NAZI terlihat mencolok di lengannya. Bagaimana mungkin mereka mengikutiku sampai ke sini?

Sebuah letusan terdengar memecah sunyinya malam. Kurasakan rasa panas di dadaku saat terlempar ke belakang. Laki-laki itu berlari pergi. Aku menggeliat di tanah mencari kekuatan terakhir untuk tetap berlari. Aku akan menemukan kebebasanku. Aku akan menemukannya di sini bersama Mike.

Suara sepatu terdengar renyah di atas tanah. Samar kulihat wajah tampan Mike sebelum semuanya menjadi sesunyi keabadian.

***

Keterangan :

Antifascistischer Schutzwall : Tembok antifasis/sebutan untuk tembok Berlin pada masa itu

Du Dummkopf: Bodoh

Entschuldigung: maaf

Fraulene: Nona

Freiheit: Kebebasan

Lady in Love (Completed)Where stories live. Discover now