#5 Sakha

2.3K 342 13
                                    

#5

Sakha's POV

Gue sempet ragu untuk masuk ke tempat Sahara selama masih hujan deras. Tapi bisikan setan jauh lebih kencang dari teriakan malaikat. Alhasil gue buntutin Sahara ke unitnya sambil nahan diri buat gak macem-macem di dalam sana. Cuaca sama keadaannya pas banget buat seorang jomblo yang kesepian kayak gue untuk guling-gulingan di bawah selimut sambil mainin sesuatu.

Ninetendo maksud gue.

"Duduk Kha, mau minum apa? Ada kopi sama teh kalau mau yang anget-anget, susu juga ada sih."

Mau berduaan sama kamu aja boleh gak? Kayaknya bakal lebih anget. Tapi bukan itu yang gue ucapkan.

"Eh gak usah deh, ngerepotin amat."

"Kalau gitu aku ganti baju bentar ya, nyalain aja TV-nya kalau bosen, kopi sama teh ada di rak nomer dua dari kiri, air panasnya tinggal ambil di dispenser kalau mau ya, jangan malu-malu," Sahara beranjak ke kamarnya meninggalkan gue sendirian di ruang tengah.

Beneran nih ga perlu malu-malu? Hehehe.

Unit Sahara terlihat mungil dibanding tempat gue. Cuma ada dua kamar dan satu kamar mandi di luar. Ruang tengah hanya dibatasi dinding tak kasat mata dengan dapur dan meja makan. Kayaknya ukuran segini terlalu sempit gak sih buat 2 orang dewasa dan 4 anak-anak? Mungkin bakal dijadiin tempat berduaan aja kalau mau honeymoon bulanan tanpa ada gangguan anak-anak.

Oke gue mulai mikir ngaco.

Daripada pikiran gue yang menjelajah kemana-mana mending raga gue yang gue gerakin biar gak encok. Gue mulai mengangkat bokong dari sofa empuk bunga-bunga menuju sisi tembok yang dipadati frame-frame menarik. Layaknya wall of fame, sepertinya Sahara memang mempersiapkan sisi ini khusus untuk memajang kenangan-kenangan yang telah diabadikannya.

Banyak foto yang Sahara gantung di sana, mulai dari foto pornonya dia pas masih bayi sampai foto Sahara lagi pakai toga wisuda. Sahara sepertinya suka traveling, kebanyakan foto-fotonya berada di sebuah bangunan iconic suatu negara. Sampai gue menyadari kalau foto-fotonya gak sendiri. Ada seorang pria yang selalu nampak di beberapa foto tersebut dengan pose mesra bersama Sahara. Gak usah gue deskripsikan lagi apa arti kata mesra, yang jelas foto tersebut bukan buat konsumsi anak dibawah 17 tahun.

Oh jadi ini yang namanya Junaedi.

Gak lebih ganteng dari gue kok tenang aja. Tapi dada gue agak nyesek ya ngeliat kenyataan bahwa dulu Sahara pernah bahagia sama pria tersebut.

"Ehem."

Deheman pelan dari belakang bikin gue kaget. Ternyata Sahara udah selesai mengganti kemeja dan celana jeansnya jadi kaos longgar dan celana training. Kenapa gak tanktop sama hot pants aja sih nduk. Kan, gue mulai ngaco lagi.

"Eh udah selesai?" kok gue jadi canggung gini ya.

Sahara mengangguk menyuruh gue pergi dari sisi itu. Gue nurut dan memilih duduk di meja makan saat Sahara menuangkan segelas teh panas buat kami. Sampai detik itu tak ada yang mulai membuka mulutnya. Termasuk gue yang tiba-tiba aja kicep abis lihat betapa mesranya foto-foto Sahara sama mantan kekasihnya itu.

"Sayang kalau foto-fotonya diturunin," ujar Sahara tanpa aling-aling sambil menyodorkan cangkir teh imut motif kembang-kembang. Seakan dia tahu apa yang lagi bersarang di benak gue.

Mbak, kamu bisa baca pikiran ya?

"Your heart is still filled with that guy, huh?" entah kenapa malah pertanyaan bodoh itu yang meluncur dari mulut gue dengan nada yang kelihatan banget cemburunya. Bego.

Shaka bego, tolol, dan fix banget otaknya ketuker sama ari-ari. Pasti yang dikubur nyokap waktu gue berojol itu bukan plasenta, melainkan otak gue, sehingga gue gak bisa ngontrol mulut sama sekali di depan Sahara gini.

Sahara diam. Dia memilih nunduk dan memainkan sendok teh yang ada dalam cangkirnya.

"Ra..."

Wanita itu makin menundukkan kepalanya dan setitik air mata baru saja meluncur dari pipi mulusnya.

Mampus. Belum jadi pacar aja udah bikin nangis anak orang. Bisa digampar sama bokapnya ini mah.

"Eh Ra..." gue segera menarik dia ke sofa ketika tangisnya mulai pecah.

"Cup cup," gue menarik dia ke dalam pelukan dan membiarkan dia membanjiri kemeja gue sambil perlahan gue tepuk-tepuk pundaknya yang naik turun.

Haduh, gue kudu gimana?

"Susah Kha... susah..." suara tertahan Sahara terdengar dari dalam pelukan gue, dia masih menangis dan mencoba menjelaskan sesuatu pada gue. "Sekeras apa pun aku usaha supaya si berengsek itu keluar dari pikiranku, itu gak akan berhasil. Banyak banget kenangan yang dia tinggalin di pikiran aku. Huhu. Udah dua tahun dan aku masih gini-gini aja Kha, sedangkan dia bebas nidurin cewek-cewek di luar sana."

Eh? seberengsek itu kah Junaedi? Pengen gue jotos kalau ketemu. Dimana sih otaknya bisa nyia-nyiain cewek macem Sahara gini? Kalau gue kan udah ketauan ketuker sama ari-ari, lah dia? Jangan-jangan dari lahir udah gak punya otak tuh manusia.

"Semua orang pasti pernah patah hati Ra, kamu gak sendirian kok di dunia ini," ujar gue sok bijak.

"Tapi kenapa cuma aku yang lemah banget kayak gini Kha..."

"Karena kamu belum menemukan kekuatan buat kembali bisa ngisi puzzel yang kosong itu Ra, sekarang hancuri aja semua kepingannya dan mulai dari awal lagi menyusun puzzel yang baru. Kamu juga gak bisa maksain segitiga ngisi jajaran genjang yang kosong itu kan?"

Gue ngelantur apa sih.

"Udah yuk cup cup."

Sahara masih nemplok di dada gue dan gak mau menampakan wajahnya.

"Ra, mau aku bantu hancurin puzzelnya gak?" tanya gue akhirnya, "Jangan takut buat minta bantuan orang lain kalau kamu engga bisa."

Wajah Sahara naik turun dalam pelukan gue. Gue mencoba menjauhkan diri dan mendorong bahu Sahara agar gue bisa melihat wajahnya.

"Girl, air mata kamu terlalu berharga buat nangisin cowok seberengsek itu."

"Huhuhu."

Gue menyeka air mata yang mengalir di kedua pipi mulus Sahara.

"Aku tawarin sekali lagi ya Sahara, kamu bersedia gak aku yang bantu untuk ngehancurin puzzelnya dan kita bikin ulang sama-sama?"

Sahara menggigit bibirnya mencoba menahan tangis yang sebenarnya masih ingin meluap itu.

Damn! Dia hot banget, even dalam keadaan nangis gitu. Rambutnya acak-acakan dan wajahnya memerah. Pake gigit bibir segala pula. Astaga tuhan, gue beneran udah kelaman jomblo kayaknya.

Dia menangguk perlahan.

"Good girl! Udah jangan nangis lagi, kalau masih nangis juga aku cium nih."

Lucky me, Sahara masih menyisakan sesegukannya di akhir yang gue masih bisa anggap sebagai tangisan.

Gue mendekatkan bibir gue ke bibirnya. Kemudian mengulum beda tersebut sampai tangisan Sahara benar-benar reda. Sahara gak menolak ciuman yang gue berikan namun tidak juga membalasnya. Kurang ajar gak sih gue? Anak orang lagi nangis malah gue cipok. Untung gue gak digampar.

Cukup lama gue cium dia, tapi gue masih ngerasa kurang.

Haha.

Ini beneran efek kelaman jomblo.

"Mau nangis lagi gak? Kalau mau aku seneng banget sih."

Dan Sahara melemparkan bantal sofa ke muka gue.

"Gitu dong, jangan nangis lagi ya cantik, kalau kesel pukul aja akunya gak papa."

It Starts With Broken HeartWhere stories live. Discover now