Sam

4.1K 348 18
                                    

Beam masuk ke dalam ruangan. Beam melihat di sana ada beberapa teman pasien. Beam akan memeriksa pasien, jadi dia harus menyuruh yang lain selain pasien ke luar.

"Selamat siang, saya dokter Beam. Saya minta maaf karena mengganggu kalian, tapi saya harus memeriksa pasien. Jadi saya harap..." Beam mencoba sesopan mungkin meminta semuanya ke luar, tapi Gump yang tengil memotong perkataannya.

"Ke luar! Ya, ya. Kita mengerti dokter. Dokter imut sekali," seru Gump tanpa malu mengatakan itu pada Beam sambil cengengesan, membuat Pete dan Zee memukul pelan kepalanya.

"Gump, sopanlah sedikit. Maafkan dia dokter, dia memang tengil. Ayo ke luar! Dokter Beam... silahkan lakukan pekerjaanmu," timpal Pete sembari menyeret Gump dan Zee keluar. Beam hanya mengangguk dan tersenyum.

"Keluarlah! Aku akan baik-baik saja." Kali ini Forth yang bicara pada Melon.

"Em..." Melon mengangguk seraya mencium pipi Forth.

Semuanya sudah ke luar. Kini hanya ada Forth dan Beam di dalam ruangan itu. Forth mematung, matanya sibuk memperhatikan Beam dari bawah lalu ke atas dan berhenti di matanya. Beam mengerutkan kedua alisnya dan memainkan kedua bola matanya.

"Kenapa anda tidak berbaring saja, Tuan Forth." Beam yang sadar dirinya sedang dipandang oleh kedua mata indah milik pasien pria kekar di depannya itu, mencoba mengalihkan pandangannya. Forth masih membisu.

"Baiklah. Saya akan mengukur suhu tubuhmu dulu." Beam langsung memasukkan thermometer ke dalam mulut Forth yang memang sedang terbuka karena melongo. Dan ini membuatnya terkejut. "Lebih baik dari kemarin. Anda hanya tinggal menunggu jahitannya kering untuk pulih." Beam melihat hasilnya, tapi dia bingung. Dia salah tingkah, kenapa pasiennya terus memandanginya seperti orang bodoh dan tidak menjawab apapun.

"Maaf. Sebenarnya apa yang anda pikirkan? Apa yang anda lihat?" Dengan berani Beam mengeluh pada pasiennya, tapi Forth hanya berkedip tanpa bersuara.

"Baiklah, saya harus pergi." Beam menyerah dan membalik membelakangi Forth.

"Tunggu, dokter!" Akhirnya Forth bersuara.

"Ada apa, Tuan?" Beam membalikkan tubuhnya menghadap Forth.

"Apa kau dokter yang sama. Apa kau dokter yang kemarin?"

"Tentu saja. Kenapa? Apa ada masalah?"

"Tidak, aku hanya ingin mengucapkan terimakasih☺."

"Untuk apa, Tuan?"

"Karena telah merawat lukaku. Sekarang aku sudah lebih baik."

"Tuan Forth tidak perlu seperti itu. Aku hanya melakukan pekerjaanku."

"Tapi aku senang kau merawatku."

Beam kebingungan dibuatnya. 'Kenapa dia sangat aneh,' gumam Beam dalam hatinya, dengan wajahnya yang terasa memerah.

"Saya pergi dulu. Nanti perawat bernama Nam akan ke sibi mengantarkan beberapa obat. Anda harus meminum semuanya, lalu beristirahat." Beam berusaha bersikap normal sebagai seorang dokter di hadapan Forth. Tapi berbeda dengan hatinya.

-Beam POV-

Aku mengecek data-data pasien yang masih dirawat di berkas administrasi, pasien yang tertembak itu bernama Forth. Aku masuk ke dalam ruangannya, tapi kupikir aku salah waktu. Karena kulihat di dalam ada beberapa teman pasien. Tiga orang pria dan satu orang wanita. Dua duduk di samping pasien dengan tangan yang tidak lepas memegang nya. Mungkin wanita itu kekasihnya.

Aku berusaha mencari kata-kata yang sopan untuk memberi tahu mereka, bahwa mereka harus ke luar sebentar. Tapi salah satu dari mereka sepertinya mengerti. Seorang pria berkacamata memakai anting, menyelah perkataanku saat aku hendak menyuruh mereka ke luar. Aku tidak marah, tapi satu yang membuatku heran adalah saat dia bilang aku imut. Sebenarnya bagian mana di diriku yang disebut imut. Aku tidak memperdulikannya, karena dia bukan orang pertama yang menyebutku imut.

"Keluarlah, aku akan baik-baik saja." Perkataan Forth mengalihkan pandanganku dari ketiga teman prianya, yang berjalan keluar.

Wanita itu mencium pipi Forth, lalu dia pun keluar.

Ya. Sekarang aku yakin, wanita itu kekasihnya Forth. Eh, tunggu, kenapa aku memperdulikannya. 'Ayolah lakukan saja pekerjaanmu dokter Beam.' Aku bergumam dalam hati. Aku bersikap senormal mungkin di hadapannya, tapi kenapa dia memandangiku seperti itu. Dia pria besar tapi kenapa dia terlihat bodoh saat memandangiku. Maksudku... bukan besar berarti gemuk, tapi dia benar benar gagah dan kekar. Jika dibandingkan dengan tubuhku, rasanya aku tidak tahu harus bagaimana lagi cara menjelaskannya. Kupikir jangan-jangan dia orang selanjutnya yang akan mengatakan imut padaku. Oh, jangan sampai. Wajahku selalu merah jika ada lagi yang menyebutku seperti itu.

"Kenapa tuan tidak berbaring saja." Aku heran kenapa dia duduk. Saat ini dia seperti orang bodoh dengan mulut yang menganga dan malah terus menatapku. Aku risi. Aku berusaha melupakan pikiranku yang tidak jelas. Dia tidak menjawab apa-apa. Aku memasukkan thermometer ke dalam mulutnya yang menganga. Dia terkejut, tapi kenapa dia masih diam dan menatapku terus.

Setelah itu aku memutuskan untuk secepatnya pergi walaupun masih ada lagi yang harus kuperiksa darinya. Tapi aku akan menyuruh perawat saja melakukan pemeriksaan selanjutnya, sebelum aku dan dia sama-sama gila di ruangan ini.

Tapi tiba-tiba dia menghentikanku, dia bertanya apakah aku dokter yang sama yang kemarin merawatnya. Lucu sekali pertanyaannya, tentu saja. Mungkin kemarin dia hanya mendengar suaraku saja, karena matanya tertutup. Lebih anehnya lagi dia berterimakasih padaku karena telah merawatnya. Kenapa tidak, aku ini memang dokter, sudah seharusnya seorang dokter merawat pasiennya. Aku menganggapnya normal, seorang pasien berterimakasih pada dokternya. Akan tetapi yang membuatku bingung, saat dia mengatakan dia senang aku merawatnya. Astaga, ada apa sebenarnya dengan orang ini, kenapa dia sangat aneh.

"Saya pergi dulu. Nanti perawat bernama Nam akan ke sini mengantarkan beberapa obat. Anda harus meminum semuanya lalu beristirahat." Aku berusaha bersikap biasa, tapi kenapa malah jadi aku yang terlihat aneh.

Dengan cepat aku langsung berjalan menuju pintu untuk keluar. Saat aku akan menutup pintu, entah mengapa aku ingin menoleh ke arahnya. Benar-benar sangat jelas aku melihatnya tersenyum lebar padaku. Refleks aku juga membalas senyumannya. Ada apa denganku kenapa jantungku kencang sekali berdetak, tidak seperti biasanya. Tidak, tidak mungkin. Dia pria, aku juga pria. Dia juga punya kekasih yang cantik.

Aku yakin setelah ini, aku tidak akan sanggup lagi pergi ke ruangannya. Aku takut dia akan melakukan hal yang lebih dari sekedar menatapku.

"Em... Nam. Sudah waktunya pasien bernama Forth makan dan meminum obatnya. Bisakah kau mengantarkan ke ruangannya?" Aku bertemu perawat Nam saat sedang berjalan memikirkan setiap detik kejadian tadi.

"Ah, iya, tentu saja, dokter." Nam tersenyum.

"Pastikan dia makan dan meminum obatnya dengan segera Nam. Dan, ya, tolong kau periksa infus dan tekanan darahnya," lanjutku.

"Apakah dokter sedang memperhatikan tuan Forth dari jauh? Hehe... dan bukankah baru saja dokter dari ruangannya? Kenapa harus aku yang memeriksanya? Jadi kalo dokter tidak memeriksanya, apa saja yang dokter lakukan dari tadi?" Nam sangat penasaran apa yang sebenarnya terjadi.

"Nam, kenapa kau banyak bertanya, kau mau melakukannya atau tidak?" Aku mengalihkan maksud pertanyaannya.

"Aw... baiklah, baiklah, Dokterku. Kalo sudah saatnya mungkin kau akan bercerita padaku nanti."

"Ai'Naaaam..." Nam sudah berlari menghindari kejengkelanku. Nam adalah adik sahabatku. Kit. Jadi aku sangat akrab dengannya dibanding dengan perawat-perawat yang lain.

Bicara tentang sahabatku Kit. aku dan Kit satu angkatan saat kuliah, di universitas dan di jurusan yang sama. Tapi kita ditempatkan di rumah sakit yang berbeda. Bagusnya, Nam, adik kandung Kit yang lulusan keperawatan ditempatkan di rumah sakit yang sama denganku sebagai perawat. Jadi aku tidak kesulitan untuk mengetahui kabar Kit darinya.

Kembali lagi ke kegelisahanku tentang pria maskulin itu. Forth. Kenapa aku jadi pusing memikirkannya, kenapa aku tidak marah saat dia menatapku, kenapa aku memperdulikannya. Saat dia bilang dia senang aku merawatnya, aku menyebut dirinya aneh. Tapi kenapa sekarang justru aku yang aneh karena mendengarnya, apa maksudnya dari kata senang yang dia katakan. Aku begini karena sebelumnya pasien-pasienku yang lain hanya mengucapkan terimakasih padaku tidak ada selebihnya. Aku harus bagaimana bersikap padanya agar terlihat biasa.

Heheeeee nanti di lanjut lagi😄😄✌

VULNUS (It's Fate) Where stories live. Discover now