1. Korban Selamat

8.3K 550 48
                                    

Aku menoleh, mendapati Reno memegang pundakku. Lega melihatnya, aku terduduk lemas di aspal dingin.

"Kenapa?" tanyanya.

Aku mendongak, melihat Reno yang sudah jongkok di depanku dengan tatapan bingung. "Aku... pikir... aku... akan... mati." Terbata-bata aku berkata sambil mengusap air mata di pipi.

Reno menoyorku. "Cengeng!" Hanya satu kata itu dan aku berhenti menangis.

Sambil menepis tangannya, kucoba menjelaskan, "Kau tidak melihat pembunuhan di sana, jadi tidak akan mengerti ketakutanku. Ah iya, cepat hubungi polisi. Di sana ada pembunuhan."

Reno tampak terkejut dalam beberapa detik, lalu mengerutkan kening, seolah tidak yakin dengan ucapanku. Walau tampak enggan, dia tetap mengeluarkan ponsel. "Jalan Lily dekat gang sempit, yang diapit dua gedung kosong.... iya.... aku juga tidak mengerti. Datang sajalah... oke."

Aku bernapas lega, sekaligus bingung. Mengapa Reno bisa di sini?

***
Senin, 02 Januari

Saat kubuka mata, hamparan langit-langit berwarna putih mendominasi penglihatan.

"Dia sadar."

"Oh, syukurlah."

"Cepat, panggil dokter!"

Kulihat samar beberapa wajah asing di ruangan ini. Tidak ada Mama di antara mereka. Aku ingin bertanya, tapi mulut enggan terbuka, bahkan tubuh terasa kaku, sulit digerakkan.

Aku mencium bau obat-obatan dan melihat botol infus dekat kepala. Ini mungkin kamar rawat di rumah sakit. Aku melirik kalender besar di dinding sudah berganti tahun. Saat mencoba menerka yang terjadi, pandanganku mulai gelap.

●●●

Awalnya aku berjalan bingung di tempat gelap nan pengap yang membuat sesak, kemudian memilih berlari saat melihat sebuah pintu di ujung jalan. Aku menggapainya, lalu memutar knop. Ini sekolahku. Bangunannya besar dan kokoh dengan tiga lantai, beberapa pohon mawar tampak memenuhi taman di masing-masing depan kelas. Perlahan aku masuk, ternyata pintu tadi menuju atap sekolah yang menghubungkan koridor dengan tangga darurat. Herannya, kenapa aku bisa berakhir di tempat tadi? Yah, terserahlah, yang penting aku sudah bebas dari tempat sesak itu. Sambil memejamkan mata, kunikmati udara segar pagi ini.

"Hei! Sedang apa?" Seseorang langsung mengalungkan tangan kanannya ke leherku.

Aku membuka mata dan refleks menoleh ke kiri, ke pemilik cempreng yang khas ini. "Kau memanggilku 'Hei'? Tidak ada manisnya sama pacar sendiri," keluhku.
Dia melepas rangkulan. "Hahaha... iya maaf. Juju sayang, lagi apa?" Dia mencubit kedua pipiku.

"Jangan menghalangi jalan!" tegas seseorang, yang langsung memisahkan kami dengan menggeser badanku. Namanya Reno.

"Si Reno itu seperti kulkas. Sama sohib sendiri masih saja kaku. Aku heran kenapa kita masih setia jadi temannya," keluh pacarku, namanya Juna, yang kini menggandeng tanganku, lalu menyusul Reno.

Aku mengedikkan bahu. "Entah. Aku pun heran."

Dia berhenti berjalan. "Yang lebih heran lagi,"-dipegangnya kedua bahuku, lalu tersenyum-"kok, bisa ya, seorang Arjuna Dirgantara,-cowok paling famous, sang Ketua OSIS bewajah bagai idol K-POP ini,- punya pacar yang jelek seperti zombi didandani ala Jeng-Kelin?"

Her Dictionary [COMPLETED]Where stories live. Discover now