2. Teman Dekatnya

5.9K 468 21
                                    

Kepalaku mulai pusing lagi. Dugaan Wahyu masuk akal. Aku bisa saja membunuh mereka, tapi tidak ingat.

Walau statusku hanya saksi, bisa saja derajatku nanti naik jadi tersangka, lalu terdakwa dan malah berakhir sebagai terpidana. Terlebih tidak ada orang lain yang bisa disalahkan, bahkan Rahdila masih berstatus hilang. Aku khawatir dia sudah tewas dan dibuang di suatu tempat, atau parahnya, wanita yang kulihat saat itu benar-benar dia. Kalau sudah begitu, dugaan aku sebagai pembunuh Reno akan semakin kuat. Bahkan aku bisa dituduh membunuh Rahdila juga. Tidak ada saksi atau bukti konkret kalau yang kusaksikan malam itu adalah pembunuhan seorang wanita. Ah, ada. Kamus itu. 

Jika aku bisa membuktikan bahwa kamus itu nyata, bukan imajinasi seperti kata Wahyu, kesaksianku akan semakin kuat. Kalau begitu, aku harus menemukan kamus terlebih dahulu. Pasti ada sesuatu di dalamnya, sampai wanita itu rela membawanya meski nyawanya dalam bahaya. Atau lebih bahaya lagi kalau ternyata si pembunuh menginginkan kamusnya sampai tega membunuh wanita itu. Kalau kuingat lagi, wanita itu juga menyuruhku menyembunyikannya, dan si pembunuh sempat merogoh gaun untuk mencari sesuatu. Sepertinya tepat jika aku tidak menceritakan ingatan baruku tadi.

“Ada apa? Anda mengingat sesuatu?” tanya Wahyu.

Aku menggeleng. "Tidak."

“Apa Anda tidak ingat sama sekali kalau Reno punya pacar? Mungkin Anda juga baru tahu malam itu.”

Pertanyaan Wahyu itu sangat menyebalkan. Harus berapa kali kubilang kalau Reno tidak punya pacar dan tidak akan pernah. Dia punya alasannya sendiri. Aku jadi ingat akhir semester kelas 2 kami saat di SMP.

●●●

Sore menjelang malam, kulihat Reno dalam posisi telungkup, sedang fokus mencoret kertas sambil mendengar musik dari headphone. Tidak ketinggalan sebotol besar susu sapi di dekatnya. Kertas berserakan memenuhi kamar minimalis itu, bahkan sampai menutupi tuts piano di pojok ruangan. Ini masa sibuknya, karena kami akan mengadakan konser amal bulan Juli nanti.

“Kau sedang apa?” Aku merutuki pertanyaan konyol barusan.

Dia menoleh dan menatapku datar. “Kau buta?” Dia kembali mencoret kertas.
Aku menyesal bertanya. “Tidak ke tempat kursus musik?”

Reno menatapku kesal. “Kau bodoh ya? Kalau aku pergi latihan, tidak mungkin sekarang ada di kamar.” 

Ya Tuhan... Aku hanya mencoba mengobrol dengannya. Memilih pergi dari jendela, tapi dia malah menghentikanku dengan kalimat aneh.

“Tetap diam di sana! Inspirasiku sedang berkeliaran di ruangan ini. Kalau kau pergi, nanti dia ikut keluar.”

“Aku, kan, sudah menutup jendelanya kembali. Jadi inspirasimu tidak mungkin bisa keluar,” protesku.

“Ya sudah pergilah!” bentaknya.

Aku tersenyum melihat sifat Reno yang satu itu. Kembali aku berdiri di dekat jendela sambil bertopang dagu di atas lipatan tangan. Aku suka menatapnya berkutat selama  dengan tumpukan kertas, lalu mendengarkan alunan pianonya. Kalau mood sedang baik, biasa Reno memintaku ikut bernyanyi. Ya, hanya dari jendela. Tidak pernah dia mengizinkanku masuk ke kamarnya. Dia bilang inspirasinya tersebar di lantai dan seluruh ruangan, jadi aku bisa mengahancurkan jika menginjakkan kaki di sana. Padahal dia juga berjalan pakai kaki.

“Milk?” Aku terkadang memanggilnya begitu saat hanya berdua.

“Apa?” Dia tidak menoleh sama sekali, tetapi melepas headphone-nya.

“Tidak ada. Hanya ingin memanggilmu saja.” Aku tertawa melihat wajah kesalnya.
Senyumku menghilang kala mengingat kejadian kemarin. Seorang perempuan dari kelas sebelah menyatakan cinta kepada Reno dan ditolak. Ketika melihat gadis itu, rasanya aku juga ingin menyatakan cintaku.

Her Dictionary [COMPLETED]Where stories live. Discover now