Kata terakhirnya (3)

4.5K 395 17
                                    

Setibanya di rumah, Juna terlihat menungguku di depan pintu dengan sebungkus makanan. Kutebak isinya kacang telur dan nasi goreng pedas lagi.

"Dari mana saja?"
Aku mengabaikan dan masuk ke rumah, dia mengikuti.

"Setelah melewati Sungai, ada yang kau ingat?" Juna melemparkan asal tasnya ke keramik kamarku.

Aku menggeleng dan berjalan ke kiri ranjang, menyibak tirai yang menutupi papan tulis besar berisi data tekait kasus Reno. Mulai dari foto teman dekat Ila dan biodata lengkap mereka, waktu kematian Reno (yang kutulis tepat di bawah fotonya), tanda panah yang kugambar dengan spidol merah mengarah pada foto Ila--dan gambar kotak kosong yang berisi tanda tanya (tempat si pembunuh), menghiasi papan tulis ini. Dari foto Ila terlihat garis merah ke gambar Gabriel, Remi, dan tiga sahabatnya (ya, aku menuliskan nama Anggi pula kemarin). Dari foto Reno terlukis panah ke fotoku dan Juna. Di bawah fotoku, tertulis tanggal kejadian dan semua hal yang berkaitan dengan ingatanku.

Aku mengambil spidol lalu menuliskan nama Lucifer di bawah foto Gabriel, dan Alunan piano Fur Elise oleh Ludwig Van Beethoven di bawah namaku.

Terdapat pula peta Kota Binjai dengan beberapa tempat yang dilingkari menggunakan spidol biru, yakni sekolah lamaku, sekolah Ila, rumah Ila di Jalan Mawar, daerah gang sempit, mall, Kafe Star di Jalan Anjelir, rumah sakit dan Sungai Bingai.

Kupandangi sekali lagi papan tulis dan fokus pada 'alunan piano'. Makna 'ingat saat kita bernyanyi' di rekaman itu, mungkin nada Fur Elise yang dimainkan Reno pada konser amal 2 tahun lalu.

Setelah konser, aku dan Reno berjalan selama lima jam dari pedesaan ke pusat kota, akibat ditinggal rombongan di tengah perjalanan. Sebelumnya, aku minta berhenti dan berfoto dulu bersama Reno. Mereka pikir kami sudah naik mobil yang satu lagi, dan jadilah kami ditinggal. Nahasnya, ponsel kami ada dalam tasku yang terbawa mobil rombongan. Itu adalah lima jam paling berkesan bersama Reno. Kami bernyanyi dan tertawa seperti orang gila di jalanan sepi penduduk dan gelap. Hanya berjalan lurus ke depan, Reno sesekali merekam dengan kamera. Aku tidak mungkin melupakan itu.

"Kau sudah berusaha keras." Juna menepuk pelan bahuku. "Sekarang makan dulu, lalu minum obatmu, setelah itu istirahat." Juna mendorong bahuku hingga aku duduk di sofa.

"Apa menurutmu Gabriel pelakunya?"

Juna mengunyah nasi gorengnya pula. "Aku tidak tahu. Menurutmu apa niat dia membunuh Reno? Setahuku, si pembunuh malam itu tidak pernah berencana membunuh Reno. Kalau kau mengikuti intuisimu dengan menganggap dia cemburu karena Ila jadian sama Reno, bukannya itu jadi kontradiksi?"

Aku menghela napas. Juna benar. Pembunuh itu menusuk Reno karena aku membawa kamusnya. Kalau dia berencana membunuh Reno dari awal, seharusnya sudah dia pancing lebih dulu. Coba kuingat.

"Bukankah saat itu Reno izin pulang sebelum kita? Apa dia ditelepon Gabriel?"
Juna menggeleng. "Ayahnya yang menelepon, memintanya pulang karena Bunda sakit. Tapi satu jam setelahnya Reno keluar rumah dan bilang ada urusan sama kita."

"Aneh sekali. Dia tidak bilang apa pun kepadaku."

Juna memberiku tisu, dia mengusap bibirnya untuk menunjukkan mulutku yang belepotan saus. "Dia juga tidak bilang kepadaku. Reno tidak pernah terbuka dengan masalahnya. Aku tahu itu dari cerita Bunda saat pemakaman Reno."

"Iya, ya. Kau tidak mungkin tahu karena saat itu kau juga ditelepon abang iparmu." Juna tersedak sebelum aku melanjutkan kalimat. Aku memberinya air, tapi dia masih terbatuk. "Kau benar-benar ada di rumah saat kejadian itu terjadi, kan?"

Her Dictionary [COMPLETED]Where stories live. Discover now