3. Kata terakhirnya

4.7K 401 42
                                    

Aku membuka mata. Masih mengatur pernapasan yang tidak stabil. Masih menormalkan detak jantung. Masih berusaha meyakinkan diri kalau tidak sedang di aspal dingin itu.

“Sudah sadar?”

Aku menoleh ke sumber suara di kanan, sepertinya tidak asing.

“Saya Remi, Juni ingat?” Dia menyodorkan tisu.

Aku berkedip beberapa kali untuk meyakinkan penglihatan. Benar. Dia dokter Remi.

Remi mengusap peluh dan air mataku dengan tisu yang tidak kuterima. “Ini di rumah sakit. Windy dan Nisa yang membawamu tadi.” Dia membantuku duduk.

“Sekarang mereka di mana?” Aku menerima segelas air hangat yang disodorkannya.

“Nisa sudah pulang 15  menit yang lalu, kalau Windy sedang ke kamar mandi. Sebentar lagi kembali. Ada perlu yang lainnya?” Remi mengambil gelas yang telah kutenggak habis isinya.

Aku menggeleng lemah.

“Istirahatlah. Saya permisi.” Dokter itu tersenyum, lalu meletakkan gelas kosong di meja, kemudian keluar ruangan.

Aku mengamati jam dinding menunjuk pukul tujuh malam. Kuraih tas di kursi dekat brankar dan mengambil ponsel. Ada lima belas panggilan tidak terjawab dan dua puluh pesan yang kesemuanya dari Juna. Yah, mau dari siapa lagi? Kerabatku jauh di luar kota dan tidak ada teman yang dekat denganku dari sekolah lama.

Tidak berapa lama, Windy datang. Dia langsung memelukku. “Aku sangat takut tadi. Kau mimisan, keringatmu banyak sekali, muka pucat, baju basah terkena air, lalu kau terlihat sangat ketakutan, kau teriak sambil menutup kuping kemudian tidak sadarkan diri.”

Aku menepuk-nepuk punggung Windy. “Tenanglah. Aku baik-baik saja sekarang.”

Dia melepas pelukan dan menunjukkan ekspresi kesal. “Pingsan selama 3 jam, kau bilang baik-baik saja?”

“Kau berlebihan. Duduk dulu sini.” Aku menepuk tepi brankar, Windy menurut. “Diam sebentar, aku mau menghubungi Juna. Dia pasti khawatir.” Windy mengangguk.

J

una terdengar panik dan menanyakan keberadaanku yang tidak bisa dia hubungi seharian ini. “Aku di rumah sakit. Bisa jemput?”

Dia langsung memutus sambungan telepon, tanpa menjawab. Kutebak, dia sudah bersiap ke sini.

Windy berdiri. “Sepertinya Juna akan datang. Aku pamit saja.”

Aku menahan tangannya. “Tidak apa, kalau kau mau menemaniku juga.”

“Untuk jadi kambing congek? Tidak. Terima kasih.” Windy membungkuk, meraih tasnya di sofa. Dia memelukku lagi. “Jaga kesehatanmu, Ju. Kalau terjadi sesuatu hubungi aku. Oh, aku perlu nomormu.” Dia menyerahkan ponselnya dan aku mengetik nomorku. “Sampai jumpa besok.” Dia keluar kamar.

Aku menunggu Juna sambil mengingat semua informasi yang kudapat hari ini, tidak lupa mencatatnya dalam note. Aku tidak bisa mengingat apa yang dibisikkan Reno saat itu. Mungkin berkaitan dengan identitas si pembunuh.

Aku menekuk kaki dan membenamkan wajah di telapak tangan. Kupejamkan mata, mencoba kembali ke malam itu. Tapi selalu berakhir di saat Reno membisikkan sesuatu.

“Juju?”

Saat membuka mata, Juna sudah mendekapku dalam peluknya. “Kau kenapa?” Setelah cukup lama, dia melepas pelukan, masih terlihat khawatir.

Aku tersenyum. “Aku sudah baikan. Ayo kita pulang.”

“Tadi aku bertemu dokter Remi. Katanya, lebih baik kau di rumah sakit saja. Kalau sendirian di rumah, dia takut psikismu terguncang lagi. Kalau kau di sini, aku bisa menemanimu.”

Her Dictionary [COMPLETED]Where stories live. Discover now