Kata terakhirnya (2)

4.5K 411 23
                                    

Selasa, 30 Januari. Kelas.

Tadi Juna mengantarku sampai ke kelas, membuat heboh para gadis labil. Mereka sok care dengan menanyakan kesehatanku, padahal sedang cari muka di depan Juna. Semua kutanggapi ala kadarnya dengan senyum seadanya. Aku malas meladeni betina lapar yang haus perhatian. Bahkan ada yang ‘seakan’ tidak sengaja menyenggol Juna. Membuatku kesal saja.

Hari ini jam pertamanya adalah olahraga. Kami melakukan pemanasan dengan mengelilingi lapangan 2 putaran. Aku memang bisa berlari cukup cepat, tapi paska koma, tubuhku semakin mudah lelah. Nisa dan Windy sudah meninggalkanku. Mereka sangat semangat berolahraga, apalagi Nisa. Tampaknya ini bidang kesukaan mereka.

Selagi berlari, aku terus memikirkan hasil kode kemarin, membuatku hampir terjatuh. Untungnya seseorang memegang pinggangku.

“Hati-hati, Ju,” kata Gabriel sembari tersenyum.

“Terima kasih.”

“Bukan masalah.” Gabriel menyamakan ritme larinya denganku. “Kudengar, kau sakit.”

Apa dia selalu mengkhawatirkan orang lain dengan ekspresi datar?

“Yah, memang. Aku belum sembuh total.” Aku berhenti berlari, dia mengikuti. “Kudengar, kau selalu memegang medali dalam olimpiade matematika.”

Dia tersenyum kecil. “Yah, memang. Kita saingan?”

Intimidasinya cukup kuat tanpa terkesan mengancam. Aku tertawa pelan, lalu mengulurkan tangan. “Salam kenal, Sainganku. Mohon kerja samanya.”

Dia membalas uluran tanganku, tapi sedikit menarikku ke depan. Aku terkejut karena bibirku menyentuh bajunya. Aroma mint.
“Dengan senang hati,” bisiknya. Dia mengerling sambil tersenyum, kemudian berlari lagi.

Aku mengembuskan napas setelah menjauh darinya. Jantungku berdebar cepat, pipi terasa panas dan perut sedikit mulas. Ini pasti efek lari. Benar. Tidak ada hubungannya sama sekali dengan Gabriel.

Ah, perutku semakin sakit. Aku perlu istirahat.

Aku mendatangi guru olahraga yakni Pak Supri, dan meminta izin ke kelas. Bapak itu mengizinkan. Windy dan Nisa tampak khawatir, tapi aku meyakinkan akan baik-baik saja.

Aku ke kelas. Saat ini semua siswa sedang di luar, jadi ada waktu untuk membongkar tas Gabriel. Aku memang pernah merencanakan ini, beruntungnya kesempatan itu datang.

Setelah mengamati seisi kelas, aku beraksi. Isi tas Gabriel hanya buku pelajaran, ponsel dan dompet. Aku memeriksa dompetnya. Ada kartu pelajar, kartu nama seorang wanita bernama Linda Apriyani Silalahi, uang pecahan seratus ribuan sebanyak sepuluh lembar, fotonya bersama Ila, tiga kartu kredit, dan beberapa kartu member dari toko. Ada kartu nama Lucifer juga. Dia mungkin abang Gabriel kalau melihat belakang nama mereka yang sama. Dia seorang CEO di suatu percetakan daerah Medan.

Aku beralih ke ponsel Gabriel setelah memasukkan kembali dompet. Layar menampilkan foto selfinya bersama Ila. Terlihat seperti pasangan bahagia.

Aku berniat mencari informasi dari ponsel, tapi terkunci dengan Password. Kucoba menuliskan Gabriel, Rahdila, dan Lucifer, tapi gagal semua. Kucoba nama teman-teman sekelas, juga gagal. Aku menyerah. Sudah 15 menit kucoba.

Aku beralih ke kartu nama Lucifer. Sepertinya aku pernah mendengar namanya. Kucoba duduk tenang dan fokus. Aku menggumamkan terus nama itu sambil memejam. Beberapa saat kemudian, aku membuka mata. Tempatku berdiam telah berubah. Bukan lagi di dalam kelas.

“Di mana ini?”

Kulihat sekitar yang sangat gelap. Mataku seolah ditutup sesuatu yang menghalangi pandangan. Tubuh sulit digerakkan. Aku merasa sedang tergolek di atas ranjang empuk dengan bantal yang menyangga kepala. Sekuatnya, mencoba gerakkan tangan, tapi gagal. Aku yakin tanganku tidak terikat, tapi seakan sangat lelah dan lemah. Begitu pula anggota tubuh yang lain. Napas juga sesak dan penciuman tidak berfungsi.

Her Dictionary [COMPLETED]Where stories live. Discover now