Teman Dekatnya (2)

5.5K 438 33
                                    

Bel istirahat berbunyi, aku langsung didatangi beberapa siswa yang bersikap sok ramah. Mereka menunjukkan simpati tapi lebih banyak yang cuma mencari bahan gosip. Padahal aku ingin mendekati Gabriel, tapi pemuda itu sudah keluar kelas ketika kerumunan menyerbu meja kami. Di tengah sibuk membahas sekolahku dulu, dua gadis menghampiri dan membubarkan gerombolan. Ternyata aku mengundang perhatian teman dekat Ila.

“Hai.” Windy di kiri Nisa yang menyapa. “Mau kami temani keliling sekolah?”

Aku mengangguk dan mengikuti mereka.  
Selama berkeliling, Windy banyak bercerita mengenai sekolah, sementara Nisa menanyakan tentang teman-teman lamaku dan Juna. Aku tidak tahu kalau pacarku sangat terkenal. Nisa juga menanggapi cerita pada malam itu, yang menurutnya sangat menakutkan.

“Kau masih sanggup berlari saat pembunuh itu mengejarmu?” tanya Nisa dengan nada terkejut. “Kalau aku mungkin tidak akan bisa berdiri lagi.” Gadis itu bergidik ngeri.

“Katanya, kau melihat pembunuh itu berulang kali menusuk Reno, ya?” Windy bertanya pula, ekspresinya sama seperti Nisa.

Ceritanya benar-benar tersebar luas. Bahkan ditambahi bumbu.

“Kalau itu aku tidak ingat.” Aku tersenyum seadanya.

Percuma menjelaskan kepada mereka. Selain akan memakan waktu, aku juga tidak boleh sembarang cerita di tempat terbuka, apalagi di hadapan saksi yang ingin kutanyai. Nisa tampaknya tanggap, dia langsung mengalihkan pembicaraan dengan membahas tempat yang sering didatangi siswa saat jam istirahat.

“Bagaimana dengan kalian?”

Nisa memberiku air mineral, duduk pula di bangku taman depan lapangan basket, membuatku berada di antara mereka. “Kalau Windy seringnya ke kelas sebelah untuk memoles kuku anak-anak yang minta nail art. Padahal dia modus doang biar bisa melihat cowok keren.”

Windy tertawa. “Itu namanya sekali menyelam minum air. Selain cuci kantong, aku bisa cuci mata juga.”

Aku tertawa. “Cuci kantong? Peribahasa baru?”

Nisa menggeleng. “Maksudnya isi kantong, tuh. Dia dibayar untuk memoles kuku.”

Aku merangkul leher Windy. “Kau keren. Kau bisa jadi pebisnis hebat suatu hari nanti.”

Windy tertawa. “Tentu saja. Itu memang cita-citaku. Membuka toko nail art dengan banyak cabang sampai ke luar negeri.”
Nisa menghela napas. “Teruslah bermimpi, wahai calon Entrepreneur hebat. Tapi jangan kau jejali telinga Juni dengan rincian manajemen masa depanmu. Nanti dia bisa pindah sekolah lagi.”

Windy mengangkat kedua tangan sebagai gestur menyerah, lalu tertawa. “Baiklah, Nyonya Bijaksana.”

Aku melepas rangkulanku dan melipat kaki, kembali menatap siswa yang bermain basket. “Kalau Nisa?”

“Apanya?” Nisa bertanya tanpa menatapku. Matanya fokus melihat permainan basket Gabriel bersama beberapa lelaki dari kelas lain.

“Tempat favoritmu. Sudahlah, tidak usah dijawab, sepertinya aku tahu jawabannya.” Aku menyenggol lengannya, dia menatapku. Menaik-turunkan alis, kuarahkan dagu ke Gabriel yang tengah mengoper bola.

Wajah Nisa bersemu, mulutnya sedikit terbuka. “Apa yang kau pikirkan? Aku tentu saja membaca novel di perpustakaan bersama Ila.” Nada suaraya sedikit kesal.

Her Dictionary [COMPLETED]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora