"Lo-" "-Ve"

716 81 1
                                    

Seokjin pikir ketika Namjoon memberitahunya untuk menunggu itu hanya sekadar basa-basi. Tapi benar-benar diluar dugaannya, Namjoon hadir di hadapannya di depan pintu kamarnya, dengan membawa boneka miliknya, sebuket bunga, dan entah apa yang ada di dalam paper bag.

Bahkan belum sempat Seokjin membuka mulutnya, Namjoon sudah menyerangnya dengan pelukan erat. Tentu dia membalas, dia juga merindukan Namjoon.

"Jangan pernah melakukan hal seperti ini lagi, ok? Kau membuatku hampir mengirim diriku sendiri ke dalam rumah sakit jiwa." dan Seokjin bisa merasakan dirinya tertarik lebih dalam ke pelukan Namjoon.

Seokjin tersenyum. "Tidak akan pernah lagi, sudah cukup yang ini."

"Kenapa kau pergi?"

"Aku ingin membuktikan bahwa aku bisa hidup tanpamu."

"Dan kau bisa? Aku bahkan panik ketika kau sama sekali tidak menghubungiku."

Seokjin menggelengkan kepalanya. Dia bahkan lebih buruk dari Namjoon. Belum sampai di Madrid pun dia sudah merindukan Namjoon dan melihat wajah setiap orang berubah menjadi wajah Namjoon. Pertama kalinya dia seperti itu, bahkan ketika Namjoon pergi saja dia tidak seperti itu.

"Aku melihatmu dimana-mana. Itu menyiksa." bibirnya mencebik lucu.

"Tandanya kau mencintaiku, itu bagus. Ah, aku lapar, bisa masak sesuatu? Hehe.."

Seokjin berdecak. "Memangnya kemana 'pramugari' pesawat pribadi Taehyung?"

Namjoon melepas pelukannya dan menangkup pipi Seokjin. "Dia memecatnya. Kau tidak tahu? Jungkook cemburu setengah mati sampai dehidrasi parah karena 'pramugari' itu." dia menjawab. Setelah itu memberikan Seokjin kecupan ringan. "Masak untukku."

"Ya, ya.. dasar bayi besar."

'Bayi besar kesayanganku.'

.

.

.

"Tunggu di sini, jangan sentuh apapun karena aku tidak ingin dikenakan biaya berlebih karena kau merusak sesuatu di sini." telunjuk Seokjin menunjuk sofa putih. Namjoon menurut, dia mendudukkan dirinya di atas sofa itu.

"Kukira kau akan menikmati room service, ternyata kau masih memasak bahkan jika berlibur huh?"

Seokjin yang berada di dapur dan membelakangi Namjoon hanya mengangkat bahunya asal. Memangnya salah? Memasak itu bagian dari hidupnya.

Seokjin sibuk berkutat dengan peralatan dan bahan-bahan di dapur sampai tidak memperhatikan gerak-gerik Namjoon di belakangnya. Sesekali Seokjin akan menanyakan beberapa hal ringan dan Namjoon hanya akan bergumam sebagai jawaban. Itu membuat Seokjin kesal, tapi dia harus mengontrol pikirannya agar dia tidak celaka.

"Joon, duduklah di meja makan, makanannya hampir siap." piring-piring berisi makanan di depannya Seokjin taruh di atas nampan. Dia melakukan plating dan membawa nampan itu ke dalam genggaman jari lentiknya.

Seokjin memutar tubuhnya. "Joon-"

"Sayang.." itu Namjoon, bertekuk lutut di depannya dengan tangan yang menyuguhkan kotak terbuka berisi cincin dengan pink diamond yang selama ini Seokjin incar.

"Joon." ah, Seokjin seperti diterbangkan sangat tinggi. Kakinya bahkan bergetar. Melihat itu Namjoon bangkit dan meraih nampan ditangan Seokjin dan menaruhnya kembali di pantry. "Hei, kenapa?"

Bruk..

"Jinnie?!"

"Joon, aku.. aku lemas sekali."

Namjoon terkekeh pelan, lalu menggendong Seokjin. Tidak, dia tidak macam-macam, dia mendudukkan Seokjin di atas sofa.

"Kau tahu, lima tahun kita bersama dan kau terus menambah kadar cintaku padamu sampai rasanya aku akan gila." Namjoon mengelus tangan Seokjin lembut.

"Jadi jika kau menolakku, mungkin aku akan bunuh diri setelah ini."

Teriakkan kencang menyusul kalimat Namjoon sebelumnya. Ditinggal seminggu dan tapakan panas Seokjin masih sepanas biasanya. "Ya! Kalau begitu IQ 148 mu itu sama sekali tidak berguna!"

"Kalau begitu terima lamaranku."

"Aku memang ingin menerimanya bodoh!"

"Coba ulangi, tapi tanpa bodoh."

Wajah Seokjin memanas. Uh, dia tidak hebat dalam hal seperti ini. Dia akan langsung merasa sangat malu jika disuguhkan hal-hal seperti ini.

"Uh.. a-aku, aku.. menerimanya."

"Benar?"

"Ya."

"Kau yakin?"

Seokjin memberikan tatapan malasnya. "Kau ingin aku menolakmu?"

Dengan cepat Namjoon menggeleng. "Tentu tidak. Untuk apa aku selalu membawa cincin ini dikantung celanaku selama tiga tahun kalau aku ingin kau menolakku?" Namjoon tersenyum lebar. "Terima kasih telah menerimaku yang memiliki banyak kekurangan ini, Jinnie."

Kalimat yang sangat sederhana, tapi cukup ampuh untuk membuat air mata Seokjin mengumpul di pelupuknya. Oh, dan cukup ampuh juga untuk membuat Seokjin memberikan pelukan erat untuk Namjoon.

"Seharusnya aku yang berterima kasih karena memilihku sebagai calon pendampingmu." suaranya bergetar menahan tangis.

"Jangan menangis.."

"Hik.. tidak bisa. Ini hik.. mengharukan."

"Ah, Jinnie Namjoon yang menggemaskan. Oh iya, pulang lusa ya? Pernikahannya diadakan minggu depan jadi-"

"Ya Kim Namjoon! Pernikahan itu direncanakan bersama-sama!"

Sepertinya Namjoon harus merayu Seokjin yang merajuk malam ini.

.

.

.

Makasih banyak buat kalian yang baca :)

Maaf kalo ada typo :(

Have a nice day ! Peace.

Story of UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang