Ruas 1 : Rayyani

49 2 0
                                    

'Dari galaksi alam semesta ini, cobalah mampir ke galaksi Bima Sakti. Ikuti saja arah rasi Bintang, pasti kau akan temukan sistem Tata Surya, yang ada mataharinya. Matahari itu bintang yang terbaik untuk kami, jangan kau hina!
Nah, coba lihat planet ini, kau pasti akan tertarik karena di sana ada kehidupan. Cukup menembus atmosfer tipis miliknya, kamu bisa terjun bebas di antara langit indahnya! Tapi hati-hati! Penduduk disana kejam-kejam! Mereka sudah menyerah akan kebenaran. Kau pasti akan menemukan kerusakan dimana-mana. Dan kalau kau mampir kemari, selamatkanlah kami. '

Aku memandang langit itu dari balik jendela rumah sakit. Langit biru keabu-abuan itu membiarkan awan dan matahari menutupinya. Akan tetapi, ia memberikan sebuah celah kecil untuk melihat sosok aslinya. Dari celah itulah mata biruku ini mengintip. Remang-remang, bayangan langit ke tujuh itu terlihat di mataku. Mereka biasa menyebutnya "pandangan jauh", kemampuan untuk melihat masa depan sejauh apapun.

"Rayyanee!"
Benakku kembali ke alam sadar.

"Kalo kamu gamau makan, kami tinggal loh!" ujar Salim.
Mataku bergulir ke arah pintu. Di sana tampak seorang pria yang kukenal.

"A!! Bentar dong!"
Tanganku yang menggenggam kusen jendela kini berganti dengan dompet putih milikku. Kami akan makan di warteg favoritku, Warteg Safari.

Setelah mengambil makanan, kami menempati tempat duduk di pojok ruangan. Selain manusia, adapun populasi lain yang menghuni warteg ini, seperti lalat, cicak, dan semut. Kami manusia harus menjadi petarung pencak silat melawan lalat-lalat sangar itu. Tampar demi tampar kami gunakan untuk menepis lalat yang ingin menginjak makanan kami. Yah, namanya juga warteg kampung. Sedap dan murah saja sudah luar biasa.

"Rayyanee! Gimana kabar beasiswanyaa?" tanya Tiana. Mulutnya penuh dengan kerang goreng.
Namanya Tiana Puji Purnama. Dia sahabatku sejak masih mahasiswa baru. Topiknya di seputar menjaga perdamaian dunia dan memastikan keadilan dan kemanusiaan tercapai. Bisa dibilang itu lah tujuan dia menjadi dokter.

"Yah, tau ga? Aku dapet dong, hehehehe!" jawabku berbangga hati.

"Uwaahh? Serius??? Ke Harvard???" seru Tiana. Suaranya yang lantang itu menarik perhatian orang-orang. Apalagi dengan topik 'Harvard'.

"Iya, 'yan. Nanti bulan depan sih baru mulai tahun ajarannya." jawabku yang menyendokkan sesuap tempe Mendoan. Rasanya enak.

"Bulan Agustus, ya? Kalo gitu kamu tinggal aja sama kakak kelas kita, kak Danika." ujar Salim si kacamata.
Dia Salim. Dia sahabatku sejak masih mahasiswa baru, sekaligus suami Tiana. Topiknya di seputar mengobrak-abrik dan membongkar sistem yang rumit. Kenapa tidak masuk teknik mesin saja? Pertanyaan yang bagus. Jawabannya adalah karena sistem itu adalah manusia, katanya.

"Oh iya. Dia yang masuk Harvard kan tahun lalu?" balasku. Ah, jadi teringat. "Kalau dipikir-pikir, banyak sekali dari dokter dari rumah sakit kita yang ke Harvard." 

"Ah, iya juga. Kak Estu juga ke Harvard ya." balas Salim. Yah, kalau menurutku sih, tentu saja. Rumah sakit nomor satu di Indonesia ini sangat selektif menerima dokter dan perawatnya. 90% dari mereka datang dari universitas yang sama, yang tentunya semua orang anggap universitas tersebut sebagai kampus nomor satu di Indonesia, seperti kami bertiga.

Tapi kalau aku mengimplikasikan mereka yang masuk universitas terbaik akan menguasai dunia, pasti Tiana akan marah lagi padaku. Padahal sejak dahulu kala, sudah ada contoh yang sangat jelas, McKinsey.

"Yah, semenjak pemerintah meng-ilegalisasi CRISPR sebagai bagian dari ras manusia..." ujarku.

Mataku melirik ke sekeliling. Lihatlah, betapa banyak jumlah mereka. Makan di tempat yang sama, dengan piring yang sama dengan kami. Duduk di antara para manusia, atau bahkan bersama CRISPR lainnya, menyendok sesuap nasi warteg Safari itu. Aku menyadari kalau Tiana memerhatikan gerak mataku. Aku yakin sekali dengan ekspresinya sekarang.

"Rayyanee... Kau sebegitu jengkelnya dengan mereka?" ujar Tiana. Ia melihatku dengan tatapan sayu, memintaku dengan lemah untuk berhenti bersikap kejam dan 'Berempatilah!'

"Bukan begitu..." ujarku, 

"Apa kau tidak ingat dengan epidemi 2 tahun lalu, saat kita baru saja wisuda?" balasku. "Mau sampai kapan umat manusia tidak siap epidemi? Mau sampai kapan umat manusia cemas dengan kanker? Mau sampai kapan masih ada gen manusia yang disebut 'gen jelek' atau 'penyakit'? Tidak ada satupun yang mereka temukan yang benar-benar efektif menangkis itu semua." lanjutku, menghelakan nafas tenang.

"Apa kami juga harus ikut ke U.S?" tanya Tiana. Lagi-lagi ia menyodorkan pandangan lemahnya tepat pada mataku. Lebih tepatnya, kami saling bertatapan tapi matanya mengunciku.

"Hah? Kau kira aku akan menjadi teroris?" 

"Itu satu... Kedua, aku memang ingin mewujudkan mimpiku untuk memastikan semua manusia memperoleh layanan kesehatan!" 

"Itu juga satu hal yang kukhawatirkan. Kemarin kan baru saja ada Konferensi United Nation. Kenapa kau dan lembagamu tidak berpartisipasi saja disana?" tanyaku.

"Apa kau bilang? United Nation? Mana mungkin LSM macam punyaku bakal dilihat kementerian  kesehatan, lalu tiba-tiba mereka bertepuk tangan dan bilang 'Nona Tiana, besok LSM-mu akan berdiplomasi di Konferensi PBB. hADiRilAH.'" kali ini Tiana yang jengel dengan omonganku. Mulutnya kini manyun dower seperti paruh donald bebek. Setidaknya tatapanku terlepas dari matanya dan kini melirik jerawat lima jutanya.

"Kan kau yang dulu bilang networking-mu dengan pegawai pemerintah itu bagus. Memangnya kau segitu sucinya sampai tidak tahu istilah 'jalur belakang'?" jawabku smug.

"Apa katamu??? Jalur belakang??? Berani-beraninya kau mengucapkan kata haram itu di mukaku???"

"Sudahlah kaliannn. Berhentilah berdebat." ujar salim melemparkan tangannya kehadapan kami. "Bagaimana denganmu? Apa kau akan ikut ke U.S juga?" tanya Tiana.

"Apa maksudmu?? Jadi kau anggap pernikahan kita ini apa kalau aku meninggalkanmu sendirian di U.S?" balas Salim ketus. "Kyahaha~~~ Salim! I love youu!!" Pundak Tiana bergelombang dengan kedua tangannya memeluk pipinya itu, memalukan. Dan bagaimana mungkin engkau, Salim si muka datar, memandangnya sebagai keimutan sang istri, lalu tersenyum ikhlas melihatnya????? Itu lebih memalukan lohh????????

"Meh. pAsUTri BajINgAn." bisikku. 

The Shaking WorldWhere stories live. Discover now