Ruas 3 : Etika dan Logika

33 2 0
                                    

Burung - burung gagak yang berterbangan berkicau, memenuhi langit senja yang berwarna oranye kemerahan. Matahari terbenam, menggelapkan pemandangan sekitar, menyebabkan bayangan bertebaran dimana-mana.

"Anjir... ini udah 5 menit. Huuu...... Kemana sih si Rayyani????????" ujar Salim.

"Ahahahah... Bisa tahan sebentar lagi ga, Lim? wkwkwk" balas Tiana muncul dari belakang Salim.

"YA KAGA BISA LAH!! ANJ*NG SI RAYYANI, ga mungkin gua ngisi di botol kosong lagi!! GAMAU!" bentak Salim merengek seperti bayi.

Ia memalingkan pandangannya ke pintu keluar UGD. Pandangan lemahnya kini berganti menjadi pandangan jauh, yang sekiranya memprediksi situasi di luar sana. Benak Tiana bukan hanya sekadar firasat, tapi memikirkan tindakan yang harus ia lakukan kalau itu benar-benar terjadi.

Dan benar saja. Seorang dokter tiba-tiba mendobrak pintu UGD.

"SEMUANYA PERHATIAN!! Kita mendapat 140 pasien pindahan dari tabrakan jam 1 siang tadi!!!"

Para perawat bergiliran berlari memasuki ruangan UGD, menggiring korban kecelakaan yang terbaring tak berdaya di atas ranjang rumah sakit. Sedikit demi sedikit, ruangan UGD yang luas itu terisi bagaikan posko bantuan bencana alam.  

"Bersiap untuk memberi pertolongan pertama dan mendiagnosis kerusakan yang terjadi!!! Kita mempertaruhkan nyawa mereka dengan waktu!!"

"Jangan buang waktu lagi, BERGERAK SEKARANG !!!"

Suasana begitu pecah, tidak ada lagi waktu untuk berpikir. Setiap detiknya darah menetes keluar dari tubuh korban. Yang menjadi masalah, bagaimana bisa mereka sampai di kondisi dimana dokter dan perawat kalah jumlah?

"Dokter Tiana! Apa kau melihat dokter Rayyani???" tanya Dian, seorang perawat.

"Ah! Dia masih belum kembali??" balas Tiana cemas. Saat ini, ia sedang menangani pasien lansia.  Mata Tiana terpaku pada kerutan-kerutan wajahnya yang lelah. Apa yang sebenarnya dia lakukan? Apa dia sekarang juga ada di antara para korban?

"Cari dia sekarang juga! Pertolongannya sekarang akan menyelamatkan 20 dari mereka! Cari sampai ketemu!!" seru Tiana.

"Baik, dok!!! Saya pergi dulu!!" balas Dian. Ia segera berlari meninggalkan UGD, melepaskan segala keraguan demi mencari....

Terang senja kini berganti petang. Sedikit demi sedikit foton yang menembus kaca memudar, berganti menjadi gelapnya maghrib. Sudah tak tampak lagi bayangan di bawah objek-objek. Tak terasa, hanya berjalan 5 menit di ruangan bersalin.

"Ini pembunuhan terencana..."

"Brian!! Bawakan aku trolley itu di sana! Aku akan menolongnya, SEKARANG !!!" bentakku.

"Baik!!" seru Brian.

Aku segera mendiagnosis wanita itu. Nadinya masih berdetup. Masih hidup. Perutnya terbuka dengan sayatan yang rapih. Perutnya masih mengembung, tapi dimana bayinya berada??

"Operasi caesar."

Tanganku yang sudah terlindungi sarung tangan karet segera menyatukan perutnya yang terbelah. Ini hanya sementara saja.

"Ini dia, dok!!" ujar Brian membawakan trolley dengan peralatan persalinan yang secara kebetulan lengkap.

"Terima kasih!" Aku segera mengambil jarum dan benang yang secara kebetulan sudah terkait. Aku bahkan tidak tahu apa benang dan jarumnya sudah disanitasi atau belum. Dan mengingat aku ini hanya dokter umum, bukan spesialis kandungan. Apalagi yang kupertaruhkan demi menyelamatkan wanita ini?

Dengan pengetahuan seadanya mengenai bidang persalinan...

"Kita mulai."

Semuanya sudah kupertimbangkan. Untuk waktu yang sepadat ini, tidak mungkin aku meminta Brian memanggil dokter di luar sana. Bagaimana kalau nanti aku membutuhkan bantuannya dan kondisinya terdesak? Bagaimana kalau nanti waktu yang digunakan untuk meminta bantuan dokter lain malah membuat jahitan lapisan pertamanya kendor? 

Bagaimana kalau nanti semuanya malah menjadi senjata makan tuan?

"Brian, Aquades." 

"Ini, dok."

Keheningan ini setidaknya membuatku tenang dan lebih bisa mendengar suara dari luar. Semua suaranya tak lebih tak kurang hanyalah suara langkah kaki. Di antaranya terdengar suara langkah kaki yang berfrekuensi cepat. Perlahan, dentumannya semakin keras dan semakin dekat.

"Permisi! Apa ada dokter Rayyani di dalam?"

Suara langkah kaki itu berganti dengan suara mengetuk pintu. Brian menerima orang itu untukku.

"Bu Dian, Dokter Rayyani ada di dalam, tapi..." ujar Brian. Rupanya Dian mencariku.

"Ya Tuhan, apa yang terjadi!?" ujar Dian. Tanpa ragu, ia segera menghampiriku dan ikut memeriksa kondisi pasien ini.

"Telah terjadi pembunuhan disini! Kami saksi pertama yang menemukan wanita ini terkapar dengan perutnya yang terbuka lebar!" balas Brian. "Dokter Rayyani disini sedang menyelamatkan wanita ini! Percayalah pada kami!"

Kesunyian ini mengisi percakapan kami. Tentu saja ini hal yang sulit dipercayai, mana bukti kalau kami tidak melakukan pembunuhannya?

"Saya meminta maaf yang sebesar-besarnya, tiba-tiba datang di kondisi kritis seperti ini... Tapi."

"Saya harus menginformasikan kalian satu hal yang lebih mendesak." lanjut Dian.

"Anda bisa melihatnya sebentar, dokter Rayyani." Dian membuka pintu ruang bersalin lebar-lebar. Di balik pintu itu tampak banyak perawat yang sedang berlarian. Sebagian besar dari mereka berlari menggiring tempat tidur rumah sakit yang terkapar korban di atasnya. Banyak di antara korban tersebut yang terluka parah. Ada beberapa yang berdarah-darah, setidaknya sama parahnya dengan wanita hamil ini.

"50 menit yang lalu, sekitar 140 korban secara paksa dipindahkan ke rumah sakit ini. Mereka adalah korban tabrakan maut jam 1 siang tadi." ujar Dian.

"Setelah 5 jam, kenapa baru dipindahkan kesini sekarang?" tanyaku heran.

"Jangan tanya aku. Ini pun mendadak." balas Dian.

"Kita kalah jumlah..." balasku.

"Kau mengerti maksudku kan? Ini adalah tanggung jawab mu sebagai penanggung jawab UGD." ujar Dian. "Apa katamu!? Kau tidak bisa menyuruhnya meninggalkan wanita malang ini begitu saja!! Dia juga berjuang untuk hidupnya!" bentak Brian geram. Ia sudah kehilangan pikiran jernihnya.

"Bagaimana keputusanmu, dokter Rayyani?" Tangannya meraih pundakku. Mataku lagi-lagi dikunci dengan tatapan yang mengintimidasi. "Jika kau pergi sekarang, kau dapat menyelamatkan 20 nyawa tak berdosa." ujar Dian.

"Kau tidak berpikir seperti itu, kan, dokter Rayyani!?"

"Hei! Beritahu aku, dokter Rayyani!"

"Dokter Rayyani!"

Biasanya, aku akan mengobservasi dua pihak untuk menilai yang mana yang sebaiknya kuselamatkan duluan. Biasanya, aku akan mengajak Tiana dan Salim berdiskusi lalu meminta pendapat mereka. Biasanya, aku juga akan berulang-kali menanyakan para spesialis sampai aku puas.

Namun saat ini, semakin kubuang waktuku untuk merenungkan semuanya, akan semakin banyak darah bertumpahan.

Semakin tidak ada hasil yang akan dituai dengan membiarkan waktu membunuh keduanya.

Satu. harus. dikorbankan.


The Shaking WorldWhere stories live. Discover now