Ruas 4 : Si Hebat (1)

26 2 0
                                    

Kalau kalian ada di posisiku, kira-kira apa yang akan kalian pilih? Begitulah pertanyaannya.

Mengorbankan seorang jiwa yang berdarah-darah di hadapanku, atau pergi menyelamatkan 40 orang jiwa yang berdarah-darah yang merupakan tanggung jawabku? Karena itu...

Satu. harus. dikorbankan.

"Aku minta maaf..." tanpa sadar, mulutku mulai angkat bicara.

"Dian." Tubuhnya gelagapan. Padahal aku belum melanjutkan sepatah katapun. "Silahkan cari dokter lain yang terdekat. Aku akan menjahit perutnya sementara, setidaknya untuk menghentikan pendarahannya."

"Wanita ini masih hidup dan aku akan menyelamatkannya." ujarku. Ia segera melipat tangannya dan mengernyit, "Itu, hal yang paling tidak kuduga."

"Kalau begitu, buktikanlah kau bisa menyelamatkan 40 orang itu, menggantikanku." 

Wajah kakunya tersentak. Ia berusaha menyembunyikan tangan kanannya yang mendadak hiperaktif. Itu artinya, kata-kataku membunuh harga dirinya. Tentu saja,

Sejak tadi, pikiranku memang sudah berada di dimensi bernuansa putih itu, "Kalau bukan karena benang merah ini." 

Perilakunya masih sama saja. Mengagumiku dengan cara berusaha lebih hebat dan mengalahkan ku. Harga diri tanpa logika, apa gunanya? Kau hanya akan menjadi orang miskin yang sombong yang hanya akan berpikir 'Kebahagiaan tidak dapat dibeli dengan uang.'

"Baik." balasnya. "Jangan salahkan aku kalau kau besok-besok dipecat, kuingatkan kau, dokter Rayyani." Dengan muka kesal, ia bergegas meninggalkan ruangan. Baguslah, setidaknya dia tidak lagi disini untuk memaksakan kehendaknya padaku.

Walaupun setidaknya ada sedikit penyesalan di hati.

Aku menarik nafas dalam-dalam dan merapikan mental kerjaku kembali. Tenanglah, Rayyani. "Brian, tolong bawakan rak itu kemari." 

"Melihat kerapihan operasi caesarnya, pelakunya setidaknya seorang dokter spesialis kandungan atau mungkin saja ahli dalam pembedahan." ujarku. "Kira-kira apa yang diinginkan dokter itu dengan membunuh wanita hamil yang malang ini?" tanya Brian cemas.

Pertanyaan yang bagus. Memangnya apa manfaat dari membelah perut wanita ini lalu mengambil bayinya tanpa menutup kembali perutnya? Apalagi mengingat tindakannya ini tidak sesuai dengan prosedur pembedahan, sudah pasti tindakan kriminal yang terencana.

"Wanita ini sebetulnya sudah 9 bulan. Dengan perut yang sebesar ini, bayi itu memang hanya bisa di lahirkan melalui operasi caesar." Dan kalau prediksi ku benar....

Seharusnya pelakunya masih di sekitar sini, atau bahkan di ruangan ini. Menyaksikan segala hal yang terjadi sekarang, mengetahui akulah yang menolong wanita ini sebelum ia sempat membersihkan jejak kriminalnya. Bisa saja nanti, akulah yang akan menjadi target pembunuhannya setelah sedikit mengetahui rahasianya.

Meski petang sudah tiba, memusnahkan semua bayangan yang ada, yang gelap akan tetaplah gelap. Yang berada di antara bayangan sejak awal akan terus melindungi dirinya, bersembunyi di balik terangnya cahaya. Apa yang patut disembunyikan di antara para bayangan?

"Hah...hah...hahh..."

"Hampir saja ketahuan...." bisik dokter itu.

Ia merogoh dada kirinya--letak dimana jantungnya berada. Sikap tubuhnya tidak bisa tenang dari tadi. Awaknya dibanjiri keringat dingin. Kaki kiri yang menjadi penopang duduk ksatrianya menggigil bagai cacing kepanasan. Satu-satunya yang membuatnya tenang adalah punggungnya yang ia sandarkan ke sebuah tembok, tembok yang membatasi ruangan itu dari cahaya.

Sementara itu, tangan kirinya...

"Tenanglah, sayang mama..."  bisiknya. Parasnya semula panik berubah menjadi tersenyum lembut dan keibuan. Tangan kanannya mengusap wajah bayi itu dengan lemah lembut, meski tampak masih gemetar. 

"Kau akan menjadi orang yang hebat. Kau akan menjadi pahlawan kami kelak kau besar nanti."

"Dan mama yang membuatmu begitu. Sebentar lagi, kau akan menjadi bagian dari kami." bisiknya dengan lembut pada bayi itu. Bayi besar itu ketawa tanpa suara. Wajahnya begitu ceria dan imut, siapapun yang melihatnya akan ikut tersenyum manis. 

"Sayangnya masih ada banyak pengganggu jalanmu menuju kesuksesan, nak." 

Ia mengalihkan pandangannya kepada dua orang yang sedang berada di sisi terang itu. Mukanya mengernyit dan matanya membelalak, 

"Wanita jalang itu. Dan, dokter Rayyani, yang tiba-tiba berkhianat dari kita, nak."   "Setidaknya setelah mereka pergi nanti, mama bisa mengurus wanita jalang itu." 

Ia kemudian mengembalikan pandangannya pada bayi yang Ia topang dengan tangan kirinya. Telunjuknya mencolek hidung bayi itu. "Semangat ya, nak? Hmm?" bisiknya.





"Oke. Satu langkah terakhir, dan ini selesai." ujarku. Aku beranjak untuk siap-siap menjahit lapisan kulitnya.

"Tunggu... Cepat juga ya???" ujar Brian. "Menutup bedah memang lebih mudah dan cepat dibandingkan membedah." Tanganku dengan lincah merajut kulitnya. Titik darah bekas tancapan jarum itu segera kulap menggunakan kapas yang sudah ditumpahkan alkohol 90%. Dengan begini, selesai sudah, "Selesai. Sekarang, dia milikmu." 

"Dengarkan baik-baik Brian. Setelah ini, Aku minta kau mengawasinya. Pastikan jangan sampai ada anggota tubuhnya yang berpindah sedikitpun, mengerti?" ujarku. Semua perlengakapan operasi yang dipakai satu demi satu kulepas. Brian menjawabku dengan menganggukkan kepalanya.

Wuahhh, badanku pegal-pegal semua. Mataku rasanya silau berada dibawah sinar bedah itu selama lebih dari sejam. "Fuahhhhh!! 3 menit terlambat dan kita akan kehilangan wanita ini untuk selama-lamanya." 

"Hmm.... Bagaimana kau tidak keren? Hehe..." ujar Brian.

"Memang aku keren. Kemana saja kau?" balasku ketus.

"Bukan! Maksudku kau itu hebat. Tidak heran mengapa para spesialis selalu sangat bangga padamu dan membicarakanmu terus." Ahh, begitukah?

"Terima kasih." balasku dengan sedikit tersenyum. Seketika keheningan membatasi obrolan kami. Mulut Brian bungkam setelah mendengar responku terhadap apresiasinya. Peduli apa. Aku harus bergegas menuju UGD dan melakukan yang terbaik yang kubisa.

"Baiklah aku pergi dulu."   "Oh, iya. Langsung telepon polisi, ya. Setelah wanita itu tersadar, jangan lupa interogasi dia mengenai semua ini."

"Dan kalau sampai pelakunya menghampirimu, ingatlah ruangan ini penuh dengan alat-alat bedah."

"BEDAH DIA SAMPAI PERUTNYA TERBELAH!!! YAA!?" seruku pada Brian. Biar saja, pelakunya harus mendengar betapa pendek pikirannya itu untuk melibatkanku. Dan duuh, sepertinya aku melupakan sesuatu. 

"B-b-baik!! Baik!!!" jawab Brian. Sepertinya amarahku ini begitu mengintimidasinya. Lupakan sajalah soal reputasiku di matanya.

 "Hah! Kesal sekali aku dengan bajingan itu. Aku pergi, ya." ujarku. 

Tidak ada waktu lagi untuk beristirahat. Segenap tenaga kucurahkan untuk berlari mengejar waktu. Entah apa dan berapa banyak yang kukorbankan demi wanita itu. Yang kupedulikan hanyalah...

Apakah aku telah memilih pilihan yang tepat?



Apakah aku akan menyesalinya suatu hari nanti?

The Shaking WorldWhere stories live. Discover now