ONE ||

7.6K 194 9
                                    

Bismillãhir-rahmãnir-rahīm

Bagian Satu

"Dhaniaaa! Bangun nak! Ini sudah mau jam tujuh lho, kamu mau bangun jam berapa? Dhania! Ayo bangun!" suara gedoran pintu kamar serta seruan lembut dari Ibuk membuat remaja perempuan berusia lima belas tahun tersebut membuka matanya lebar-lebar dan otomatis terduduk dengan tatapan lurus, sejurus kemudian matanya melihat jam LED yang menempel di dinding sebelah timur. 05.30 WIB.

Dhania menggeliat sambil menguap malas.

"Dhaniaa, bapakmu pagi ini ada persidangan. Kalau kamu nggak cepatan, bapak tinggal dan kamu harus naik angkutan umum lho." kali ini Ibuk menggedor pintu kamar Dhania, lebih kencang.

Dengan mengancam akan menyuruh anaknya itu naik angkutan umum. Alhasil, perempuan beralis semut beringin itu pun langsung melompat dari ranjang, lantas menjadi kalang kabut keluar dari kamarnya, dan masuk ke dalam kamar mandi tanpa membawa handuk.

"Iya buuk!"

Untung saja kakak Dhania masih berada di Kota Apel untuk mengurus daftar ulang, KRS, dkk. jadi ia tidak harus mengantre dulu atau lebih tepatnya berdebat siapa yang duluan masuk kamar mandi, untuk dapat melakukan rutinitas dua kali sehari itu di kamar mandi, yang letaknya berada di tengah-tengah kamar Dhania dan sang kakak.

Cepat-cepat Dhania menyelesaikan mandi paginya serta menggosok gigi. Setelah selesai, ia segera berganti seragam sekolah yang sudah disetrika rapi oleh ibu. Di luar kamarnya, Aisha— Ibuk Dhania tengah berkecimpung di meja makan, sembari bolak-balik ke dapur.

"Dhania itu lambaaat banget, kebiasaan deh, efek libur panjang. Jadi, males bangun subuh." omel Aisha— Ibuk Dhania. Sedangkan Taufan— Bapak Dhania, yang baru saja keluar dari kamar, menarik kursi meja makan di dekat Naura bergeming, tak menyahuti omelan istrinya.

"Nou, diminum ayo susunya." ujar Aisha, lagi. Sembari tangannya membenarkan tali kerudung Naura yang kendur.

Tak lama kemudian, Dhania datang dengan penampilan rapi. Rupanya ia sudah siap udah berangkat sekolah, hanya tinggal satu kegiatan saja, yaitu sarapan. Ia segera mengambil piring, selanjutnya mengambil nasi dan beberapa lauk yang sudah tersaji di meja makan.

"Jangan banyak jajan sembarangan, apalagi yang pedas. Ntar maag kamu kambuh! Kurangin makan saus juga, nggak baik buat kesehatan. Mulai besok ibuk bawakan bekal lagi, untuk makan siang. Nou juga besok ibuk bawakan bekal." pesan Ibuk, panjang lebar pada kedua anaknya tersebut.

"Ini uang saku kamu." tambah Bapak, dengan menaruh uang pecahan lima puluh ribuan disebelah Dhania, segera ia mengambilnya dan memasukkan ke dalam saku.

"Bapak tunggu di depan." ucap Bapak seraya beranjak dari kursi.

"Buk, berangkat.. assalamu'alaikum." pamit Dhania, setelah menyelesaikan sarapan paginya dan menaruhnya di cucian piring. Selepas itu menyalami Ibuk.

"Iya, wa'alaikumsalam. Hati-hati, mencari ilmu yang benar, kalau guru lagi menjelaskan didengarkan. Jangan main-main, ingat kalau kamu udah kelas dua belas. Jadi anak kebanggaan ibuk dan bapak ya," sahut Ibuk, sembari memberikan tangan kanannya untuk dicium oleh Dhania.

Naura menyodorkan tangannya, untuk menyalami kakaknya juga. Ia terlihat imut-imut menyebalkan dengan kerudung putih yang dihiasi bunga-bunga kecil dipinggirannya.

"Eh, nduk Dhania. Sini sebentar!" panggil Ibuk.

Dhania menoleh sebentar dengan malas, "Ngapain sih buk? Ntar bapak marah kalau aku lama." sahutnya.

Aisha tersenyum sambil berjalan mendekati anaknya, "Ini lho, kerudung kamu kurang rapi. Lain kali pake bandana biar nggak kelihatan rambutnya, ya nak?" ucapnya dengan merapikan kerudung segiempat Dhania yang dipasang seadanya.

Dear Ketua RohisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang