TWENTY FOUR ||

997 62 0
                                    

Bagian dua puluh empat

"Ali, masuk dulu ayo," ujar ibuk, "Bundamu pasti belum pulang dari sekolah." lanjutnya, mengabaikan panggilan Dhania.

Haidar tersenyum, "Boleh budhe?"

"Ya boleh toh, le. Ayo buruan masuk, motormu taruh di dekat garasi sana." angguk Aisha, "Kamu udah salat belum, nduk?" tanya Aisha pada Dhania.

"Sudah komandan!" angguk-angguk Dhania, sebelum ia masuk dulu ke dalam rumah.

"Dek, itu Haidar ya?" tanya Aida saat dirinya baru keluar dari kamar.

Dhania berhenti, "Ai, Haidar tuh siapa sih? Kok bisa akrab banget sama Ibuk dan Bapak, kamu juga kenal. Apa aku sendiri yang nggak kenal siapa Haidar itu?"

Aida tertawa, "Dek, kamu beneran lupa sama Haidar?"

"Lupa gimana, orang tau nama sama orangnya aja baru dua hari lalu."

"Astagfirullah, dia itu sepupu kita, Haidar Ali anaknya paklik Jaksa.

Hm, kalau kamu masih nggak inget. Coba kamu inger-inget pas kamu masih kecil di suapin daun pepaya sama seorang cowok bertubuh gendut."

Dhania mendelik, "Sumpah! Dia si cowok gendut itu!"

__________

Di luar kamar Dhania, Aisha langsung menggiring Haidar menuju meja makan, bersamaan dengan Aida yang keluar dari ruang serbaguna dengan memainkan smartphone.

"Aku udah makan kok tadi budhe, di kantin sekolah. Nanti mbak Dhania makan apa, kalau lauknya aku makan?" ujar Haidar tidak enak, karena tiap kali dirinya mampir ke sini, kakak kandung ibunya itu selalu menyuruhnya makan.

Aisha terkekeh, "Kamu ini, kayak siapa aja. Udah makan, lagian Dhania makannya nanti malem. Jadi, budhe bisa masak lagi." katanya, "Eh, bentar ya le, budhe mau ke kamar Nou, ada Ibra disana. Takut mereka bertengkar lagi. Kamu makan apa aja yang kamu suka, nanti budhe kesini lagi." tambahnya seraya berjalan menuju kamar Naura.

Aida berjalan melewati keduanya, menuju kulkas dua pintu di pojok ruangan. Mengambil satu teko kaca berisi air mineral, yang kemudian ia tuangkan dalam gelas.

"Gimana rasanya, ngajar murid SMA tujuh? Seru dong pastinya. Bagi cerita napa," suara Aida, seusai meneguk minumannya.

Haidar menoleh, mendapati sepupunya tengah berjalan mendekatinya dengan membawa gelas dan teko.

"Yaa, gitu deh."

Aida menarik kursi di depan Haidar, "Gitu gimanaa?"

"Yaa, gugup, mbak. Namanya juga pertama kali ngajar di sekolah. Biasanya di sanggar cuma sama beberapa murid, jadi agak kaku gitu pas awal masuk kelas yang isinya puluhan murid dan luar biasa menakjubkan kayak SMAN tujuh."

"Hmm, asik ya ngajar itu,"

"Ya gitulah, hehehe..."

Aida mengangguk-angguk, seraya beranjak dari kursinya.

"Kamu ngajar di kelas Dhania juga?"

"Iyaa, jam terakhir. Kebetulan guru kelasnya yang biasa ngajar lagi ijin, jadi gue gantiin."

"Hehe, kamu tau nggak, Dhania baru inget kamu pas mbak ingetin tentang daun pepaya itu."

"Apa ngomongin akuu?" celetuk Dhania tiba-tiba yang sontak membuat keduanya tertuju pada Dhania yang memakai baju tidur motif kartun kucing biru sahabat sejati nobita.

"Ge-er banget deh, lo!" cibir Haidar sembari meneruskan makannya.

Dhania mendengus seraya berjalan menuju kulkas, "Lho lho, kok gitu manggilnya, aku aduin ibuk lhoo! Ngelamak manggilnya, ndak usah 'mbak'." balasnya sengit.

Dear Ketua RohisМесто, где живут истории. Откройте их для себя